SERANGAN
“SKAK MATT” KEPADA KPK
Lagi-lagi
kita “dipertontonkan” adegan intimidasi dan gaya “cowboy”
ketika puluhan polisi berseragam lengkap dan
preman itu berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan
dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka
berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari
mereka masih berada di KPK. Provost yang hadir di KPK dikabarkan
mengincar salah satu penyidik senior di lembaga itu, Kompol Novel
Baswedan. (detik.com)
Sulit
dipungkiri, kedatangan ke KPK merupakan cara-cara “intimidasi”
dan gaya “teror”
terhadap penyidik di KPK yang mengungkapkan kasus Korupsi
“simulator SIM” yang melibatkan petinggi Polri. Dengan
alasan hendak membawa Kompol Novel Baswedan karena terlibat kasus
“kekerasan” tahun 2004, cara ini memberikan pesan kepada
KPK, berhadapan dengan Kepolisian akan mempunyai konsekwensi yang
serius dan bisa mengancam langsung. Baik fisik maupun teror mental.
Terlepas
dari kasus tahun 2004, kita tentu saja tidak dapat membenarkan
“cara-cara” kekerasan yang pernah dilakukan oleh Kompol
Novel Baswedan. Kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan.
Kekerasan merupakan cara-cara barbar yang tidak mungkin dapat tempat
lagi di Republik Indonesia. Kekerasan memang menjadi bagian dari
cara-cara orde baru namun tidak dapat dibenarkan.
Dengan
alasan itulah, kemudian terhadap kekerasan yang dilakukan tahun 2004
tetap tidak bisa diterima dengan alasan apapun. Maka terhadap
cara-cara kekerasan haruslah diproses dan dipertanggungjawabkan
secara hukum.
Namun
Kompol Novel Baswedan sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Mekanisme internal kepolisian telah memeriksa dan memberikan sanksi
yang tegas kepada Kompol Novel Baswedan. Kepolisian telah memberikan
kesempatan kepada Kompol Novel Baswedan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sehingga dengan menjalani sanksi dari Kepolisian, maka
Kompol Novel Baswedan haruslah dinyatakan sebagai pejabat yang
bertanggungjawab secara langsung.
Kesalahan
yang telah dilakukan oleh Kompol Novel Baswedan dan sanksi yang telah
dijalani merupakan “masa lalu” yang tidak bisa lagi
diotak-atik”. Sanksi yang diberikan kepada Kompol Novel
Baswedan bukan bersifat balas dendam. Bukan berangkat dari pemikiran
kolot. Eye for eye. Hukum haruslah bersifat mendidik.
Dengan demikian, setelah menjalani sanksi yang diberikan, Kompol Novel Baswedan tetap “diberikan” kesempatan untuk memperbaiki diri dan terus mengembangkan karir dan kesempatan untuk maju. Kompol Novel Baswedan diberikan kesempatan untuk mengikuti jenjang karir.
Kepolisian
kemudian “mengirimkan” penyidik terbaiknya untuk mengikuti
seleksi dan “ditugaskan” di KPK. Kompol Novel Baswedan
termasuk kedalam kriteria “terbaik” untuk membantu KPK
membongkar “borok” korupsi. Kompol Novel Baswedan kemudian
membuktikan kinerjanya. Dia merupakan penyidik
yang terlibat dalam penangkapan bupati Buol Amran Batalipu. Novel
adalah penyidik KPK yang dengan keras menghadang upaya penghentian
penggeledahan KPK di markas Korlantas bulan Juli lalu. Padahal kala
itu, dia harus berhadapan dengan perwira Mabes Polri berpangkat
Kombes. Novel adalah salah satu penyidik KPK yang melakukan
pemeriksaan langsung kepada Irjen Djoko Susilo, tersangka kasus
Simulator SIM. Seorang perwira menengah berpangkat Kompol memeriksa
jenderal aktif bintang dua.
