Tak habis waktu membicarakan bagaimana strategi “melumpuhkan”,
“menghancurkan”, ”membasmi” KPK. Tidak cukup waktu bagaimana desain para
koruptor yang selalu mengintai bagaimana menghabisi KPK.
Suka atau tidak, lembaga KPK sudah menjadi momok yang menakutkan bagi sang
koruptor. KPK sudah menjadi lembaga yang begitu digdaya setelah diberi
kewenangan oleh amanat UU dimulai dari penyidikan, penuntutan sampai
dibentuknya Pengadilan adhock Tipikor. Belum lagi kewenangan melakukan
penyadapan, memeriksa tanpa izin dari Presiden dan berbagai kewenangan yang
diberikan oleh UU No. 30 Tahun 2002.
Begitu digdaya kewenangan yang diberikan oleh UU untuk KPK sebagai lembaga
pemberantasan korupsi tentu saja menimbulkan reaksi perlawanan. UU No. 30 Tahun
2002 sebagai ”pioner” UU lembaga anti korupsi merupakan salah satu UU favorit
yang paling sering ”di judicial review” di MK. Kemenangan koruptor ditandai
setelah UU No. 30 Tahun 2002 kemudian ditandai oleh MK yang memerintahkan
parlemen agar memperbaiki terhadap kewenangan mengadili. Dalam bahasa awan, UU
ini diperbaiki hingga 3 tahun.
Belum lagi serangan teror, upaya kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang
gigih ”menyeret” pelaku koruptor ke muka persidangan. Kasus Antasari Azhar dan
”kriminalisasi” Cicak-Buaya, merupakan skenario yang paling serius terhadap
keberadaan lembaga KPK. Upaya ini sedikit berhasil, karena pada masa ini,
konsentrasi KPK terpecah antara mengurusi tanggungjawab memberantas korupsi
berhadapan dengan kasus yang terus dikejar oleh Kepolisian. Pada masa inilah,
masa yang paling kelam bagi KPK.
Namun yang pasti, dukungan terus menerus dari publik berhadapan dengan
”koboy” senayan yang terus memainkan perannya, sedikit membuat KPK tetap kokoh.
Berbagai skenario seperti ”upaya” menghilangkan kewenangan KPK seperti
”penyadapan”, ”penuntutan” membuat reaksi publik terus dibelakang KPK. Upaya
ini sedikit memberikan gambaran bagaimana KPK terus didukung.
Dalam kurun akhir-akhir ini kemudian, upaya sistematis semakin canggih.
Dimulainya dari tidak dikabulkannya pembangunan gedung KPK, menarik personil
penyidik dari kepolisian, sekarang wacana menghilangkan kewenangan KPK. Upaya
ini sedikit banyak cukup menyita energi KPK. KPK seakan-akan ”tersandera” dan
terjebak pragmatis dalam tarik menarik kekuatan politik yang terus mendesainkan
dengan cara-cara yang canggih. Konsentrasi KPK terganggu. Pada titik ini, harus
diakui, KPK sedikit kritis. KPK kemudian menyadari upaya pemberantasan korupsi
merupakan agenda bersama. Bukan agenda KPK semata.
Namun harus diakui, persoalan korupsi sudah menimbulkan tahap memuakkan di
tengah masyarakat. Putaran zaman sudah menghendaki upaya pemberantasan korupsi
harus terus didukung. Pada titik inilah, optimis senantiasa disuarakan.