23 Agustus 2012

opini musri nauli : Kepastian Hukum

Sebagai jajahan Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelijk wetboek), Hukum Dagang(wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering), Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.


Dengan meninggalkan berbagai peraturan yang ditinggalkan Belanda, mempunyai konsekwensi hukum, segala segi dan berbagai peraturan harus berdimensi terhadap istilah hukum yang berakar dari Belanda. Sebagai contoh, recht merupakan istilah hukum yang mempunyai konsekwensi, recht yang dapat dijadikan hukum adalah hukum yang tertulis. Walaupun Indonesia mengakui adanya hukum yang hidup di Indonesia yaitu hukum adat (adat recht) namun yang dapat dijadikan pedoman, aturan dan tingkah laku yang mempunyai sanksi adalah hukum yang tertulis (Recht).


Sebagaimana prinsip dalam lapangan ilmu hukum pidana, didalam pasal 1 ayat (1)  Pasal 1 ayat (1) KUHP menurut rumusannya dalam bahasa belanda berbunyi ““Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling” yang artinya “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”

Maka Terdapat 3 (tiga)  asas

  1. bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis;
  2. bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat berlaku surut
  3. bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan UU pidana.

Dengan demikian lahirlah adagium “nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”. Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut hukum pidana atau tidak.


Asasnya adalah nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya “tidak dapat dihukum seseorang, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya”.


Roh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht merupakan asas yang bersifat universal adalah asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Asas ini mendalilkan tentang adanya kepastian hukum (rechts zekerheid) (“bagi saja larangan berlaku surut ini adalah memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan sikap saja pada umumnya terhadap hukum”. Wirjono Prdjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta, PT. Eresco, 1967, Hal. 32.)


Dengan melihat rumusan yang telah disampaikan, harus diakui, Hukum Pidana masih berpatokan kepada asas kepastian hukum dimana rumusan yang diakui masih mengakui terhadap hukum yang tertulis.