06 Oktober 2012

opini musri nauli : SERANGAN "SKAK MATT" KEPADA KPK



SERANGAN “SKAK MATT” KEPADA KPK

Lagi-lagi kita “dipertontonkan” adegan intimidasi dan gaya “cowboy” ketika puluhan polisi berseragam lengkap dan preman itu berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari mereka masih berada di KPK. Provost yang hadir di KPK dikabarkan mengincar salah satu penyidik senior di lembaga itu, Kompol Novel Baswedan. (detik.com)
Sulit dipungkiri, kedatangan ke KPK merupakan cara-cara “intimidasi” dan gaya “teror” terhadap penyidik di KPK yang mengungkapkan kasus Korupsi “simulator SIM” yang melibatkan petinggi Polri. Dengan alasan hendak membawa Kompol Novel Baswedan karena terlibat kasus “kekerasan” tahun 2004, cara ini memberikan pesan kepada KPK, berhadapan dengan Kepolisian akan mempunyai konsekwensi yang serius dan bisa mengancam langsung. Baik fisik maupun teror mental.

Terlepas dari kasus tahun 2004, kita tentu saja tidak dapat membenarkan “cara-cara” kekerasan yang pernah dilakukan oleh Kompol Novel Baswedan. Kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan. Kekerasan merupakan cara-cara barbar yang tidak mungkin dapat tempat lagi di Republik Indonesia. Kekerasan memang menjadi bagian dari cara-cara orde baru namun tidak dapat dibenarkan.

Dengan alasan itulah, kemudian terhadap kekerasan yang dilakukan tahun 2004 tetap tidak bisa diterima dengan alasan apapun. Maka terhadap cara-cara kekerasan haruslah diproses dan dipertanggungjawabkan secara hukum.

Namun Kompol Novel Baswedan sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mekanisme internal kepolisian telah memeriksa dan memberikan sanksi yang tegas kepada Kompol Novel Baswedan. Kepolisian telah memberikan kesempatan kepada Kompol Novel Baswedan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga dengan menjalani sanksi dari Kepolisian, maka Kompol Novel Baswedan haruslah dinyatakan sebagai pejabat yang bertanggungjawab secara langsung.

Kesalahan yang telah dilakukan oleh Kompol Novel Baswedan dan sanksi yang telah dijalani merupakan “masa lalu” yang tidak bisa lagi diotak-atik”. Sanksi yang diberikan kepada Kompol Novel Baswedan bukan bersifat balas dendam. Bukan berangkat dari pemikiran kolot. Eye for eye. Hukum haruslah bersifat mendidik.

Dengan demikian, setelah menjalani sanksi yang diberikan, Kompol Novel Baswedan tetap “diberikan” kesempatan untuk memperbaiki diri dan terus mengembangkan karir dan kesempatan untuk maju. Kompol Novel Baswedan diberikan kesempatan untuk mengikuti jenjang karir.

Kepolisian kemudian “mengirimkan” penyidik terbaiknya untuk mengikuti seleksi dan “ditugaskan” di KPK. Kompol Novel Baswedan termasuk kedalam kriteria “terbaik” untuk membantu KPK membongkar “borok” korupsi. Kompol Novel Baswedan kemudian membuktikan kinerjanya. Dia merupakan penyidik yang terlibat dalam penangkapan bupati Buol Amran Batalipu. Novel adalah penyidik KPK yang dengan keras menghadang upaya penghentian penggeledahan KPK di markas Korlantas bulan Juli lalu. Padahal kala itu, dia harus berhadapan dengan perwira Mabes Polri berpangkat Kombes. Novel adalah salah satu penyidik KPK yang melakukan pemeriksaan langsung kepada Irjen Djoko Susilo, tersangka kasus Simulator SIM. Seorang perwira menengah berpangkat Kompol memeriksa jenderal aktif bintang dua.

Harus diakui, penetapan tersangka Irjen Djoko Susilo merupakan “serangan” langsung menusuk jantung kekuasaan di Polri. Penggeledahan di Korlantas Mabes Polri merupakan “serangan” berani yang dilakukan KPK. Degup publik sempat terhenyak. KPK sudah menabuh genderang perang langsung terhadap “kekuasaan elite” di Kepolisian. KPK sudah mulai beranjak untuk menaikkan “tensi” perlawanan terhadap koruptor. Publik mengapresiasi KPK setelah sebelumnya “issu rekening gendut” tidak membuahkan hasil.

Dengan “memberikan” perhatian yang penuh terhadap kasus simulator SIM, maka diperlukan penyidik yang handal yang secara otomatis berhadapan dengan atasan langsung dari POLRI. Cara-cara yang digunakan juga canggih, sesuai dengan koridor hukum dan tidak dapat dimentahkan di pengadilan. Maka penyidik yang diperlukan tentu saja yang terbaik. Par excelencia. Terungkapnya kasus ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari “kehandalan” penyidik. Sehingga KPK kemudian menganggap “penyidik” terbaik yang diberikan oleh kepolisian dalam mengungkapkan kasus ini dapat menunjang kinerja KPK.

Namun yang “sungguh-sungguh” aneh apabila kemudian Polda Bengkulu kembali mengungkit-ungkit persoalan lama. Terlepas dari peristiwa ini terjadi, membicarakan peristiwa ini tidak relevan lagi. Tidak up to date. Istilah hukumnya “ne bis in idem”. Sudah pernah diperiksa, diputuskan dan tidak boleh diperiksa lagi.
Dengan demikian, maka cara-cara ini sungguh-sungguh “keterlaluan”. Kekanak-kanakan, kampungan, norak.

Logika inilah kemudian yang “memantik” reaksi publik. Publik kemudian merasakan adanya upaya sistematis penyerangan terhadap KPK. Publik kemudian “merapatkan” barisan setelah serangan bertubi-tubi terhadap KPK.

Tentu saja berbagai upaya sistematis yang terus dilakukan terhadap KPK, baik “kriminalisasi” pimpinan KPK (baca kasus Cicak vs Buaya, Kasus Bibit Chandra, kriminalisasi terhadap Antasari Azhar), mengurangi kewenangan KPK (dengan kedok “revisi” UU KPK dengan mengurangi kewenangan penyadapan, penuntutan), mengontrol KPK (dengan model menawarkan Badan Pengawas KPK), mengotak-atik anggaran maupun berbagai perlawanan “uji materiil” UU KPK di MK merupakan cara-cara yang terus menerus dilakukan untuk “menghapus” keberadaan KPK

Setelah berbagai serangan kepada KPK belum membuahkan hasil, maka cara-cara canggih mulai dilakukan. Perintah Polri untuk menarik “penyidik”nya bertujuan untuk memberikan pelajaran keras. Sekali jalan. Selesai. Serangan “skak matt”.

Perintah Polri untuk “menarik” penyidiknya justru “memakan senjata tuan”. Penyidik yang ditempatkan oleh Polri justru “mengajukan pemberhentian” dan kemudian KPK mengangkatnya menjadi pegawai KPK.

Sekarang dimulai model serangan baru. Teror “mental”, mengungkit-ungkit kasus lama, mencari kesalahan, menghubung-hubungkan dengan berbagai peristiwa merupakan cara-cara yang akan terus dilakukan.

Namun kita harus yakin. Semakin serius KPK membongkar berbagai “borok” korupsi dan mulai menyentuh lapisan elite, maka semakin canggih, semakin serius keberadaan KPK diserang.

Kita tinggal menunggu lakon selanjutnya. Bagaimana akhir dari “goro-goro” ini.