Terlepas
dari substansi berita yang dipaparkan, berbagai peristiwa yang
terjadi selalu diakhiri dengan “not” happy ending. Publik “cuma”
disuguhi dahaga tanpa memberikan “pengetahuan” bagaimana happy
ending peristiwa itu terjadi.
Saat
Pesawat Hawk jatuh di di RT 04 RW 03 Jl Amal Dusun Bencah Limbad Desa
Pandau Jaya Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau, bukan media
mengabarkan berbagai sebab, akibat dan hal-ikhwal teknis terjadi
kecelakaan itu. Namun berita itu tenggelam dengan berbagai
pemberitaan yang justru “mengaburkan”, “mengalihkan”, bahkan
“meninggalkan keinginan publik untuk mengetahui terjadinya
kecelakaan itu.
Setelah
kecelakaan pesawat Hawk, publik “dikejutkan” dengan cara-cara
penanganan “berita” oleh mereka yang “berbaju seragam”.
Dengan telanjang dan didepan anak berbaju sekolah, mereka “berbaju
seragam”, memukul, mencekik, merampas kameraman photografer yang
meliput. Dengan “ganas”, wartawan yang sudah berteriak dan
mengeluarkan ID card, langsung ditendang, kemudian “dicekik”.
Sementara aparat “berbaju seragam” lainnya bukan “melerai”,
malah “merampas” kamera wartawan itu.
Berita
ini sungguh “biadab” ditengah keinginan publik agar mereka
“berbaju berseragam”, dapat menangani kejadian dengan cara-cara
yang beradab. Bukan dengan cara “memukul”, “menerjang”,
“mencekik”, “merampas” kamera.
Nurani
publik tersentak. Publik dilihatkan bagaiamana “kekerasan” masih
saja terjadi dan di tengah kerumuman masyarakat. Di depan anak
“berbaju sekolahan”.
Sehingga
peristiwa itu justru “memantik” reaksi publik. Dukungan dari
berbagai pihak agar para pelaku “diproses” di muka persidangan
menjadi headline di berbagai media massa. Hampir praktis setiap saat,
berita yang berkaitan dengan pemukulan terhadap wartawan
“mendominasi” pemberitaan.
Namun
sungguh ironi. Entah bagaimana perkembangan terhadap peristiwa itu
(apakah sudah diproses atau belum), berita kecelakaan justru
“tenggelam” dan “dimeriahkan” berita pemukulan. Padahal
publik memang berharap agar “para pelaku” diproses secara hukum,
namun berita “kecelakaan” pesawat Hawk haruslah mendapatkan porsi
yang seimbang. Berbagai penyebab “kecelakaan” haruslah tetap
diungkapkan. Apakah berkaitan dengan teknologi “militer' yang sudah
kuno, bagaimana perawatannya, bagaimana prosedur terhadap kecelakaan
pesawat militer (apakah adanya sabotase, kelalaian terhadap sistem
navigasi) atau berbagai pertanyaan yang mengganggu terus
bergelantungan di pikiran kita. Kita tidak menemukan jawaban. Berita
itu “tenggelam” dan sekarang entah kemana pemberitaan itu.
Begitu
juga kecelakaan dilakukan oleh model panas Novi Amalia yang
“menabrak” 7 orang di jalan raya. Kecelakaan yang dilakukan model
panas Novi Amalia menarik perhatian publik. Publik kemudian
diingatkan kecelakaan yang serupa yang menewaskan 12 orang di trotoar
dekat tugu Tani. Kecelakaan ini kemudian dikenal dengan istilah “Maut
di tugu tani”. Afriyani sebagai pelaku kemudian diseret dimuka
persidangan terbukti lalai yang menyebabkan 12 orang mati.
Persidangan “maut di tugu tani” menarik perhatian publik.
Berbagai
wacana kemudian menarik perhatian ahli hukum. Kepolisian kemudian
menerapkan berbagai tuduhan. Pasal yang dikenakan kepada Afriyani
selain pasal-pasal yang berkaitan dengan narkotika, lalu lintas
kemudian juga menerapkan pasal-pasal pembunuhan.
Wacana
menerapkan pasal-pasal “pembunuhan” terhadap Afriyani memang
menarik dan menjadi diskusi yang menarik. Pro dan kontra menjadi
polemik.
Terlepas
dari putusan pengadilan yang hanya “memutuskan” pasal-pasal
kelalaian lalu lintas dan narkotika (tidak menerapkan pasal-pasal
pembunuhan), persidangan Afriyani “seakan-akan” dapat memenuhi
dahaga publik.
Namun
kontra dengan peristiwa yang terjadi dengan Novi Amalia. Bukan kasus
lalu lintas yang menyebabkan berbagai korban yang menjadi sorotan
media, “ditangkapnya” Novi Amalia dalam keadaan “teler” dan
berpakaian tidak senonoh yang menjadi headline berita. Ditambah
kemudian “beredar” photo-photo Novi Amalia yang sungguh-sungguh
tidak pantas di kantor Polisi. Menggunakan celana dalam, tidak
menggunakan bra bahkan ada photo-photo yang “seronok” yang
sungguh-sungguh tidak pantas di kantor Polisi.
Reaksi
publik kemudian menjadi marah. Kantor Polisi yang “seharusnya”
pemeriksaan tertutup, steril dari pengamatan publik kemudian menjadi
arena yang terbuka. Publik kemudian marah. Bagaimanapun mungkin,
seorang tahanan “diperlakukan” sungguh tidak pantas, merendahkan
harkat kemanusiaan, menggugah nurani bahkan “memperlakukan”
tahanan seperti itu. Sungguh-sungguh biadab. Belum lagi ditambahnya
bisa beredarnya photo-photo tersebut ke publik.
Media
massa kemudian “memberitakan” perlakuan tidak pantas kepada
tahanan. Media massa kemudian memberikan porsi yang dahsyat. Berita
ini kemudian mengalahkan berita tentang perseturuan KPK vis Polri,
berita kemenangan Jokowi dan berita-berita lainnya yang sebenarnya
menjadi perhatian masyarakat.
Terlepas
dari tuntutan publik agar para pelaku diproses dimuka pengadilan,
terlepas dari cara perlakuan terhadap tahanan, berita terhadap
kecelakaan harus juga diberitakan seimbang. Berita tentang ancaman
narkoba yang sudah masuk ke wilayah publik, sudah “merenggut”
jiwa manusia, bagaimana model penanganan narkoba yang langsung
bersentuhan dengan publik, bagaimana kecelakaan itu terjadi, siapa
yang juga harus diminta pertanggugjawaban merupakan berita yang
dibutuhkan publik. Berita itu dapat memberikan “tuntutan”,
menjadi warning agar tidak terulang di kemudian hari. Berita itu yang
harusnya juga mendapatkan porsu yang seimbang.
Dua
peristiwa yang telah dipaparkan, sekedar memberikan ingatan kepada
kita. Media massa telah menjadi bagian dari konsumsi publik dalam
industri pers yang memang menuntut persaingan tinggi. Sehingga
berita-berita yang berkaitan dengan entertainment lebih dibutuhkan
daripada berita-berita yang “sebenarnya” dibutuhkan masyarakat
seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran dan berita-berita yang
berdampak terhadap rakyat.