Harus
diakui, penetapan tersangka Irjen Djoko Susilo merupakan “serangan”
langsung menusuk jantung kekuasaan di Polri. Penggeledahan di
Korlantas Mabes Polri merupakan “serangan”
berani yang dilakukan KPK. Degup publik sempat terhenyak. KPK sudah
menabuh genderang perang langsung terhadap “kekuasaan
elite” di Kepolisian. KPK sudah
mulai beranjak untuk menaikkan “tensi”
perlawanan terhadap koruptor. Publik mengapresiasi KPK setelah
sebelumnya “issu rekening gendut”
tidak membuahkan hasil.
Dengan
“memberikan” perhatian yang penuh terhadap kasus simulator
SIM, maka diperlukan penyidik yang handal yang secara otomatis
berhadapan dengan atasan langsung dari POLRI. Cara-cara yang
digunakan juga canggih, sesuai dengan koridor hukum dan tidak dapat
dimentahkan di pengadilan. Maka penyidik yang diperlukan tentu saja
yang terbaik. Par excelencia. Terungkapnya kasus ini tentu saja tidak
dapat dipisahkan dari “kehandalan” penyidik. Sehingga KPK
kemudian menganggap “penyidik” terbaik yang diberikan oleh
kepolisian dalam mengungkapkan kasus ini dapat menunjang kinerja KPK.
Namun
yang “sungguh-sungguh” aneh apabila kemudian Polda
Bengkulu kembali mengungkit-ungkit persoalan lama. Terlepas dari
peristiwa ini terjadi, membicarakan peristiwa ini tidak relevan lagi.
Tidak up to date. Istilah hukumnya “ne bis in idem”. Sudah
pernah diperiksa, diputuskan dan tidak boleh diperiksa lagi.
Dengan
demikian, maka cara-cara ini sungguh-sungguh “keterlaluan”.
Kekanak-kanakan, kampungan, norak.
Logika
inilah kemudian yang “memantik” reaksi publik. Publik
kemudian merasakan adanya upaya sistematis penyerangan terhadap KPK.
Publik kemudian “merapatkan” barisan setelah serangan
bertubi-tubi terhadap KPK.
Tentu
saja berbagai upaya sistematis yang terus dilakukan terhadap KPK,
baik “kriminalisasi” pimpinan KPK (baca kasus Cicak vs
Buaya, Kasus Bibit Chandra, kriminalisasi terhadap Antasari Azhar),
mengurangi kewenangan KPK (dengan kedok “revisi” UU KPK dengan
mengurangi kewenangan penyadapan, penuntutan), mengontrol KPK
(dengan model menawarkan Badan Pengawas KPK), mengotak-atik
anggaran maupun berbagai perlawanan “uji materiil” UU KPK
di MK merupakan cara-cara yang terus menerus dilakukan untuk
“menghapus” keberadaan KPK
Setelah
berbagai serangan kepada KPK belum membuahkan hasil, maka cara-cara
canggih mulai dilakukan. Perintah Polri untuk menarik “penyidik”nya
bertujuan untuk memberikan pelajaran keras. Sekali jalan. Selesai.
Serangan “skak matt”.
Perintah
Polri untuk “menarik” penyidiknya justru “memakan
senjata tuan”. Penyidik yang ditempatkan oleh Polri justru
“mengajukan pemberhentian” dan kemudian KPK mengangkatnya
menjadi pegawai KPK.
Sekarang
dimulai model serangan baru. Teror “mental”,
mengungkit-ungkit kasus lama, mencari kesalahan, menghubung-hubungkan
dengan berbagai peristiwa merupakan cara-cara yang akan terus
dilakukan.
Namun
kita harus yakin. Semakin serius KPK membongkar berbagai “borok”
korupsi dan mulai menyentuh lapisan elite, maka semakin canggih,
semakin serius keberadaan KPK diserang.
Kita
tinggal menunggu lakon selanjutnya. Bagaimana akhir dari “goro-goro”
ini.