Beberapa waktu yang lalu, kita “dihebohkan” polemik tanah antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan
Mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin (ZN). Penulis sengaja memberikan “istilah” polemik menggantikan istilah
konflik selain didasarkan masih “perdebatan kata-kata” di media massa juga
didasarkan, perdebatan belum masuk ke ranah hukum dan belum memberikan impak
dan “kehebohan” di tengah masyarakat.
Kedua belah pihak mempunyai alasan yang kuat baik Pemprov
yang mengklaim memiliki sertifikat hak pakai disisi lain maupun pihak ZN yang
memiliki sertifikat hak milik. Namun tanpa memasuki wilayah teknis dan
menentukan siapa yang paling berhak dan paling benar dalam perkara ini, ada
beberapa catatan penting agar persoalan ini tidak bergeser dari substansi.
Dalam pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria (UUPA), telah ditentukan (a) hak
milik, (b). hak guna-usaha, ©. hak guna-bangunan, (d). hak pakai, (e). hak
sewa, (f). hak membuka tanah, (g). hak memungut-hasil hutan. Pasal 20 ayat
(1) telah ditegaskan “Hak milik adalah
hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”.
Melihat rumusan pasal 16 dan pasal 20 UUPA maka klaim hak milik sebagai hak
yang terkuat dibandingkan dengan hak pakai dapat diterima. MK dalam berbagai
putusannya telah menegaskannya.
Namun yang dilupakan bahwa hak milik bukanlah hak yang
mutlak (absolutisme). Sebagaimana didalam pasal 6 dinyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. UU No. 2 Tahun 2012 menegaskan. Kemudian Negara berdasarkan
kewenangan didalam rumusan pasal 33 UUD 1945 “hak menguasai negara” dapat saja mencabut hak milik seseorang. Rumusan
pasal 33 UUD 1945 inilah yang menjadi semangat dan roh dan pondasi penting
didalam UUPA terutama pasal 6.
Rumusan semangat pasal 33 telah ditegaskan oleh MK Dalam
implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian
merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan
(bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan
(beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945
merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta
merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan
konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Dengan melihat rumusan berbagai ketentuan yang mengatur
tentang hak milik, maka perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengna hukum
dapat dikategorikan sebagai
Perbuatan melawan hukum penguasa (onrecht
matige overheidsdaad).
Sementara mengenai Hak pakai dapat dilihat didalam rumusan
Pasal 41 ayat (1) “Hak pakai adalah hak
untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”. Rumusan
hak pakai merupakan turunan dari Hak menguasai negara (HMN). Konsep ini berbeda
dengan konsep Hak menguasai Negara (domein verklaring) pada pelaksanaan
agrarish wet peninggalan kolonial Belanda. UUPA yang menggantikan Agrarische
Wet 1870 dengan prinsip domein verklaringnya menyatakan semua tanah jajahan
yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat,
tanah dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda.
Hak pakai yang menjadi rumusan inilah yang menjadi pegangan
negara dalam konsep hak menguasai negara (HMN) dalam rumusan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan
pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan
(beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan melihat rumusan yang dimaksudkan,
maka Hak pakai merupakan hak yang diberikan oleh hukum kepada negara.
Jadi dengan melihat rumusan hak milik dan hak pakai
sebagaimana menjadi alas hak kedua belah pihak, maka pernyataan yang mengatakan
hak milik lebih kuat daripada hak pakai tidak dapat dijadikan alasan
argumentasi dalam berhadapan di muka pengadilan. Tentu saja pengadilan akan
mempertimbangkan periode waktu penerbitan hak milik dan hak pakai yang menjadi
alas hak kedua belah pihak.
Selain itu juga termasuk cara mendapatkan baik dengan
cara-cara yang ditentukan hukum (dengan
cara membeli, ganti rugi, pembebasan lahan, ruislag) menjadi bahan yang
penting dan bahan argumentasi bagi kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus
dapat menentukan alas haknya.
Dengan melihat rumusan yang telah dijelaskan, menjadi
tanggung jawab Badan Pertanahan Negara untuk melihat “benang kusut” dari polemik. Tanpa memasuki wilayah teknis
peradilan, peran BPN sangat menentukan untuk mencari akar “benang kusut”.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 17 Juli 2012..