23 Mei 2012

opini musri nauli : Peperangan Laksamana "Cheng ho" di dunia hukum



PEPERANGAN LAKSAMANA “CHENG HO”  DI DUNIA HUKUM
Musri Nauli

Indonesia sedang menyaksikan kolosal peperangan Laksamana ”Cheng Ho”. Pertarungan Yusri Ihza Mahendra sekali lagi memberikan ”pelajaran” penting ”negara hukum (rechtmact)” sedang berjalan di Pengadilan (Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara) bagaimana hukum diatas kepentingan politik ”sesaat”, dan persamaan dimuka hukum (equality before the law).
Kemenangan kecil, kemenangan telak dan kemenangan yang diraih tanpa perlawanan ”seakan-akan” memberikan pelajaran kepada kita semua, bagaimana Pemerintah ”kewalahan” menghadapi serangan dari seorang diri dari Laksamana Cheng Ho”.

Kepiawaian, strategi yang jitu, menguasai teknik peperangan, jago strategi bahkan mempersiapkan diri segala potensi sumber daya yang dimiliki untuk memasuki pertarungan merupakan modal penting dari YIM.

Bahasa yang digunakan runut, sistematis, sederhana namun ”telak” memberikan ”daya serang” yang mematikan. Hampir setiap lawan ”di skak mati”, tidak berkutik dan termangu terhadap berbagai strategi jitunya menghentikan lawan.

JAGO STRATEGI LAKSAMANA CHENG HO

Sorotan terhadap YIM dapat dilihat ketika Hendarman Supandji menganggap sah sebagai jaksa agung karena diangkat menjadi Jaksa Agung berdasarkan Keppres 31/P Tahun 2007.

Sebagai jago strategi Laksamana Cheng Ho  kepada Jaksa Agung Hendarman Supanji, menemukan momentum disaat ”tantangan” Hendarman Supanji menawarkan persoalan jabatan ”Jaksa Agung” diselesaikan melalui ”pengadilan”.

Upaya mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menggugat jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung di Mahkamah Konstitusi berhasil.

Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai, “Masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.

Pertarungan antara Yusril Ihza Mahendra vs pemerintah yang kedua adalah tentang saksi meringankan. Yusril meminta Kejaksaan Agung memanggil saksi alibi yang meringankannya. Yakni Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) selalu menolak pemanggilan saksi oleh pemohon sebab dinilai tidak mengetahui dan tidak berada dalam tempat kejadian perkara.

Yusril meminta pengujian terhadap Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menjelaskan soal definisi saksi.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Yusril. MK memutus bahwa yang dimaksud saksi tidak hanya mereka yang melihat, mendengar dan mengalami, tetapi juga yang mengetahui.

Pertarungan ketiga adalah masalah surat cekal. Sebagaimana diketahui, Yusril telah mendaftarkan gugatan ke PTUN. Yang digugat Yusril adalah Jaksa Agung Basrief Arief karena menerbitkan Surat Keputusan benomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011. SK itu meminta Ditjen Imigrasi mencekal Yusril sampai satu tahun ke depan. Dari tanggal 26 Juni 2011 sampai tanggal 26 Juni 2012.

Namun, dasar yang digunakan Jaksa Agung untuk mencekal Yusril tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jaksa Agung mendasarkan pada UU No 9 Tahun 1992 yang sudah tidak berlaku lagi. Kemudian, Jaksa Agung mendasarkan pula pada ketentuan PP No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (cekal) serta Peraturan Jaksa Agung nomor PER-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan. Kejaksaan Agung menyadari kekeliruannya dan kemudian memperbaikinya.

Pertarungan selanjutnya yang dimenangkan oleh Yusril Ihza Mahendra tentang pengetatan remisi bagi koruptor.
Yusril mengatakan, Surat Keputusan Menkum dan HAM tertanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kebijakan itu dibatalkan oleh PTUN Jakarta.
PTUN Jakarta menerima gugatan tujuh terpidana kasus korupsi terhadap pengetatan remisi yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM.


Dan kasus terakhir yang adalah kemenangan Yusril Ihza Mahendra yang memaksa Presiden SBY dan Mendagri menunda pencopotan gubernur Bengkulu.

Hukum akhirnya ditegakkan dan Presiden pun akhirnya mematuhi putusan pengadilan

Kita masih menunggu lakon gugatan Yusril Ihza Mahendra tentang jabatan Wakil Menteri (Wamen) dan mengenai APBN-P tentang BBM.

Si “Natsir Muda”

Nama Yusril Ihza Mahendra tidak dapat dilepaskan sebagai ahli Hukum Tata Negara. Sebagai Doktor dalam ilmu Hukum Tata Negara, “kepakaran-nya” diakui berbagai kalangan. Analisisnya tajam dan sangat menguasai masalah. Berbagai issu perdebatan yang dalam konteks ketatanegaraan dikuasai. Lawan debat Yusril sering dibuat “keok” terhadap pernyataan dan analisisnya.

Sehingga tidak salah, “kepiawaian” dan analisisnya sering disamakan dengan M. Natsir. Dan sering juga dijuluki sebagai Natsir Muda.

Sama seperti Natsir, Natsir Muda yang mendukung SBY menjadi Presiden kemudian tersingkir dari pusat kekuasaan. Disebut-sebutnya nama Yusril dalam “issu duit panas Tommy Soeharto” membuat Natsir Muda kemudian digantikan oleh SBY Tahun 2007.

Apakah Natsir Muda mengikuti sejarah Natsir yang diasingkan Pemerintahan Soekarno

Natsir Muda telah menegakkan kepala menghadapi “kezaliman penguasa”. Natsir Muda membuktikan, pernyataannya telah mewarnai jagat rimba belantara dunia hukum.
Natsir Muda membuktikan. Hanya orang dengan pikiran besar yang akan dikenang sejarah.


Advokat, Tinggal di Jambi