Beberapa waktu yang lalu, dikabarkan telah
terjadinya perdamaian antara Desa Pedukun dan Desa Lubuk Nyiur, Kecamatan Tanah
Tumbuh, Kabupaten Bungo. Terlepas dari motif dan akibat dari perselisihan yang
terjadi, upaya perdamaian dengan menggunakan pendekatan hukum adat selalu
menarik perhatian .(http://www.metrojambi.com/v1/daerah/9975-warga-pedukun-lubuk-niur-sepakat-berdamai.html)
Dalam ranah masyarakat Melayu, penyelesaian
dengna menggunakan pendekatan hukum adat harus dipandang ”tidak semata-mata”
dibayarkan dan disetujui kedua belah pihak. Tidak bisa dilihat ”semata-mata”
itu. Harus dilihat dilihat dari konteks yang lebih luas.
Sebagai bagian dari masyarakat agraris yang
menjunjung tinggi ”nilai-nilai” adat memang berangkat dari ranah
pemikiran yang sulit dipahami dari konteks pemikiran barat. Dalam konteks
pemikiran hukum barat terutama berangkat dari pemikiran rasional-individual
berbanding terbalik dengna pemikiran agraris irrasional magis.
Segala sesuatu yang diberikan oleh alam memang
sering ditafsirkan dari ranah pemikiran itu. Peredaran bulan, matahari dan
segala sesuatunya berangkat dari pemikiran itu. Maka termasuk perselisihan
sosial, perselisihan keluarga, perselisihan personal selalu mengutamakan
penyelesaian yang menggunakan pendekatan adat.
Dalam ranah sejarah perkembangan masyarakat
Indonesia, hukum adat yang mengutamakan denda dijatuhkan selain sebagai tanda
bukti atas kesalahan, maka juga diwujudkan sebagai pernyataan bersama,
perselisihan harus disudahi dan kembali ke jalan tertib yang sudah disepakati.
Denda dijatuhkan setelah melihat tingkat
kesalahan, bukti maaf juga didasarkan kepada kemampuan untuk membayar denda.
Ukuran denda juga dilihat dari kesalahan. Antara denda berupa kerbau/sapi,
kambing atau ayam merupakan tingkatan kesalahan dan denda yang mesti dibayar.
Lengkap dengan berbagai beras, selemak-semanis dan sebagainya. Sebagai
contoh, apabila denda dijatuhkan berupa seekor kerbau, maka harus diikuti
dengna beras 100 gantang (1 gantang lebih kurang 2,5 kg) dan
”selemak-semanis”. Begitu juga kalo denda berupa kambing, maka beras 20
gantang. Apabila ayam maka beras 1 gantang.
Denda ukuran kerbau sungguh berat. Denda ini
dijatuhkan terhadap kesalahan yang cukup serius. Dalam ”PUCUK UNDANG NAN
DELAPAN” disebutkan, denda kerbau dijatuhkan terhadap kesalahan seperti tikam
bunuh atau ”Mati di bangun” (membunuh),
dago-dagi (perbuatan onar yang menimbulkan kekacauan), siur bakar (membakar
kampung, ladang dan rumah orang lain). Bahkan di berbagai daerah, menebang
pohon sialang (pohon yang terdapat sarang lebah), denda dijatuhkan malah
lebih berat. 2 ekor kerbau.
Perselisihan antar kampung memang sering ”diselesaikan”
dengan denda dijatuhkan berupa kerbau. Selain memang ”kesalahan” cukup
berat, yang ditandai ketakutan antara kampung menimbulkan trauma yang
berkepanjangan, denda berupa kerbau digunakan sebagai ”upacara adat”
untuk digunakan bermaaf-maafan. Kerbau kemudian dipotong dan dapat digunakan
sebagai bahan utama makan antara penduduk kedua kampung.
Dalam ranah pendekatan restroaktive justice,
pendekatan hukum adat lebih effektif digunakan daripada menggunakan pendekatan
”hukum” an sich. Hukum pidana yang berfungsi sebagai ultimum remedium
sering mengedepankan ”ketertiban” daripada ketentraman. Vonis yang
dijatuhkan sering kali selain tidak menimbulkan ”keadilan” bagi korban
juga sering memantik reaksi dari pelaku maupun keluarga pelaku. Kita masih
sering melihat bagaimana putusan hakim kurang direspon dengan baik kedua belah
pihak.
Maka model hukum adat dengan pendekatan
restoraktive justice merupakan salah
satu solusi dari berbagai pendekatan hukum positif yang masih menjunjung
kepastian hukum. Model hukum adat adalah salah satu solusi di tengah berbagai
kebuntuan dari sistem hukum yang justru berangkat dari pemikiran barat,
rasional-individual.
Dimuat di Posmetroonline, 26 September 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/10186-sekilas-tentang-denda-kerbau.html
Dimuat di Posmetroonline, 26 September 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/10186-sekilas-tentang-denda-kerbau.html