PEPERANGAN
LAKSAMANA “CHENG HO” DI DUNIA HUKUM
Musri
Nauli
Indonesia sedang menyaksikan kolosal
peperangan Laksamana ”Cheng Ho”.
Pertarungan Yusri Ihza Mahendra sekali lagi memberikan ”pelajaran” penting ”negara
hukum (rechtmact)” sedang berjalan di
Pengadilan (Mahkamah Konstitusi dan
Pengadilan Tata Usaha Negara) bagaimana hukum diatas kepentingan politik ”sesaat”, dan persamaan dimuka hukum (equality before the law).
Kemenangan kecil, kemenangan telak dan
kemenangan yang diraih tanpa perlawanan ”seakan-akan”
memberikan pelajaran kepada kita semua, bagaimana Pemerintah ”kewalahan” menghadapi serangan dari
seorang diri dari Laksamana Cheng Ho”.
Kepiawaian, strategi yang jitu, menguasai
teknik peperangan, jago strategi bahkan mempersiapkan diri segala potensi
sumber daya yang dimiliki untuk memasuki pertarungan merupakan modal penting
dari YIM.
Bahasa yang digunakan runut, sistematis,
sederhana namun ”telak” memberikan ”daya serang” yang mematikan. Hampir
setiap lawan ”di skak mati”, tidak
berkutik dan termangu terhadap berbagai strategi jitunya menghentikan lawan.
JAGO STRATEGI LAKSAMANA CHENG HO
Sorotan terhadap YIM dapat dilihat ketika Hendarman
Supandji menganggap sah sebagai jaksa agung karena diangkat menjadi Jaksa Agung
berdasarkan Keppres 31/P Tahun 2007.
Sebagai jago strategi Laksamana Cheng
Ho kepada Jaksa Agung Hendarman Supanji,
menemukan momentum disaat ”tantangan”
Hendarman Supanji menawarkan persoalan jabatan ”Jaksa Agung” diselesaikan melalui ”pengadilan”.
Upaya mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril
Ihza Mahendra menggugat jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung di
Mahkamah Konstitusi berhasil.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai, “Masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.
Pertarungan antara Yusril Ihza
Mahendra vs pemerintah yang kedua adalah tentang saksi meringankan. Yusril meminta
Kejaksaan Agung memanggil saksi alibi yang meringankannya. Yakni Megawati
Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) selalu menolak
pemanggilan saksi oleh pemohon sebab dinilai tidak mengetahui dan tidak berada
dalam tempat kejadian perkara.
Yusril meminta pengujian terhadap Pasal 1 angka 26 dan
angka 27 juncto Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal
184 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal tersebut menjelaskan soal definisi saksi.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Yusril. MK
memutus bahwa yang dimaksud saksi tidak hanya mereka yang melihat, mendengar
dan mengalami, tetapi juga yang mengetahui.
Pertarungan ketiga adalah masalah surat
cekal. Sebagaimana diketahui, Yusril telah mendaftarkan gugatan ke PTUN. Yang
digugat Yusril adalah Jaksa Agung Basrief Arief karena menerbitkan Surat
Keputusan benomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011. SK itu
meminta Ditjen Imigrasi mencekal Yusril sampai satu tahun ke depan. Dari
tanggal 26 Juni 2011 sampai tanggal 26 Juni 2012.
Namun, dasar yang
digunakan Jaksa Agung untuk mencekal Yusril tidak sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Jaksa Agung mendasarkan pada UU No 9 Tahun 1992 yang sudah tidak
berlaku lagi. Kemudian, Jaksa Agung mendasarkan pula pada ketentuan PP No 30
Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (cekal)
serta Peraturan Jaksa Agung nomor PER-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan
Penangkalan. Kejaksaan Agung menyadari kekeliruannya dan kemudian
memperbaikinya.
Pertarungan selanjutnya yang dimenangkan
oleh Yusril Ihza Mahendra tentang pengetatan remisi bagi koruptor.
Yusril mengatakan, Surat Keputusan Menkum
dan HAM tertanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap
narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme tidak sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Kebijakan itu dibatalkan oleh PTUN Jakarta.
PTUN Jakarta menerima gugatan tujuh
terpidana kasus korupsi terhadap pengetatan remisi yang dikeluarkan Kementerian
Hukum dan HAM.
Dan kasus terakhir yang adalah kemenangan
Yusril Ihza Mahendra yang memaksa Presiden SBY dan Mendagri menunda pencopotan
gubernur Bengkulu.
Hukum akhirnya ditegakkan dan Presiden pun
akhirnya mematuhi putusan pengadilan
Kita masih menunggu lakon gugatan Yusril
Ihza Mahendra tentang jabatan Wakil Menteri (Wamen) dan mengenai APBN-P tentang
BBM.
Si “Natsir Muda”
Nama Yusril Ihza Mahendra tidak dapat
dilepaskan sebagai ahli Hukum Tata Negara. Sebagai Doktor dalam
ilmu Hukum Tata Negara, “kepakaran-nya”
diakui berbagai kalangan. Analisisnya tajam dan sangat menguasai masalah.
Berbagai issu perdebatan yang dalam konteks ketatanegaraan dikuasai. Lawan
debat Yusril sering dibuat “keok”
terhadap pernyataan dan analisisnya.
Sehingga tidak salah, “kepiawaian” dan analisisnya sering
disamakan dengan M. Natsir. Dan
sering juga dijuluki sebagai Natsir Muda.
Sama seperti Natsir, Natsir Muda yang
mendukung SBY menjadi Presiden kemudian tersingkir dari pusat kekuasaan.
Disebut-sebutnya nama Yusril dalam “issu
duit panas Tommy Soeharto” membuat Natsir Muda kemudian digantikan oleh SBY
Tahun 2007.
Apakah Natsir Muda mengikuti sejarah Natsir yang diasingkan Pemerintahan Soekarno
Natsir Muda telah menegakkan kepala menghadapi “kezaliman penguasa”. Natsir Muda membuktikan, pernyataannya telah mewarnai jagat rimba belantara dunia hukum. Natsir Muda membuktikan. Hanya orang dengan pikiran besar yang akan dikenang sejarah.
Advokat,
Tinggal di Jambi