Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
45/PUU-IX/2011 pada 21 Februari 2012 telah memutuskan UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan. Putusan ini penting didalam melihat paradigma negara
bersandarkan kepada Putusan MK. Tentu saja didalam melihat putusan MK, pengaruh
dan berbagai pertimbangan akan memberikan tafsiran berbagai pihak terhadap MK.
Kementerian Kehutanan menganggap Putusan
tidak berdampak secara signifikan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasa menganggap
putusan MK justru menguatkan kewenangan pemerintah pusat. Dengan putusan MK itu,
maka pemanfaatan hutan harus mengacu tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada
1986. Sementara Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut Bambang Soepijanto
menegaskan, dalam proses penetapan kawasan hutan, selama ini pihaknya
melaksanakan pasal 15 ayat 1 UU 41/1999, bahwa penetapan kawasan hutan itu
melalui penunjukan, tata batas, pemetaan, dan setelah itu baru penetapan.
Sementara Pemerintah berbagai daerah
menganggap kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam
terutama sektor kehutanan telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Ketidaktegasan Menhut dikhawatirkan menyebabkan adanya tindak pemidanaan pada
para bupati serta warga yang dianggap memasuki kawasan hutan tanpa izin. Hak
kebendaan dan kepemilikan di kabupaten setempat berpotensi dirampas negara
pula.
Berangkat dari perbedaan tafsiran dari
Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah menarik menjadi bahan pembahasan
yang penulis sampaikan.
Pengajuan pembatalan Frasa “ditunjuk dan atau”
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412) kemudian oleh MK dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK menganggap bahwa
frase ”ditunjuk dan atau” dalam rumusan pasal 1 angka 3 UU Kehutanan didasarkan
kepada pasal 15 ayat (1) UU No. 41 tahun 1999. MK menganggap bahwa frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan
bertentangan dengan asas negara hukum, seperti
tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang a quo menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. Penunjukan
kawasan hutan; b. Penataan batas kawasan hutan; c. Pemetaan kawasan
hutan; dan d. Penetapan kawasan hutan”.
Penetapan kawasan hutan adalah
proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa,
“ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan
bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945.
Frasa “ditunjuk dan atau”
tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo.
Dengan demikian
ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 .
Dengan tegas
kemudian MK menyatakan pasal 1 angka (3) UU No. 41 Tahun 1999 bertentangan
dengan UU Dasar 1945.
PARADIGMA ”DOMEIN VERKLARING” DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH
Sudah jamak diketahui, Kementerian Kehutanan yang berada di Pusat
Pemerintahan Negara Republik Indonesia
berangkat dari konsepsi “Dikuasai oleh
negara”.
Secara
prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai
Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein
verklaring dalam Agrarische Wet.
Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian
merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan
(bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan
(beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945
merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan
sebagai ”sosialisme Indonesia”.
Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara
liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah
diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian
diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau
dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia,
sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai
kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan
berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang
status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit,
karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan
dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan
sebagai UU Payung (umbrella act).
Berangkat
dari identitas UUPA sebagai umbrella act,
maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral.
Dengan demikian, maka membicarakan UUPA
menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral”
Setelah
kita memahami UUPA sebagai umbrella act,
maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral”
ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan,
UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan. Ketidaksinkronan antara UUPA dengan
undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air,
UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan
memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA.
Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai
pemberian setengah hati
Namun dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999
kemudian direvisi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan dan tafsiran
sempit dari Kementerian Kehutanan tidak tepat lagi. Kewenangan menentukan
kawasan hutan selain melalui tahap-tahap sebagai ditentukan didalam pasal 15
ayat (1), juga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah didalam mengatur dan
mengelolanya.
Dengan pendekatan yang telah disampaikan,
maka Putusan MK haruslah ditafsirkan sebagai rumusan yang telah mengadopsi dan
mengakui kewenangan otonomi daerah.