21 Oktober 2012

opini musri nauli : BERITA DALAM KACAMATA MEDIA


Terlepas dari substansi berita yang dipaparkan, berbagai peristiwa yang terjadi selalu diakhiri dengan “not” happy ending. Publik “cuma” disuguhi dahaga tanpa memberikan “pengetahuan” bagaimana happy ending peristiwa itu terjadi.
Saat Pesawat Hawk jatuh di di RT 04 RW 03 Jl Amal Dusun Bencah Limbad Desa Pandau Jaya Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau, bukan media mengabarkan berbagai sebab, akibat dan hal-ikhwal teknis terjadi kecelakaan itu. Namun berita itu tenggelam dengan berbagai pemberitaan yang justru “mengaburkan”, “mengalihkan”, bahkan “meninggalkan keinginan publik untuk mengetahui terjadinya kecelakaan itu.
Setelah kecelakaan pesawat Hawk, publik “dikejutkan” dengan cara-cara penanganan “berita” oleh mereka yang “berbaju seragam”. Dengan telanjang dan didepan anak berbaju sekolah, mereka “berbaju seragam”, memukul, mencekik, merampas kameraman photografer yang meliput. Dengan “ganas”, wartawan yang sudah berteriak dan mengeluarkan ID card, langsung ditendang, kemudian “dicekik”. Sementara aparat “berbaju seragam” lainnya bukan “melerai”, malah “merampas” kamera wartawan itu.
Berita ini sungguh “biadab” ditengah keinginan publik agar mereka “berbaju berseragam”, dapat menangani kejadian dengan cara-cara yang beradab. Bukan dengan cara “memukul”, “menerjang”, “mencekik”, “merampas” kamera.
Nurani publik tersentak. Publik dilihatkan bagaiamana “kekerasan” masih saja terjadi dan di tengah kerumuman masyarakat. Di depan anak “berbaju sekolahan”.
Sehingga peristiwa itu justru “memantik” reaksi publik. Dukungan dari berbagai pihak agar para pelaku “diproses” di muka persidangan menjadi headline di berbagai media massa. Hampir praktis setiap saat, berita yang berkaitan dengan pemukulan terhadap wartawan “mendominasi” pemberitaan.
Namun sungguh ironi. Entah bagaimana perkembangan terhadap peristiwa itu (apakah sudah diproses atau belum), berita kecelakaan justru “tenggelam” dan “dimeriahkan” berita pemukulan. Padahal publik memang berharap agar “para pelaku” diproses secara hukum, namun berita “kecelakaan” pesawat Hawk haruslah mendapatkan porsi yang seimbang. Berbagai penyebab “kecelakaan” haruslah tetap diungkapkan. Apakah berkaitan dengan teknologi “militer' yang sudah kuno, bagaimana perawatannya, bagaimana prosedur terhadap kecelakaan pesawat militer (apakah adanya sabotase, kelalaian terhadap sistem navigasi) atau berbagai pertanyaan yang mengganggu terus bergelantungan di pikiran kita. Kita tidak menemukan jawaban. Berita itu “tenggelam” dan sekarang entah kemana pemberitaan itu.
Begitu juga kecelakaan dilakukan oleh model panas Novi Amalia yang “menabrak” 7 orang di jalan raya. Kecelakaan yang dilakukan model panas Novi Amalia menarik perhatian publik. Publik kemudian diingatkan kecelakaan yang serupa yang menewaskan 12 orang di trotoar dekat tugu Tani. Kecelakaan ini kemudian dikenal dengan istilah “Maut di tugu tani”. Afriyani sebagai pelaku kemudian diseret dimuka persidangan terbukti lalai yang menyebabkan 12 orang mati. Persidangan “maut di tugu tani” menarik perhatian publik.
Berbagai wacana kemudian menarik perhatian ahli hukum. Kepolisian kemudian menerapkan berbagai tuduhan. Pasal yang dikenakan kepada Afriyani selain pasal-pasal yang berkaitan dengan narkotika, lalu lintas kemudian juga menerapkan pasal-pasal pembunuhan.
Wacana menerapkan pasal-pasal “pembunuhan” terhadap Afriyani memang menarik dan menjadi diskusi yang menarik. Pro dan kontra menjadi polemik.
Terlepas dari putusan pengadilan yang hanya “memutuskan” pasal-pasal kelalaian lalu lintas dan narkotika (tidak menerapkan pasal-pasal pembunuhan), persidangan Afriyani “seakan-akan” dapat memenuhi dahaga publik.
Namun kontra dengan peristiwa yang terjadi dengan Novi Amalia. Bukan kasus lalu lintas yang menyebabkan berbagai korban yang menjadi sorotan media, “ditangkapnya” Novi Amalia dalam keadaan “teler” dan berpakaian tidak senonoh yang menjadi headline berita. Ditambah kemudian “beredar” photo-photo Novi Amalia yang sungguh-sungguh tidak pantas di kantor Polisi. Menggunakan celana dalam, tidak menggunakan bra bahkan ada photo-photo yang “seronok” yang sungguh-sungguh tidak pantas di kantor Polisi.
Reaksi publik kemudian menjadi marah. Kantor Polisi yang “seharusnya” pemeriksaan tertutup, steril dari pengamatan publik kemudian menjadi arena yang terbuka. Publik kemudian marah. Bagaimanapun mungkin, seorang tahanan “diperlakukan” sungguh tidak pantas, merendahkan harkat kemanusiaan, menggugah nurani bahkan “memperlakukan” tahanan seperti itu. Sungguh-sungguh biadab. Belum lagi ditambahnya bisa beredarnya photo-photo tersebut ke publik.
Media massa kemudian “memberitakan” perlakuan tidak pantas kepada tahanan. Media massa kemudian memberikan porsi yang dahsyat. Berita ini kemudian mengalahkan berita tentang perseturuan KPK vis Polri, berita kemenangan Jokowi dan berita-berita lainnya yang sebenarnya menjadi perhatian masyarakat.
Terlepas dari tuntutan publik agar para pelaku diproses dimuka pengadilan, terlepas dari cara perlakuan terhadap tahanan, berita terhadap kecelakaan harus juga diberitakan seimbang. Berita tentang ancaman narkoba yang sudah masuk ke wilayah publik, sudah “merenggut” jiwa manusia, bagaimana model penanganan narkoba yang langsung bersentuhan dengan publik, bagaimana kecelakaan itu terjadi, siapa yang juga harus diminta pertanggugjawaban merupakan berita yang dibutuhkan publik. Berita itu dapat memberikan “tuntutan”, menjadi warning agar tidak terulang di kemudian hari. Berita itu yang harusnya juga mendapatkan porsu yang seimbang.
Dua peristiwa yang telah dipaparkan, sekedar memberikan ingatan kepada kita. Media massa telah menjadi bagian dari konsumsi publik dalam industri pers yang memang menuntut persaingan tinggi. Sehingga berita-berita yang berkaitan dengan entertainment lebih dibutuhkan daripada berita-berita yang “sebenarnya” dibutuhkan masyarakat seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran dan berita-berita yang berdampak terhadap rakyat.