BELAJAR
DARI SANG SUPIR
(Lagi-lagi
Jokowi)
Pelajaran
memang didapat dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Hari
Jumat pagi, penulis mendapatkan pelajaran penting yang justru tidak
(mungkin belum) didapatkan dari literatur.
Pembicaraan
dimulai ketika setelah dari Palangkaraya (menghadiri kegiatan
nasional sebuah organisasi), turun di Jakarta, kemudian menyewa
kendaraan. Setelah tawar menawar harga, hitung-hitungan (karena
naik bersama-sama) dan dianggap murah, kemudian OK. Penulis
kemudian bersama dengan beberapa teman kemudian naik mobil avanza.
Biasalah.
Sembari menyusuri jalan tol yang sudah macet, pembicaraan dibuka.
Pembicaraan dimulai biasanya dengan issu terkini dan paling dekat
dengan masyarakat. Dan yang paling hangat mengenai Jokowi. Kemenangan
Jokowi. Maka pembicaraanpun berlangsung.
Kemarin
Milih Jokowi, Mas ? Ya. Pas putaran kedua. Putaran pertama milih
Hidayat. Putaran kedua milih Hidayat karena dari Partai bersih.
Hm.. Tidak perlu perdebatan panjang kenapa milih Hidayat selain
karena itu hak, juga pandangan seseorang tidak perlu didiskusikan.
Diskusi
mulai mengalir. Sudah dapat kartu sehat ? Kartu Pintar ?... Sudah
!!!. Lalu, sembari menyetir dia bercerita. Sebagai orang
Jawa, saya mendapatkan informasi bahwa Jokowi telah belajar
“managemen alam”. Dan “managen alam” belajar di Solo.
Wah, pelajaran baru nih.
Di
dunia ini kita mengenal ada energi positif dan ada energi negati.
Energi positif adalah energi yang bisa memberikan kehidupan kepada
manusia. Sedangkan energi negatif adalah energi yang harus dibuang
dari manusia. Energi positif dan energi negatif tidak dapat
disatukan. Bagaimanapun energi negatif harus dijadikan energi positif
agar tidak merusak dan menggganggu kehidupan manusia.
Sebagai
contoh. Pelacuran dan prostitusi merupakan energi negatif. Dia tetap
dan harus ada. Energi ini tidak bisa dihilangkan karena apabila
dihilangkan, maka energi ini akan mengganggu manusia dan manusia akan
rusak.
Maka
energi negatif harus dikendalikan. Harus diatur. Harus dipisahkan
dari energi positif. Walaupun energi negatif tapi apabila
dikendalikan, diatur dan dipisahkan tapi harus mengeluarkan energi
positif.
Agar
energi negatif dikendalikan, diatur dan dipisahkan dari energi
positif dan bisa menghasilkan energi positif maka energi negatif
kemudian ditempatkan agar tidak mengganggu energi positif manusia.
Maka harus dicarikan tempat yang terpisah dari tempat energi positif.
Tempat
pelacuran dan tempat perjudian merupakan tempat yang memisahkan
energi negatif daripada energi positif. Tempat pelacuran dan tempat
prostitusi merupakan pembuangan dari energi negatif. Sebagai tempat
pembuangan energi negatif namun tetap bisa menghasilkan energi
positif. Maka tempat pelacuran dan tempat prostitusi yang membuang
energi negatif bisa menghasilkan energi positif, maka ada pasar, ada
rumah makan, ada warung, ada berbagai kebutuhan lainnya. Jadi.
Walaupun tempat pelacuran dan tempat perjudian dimana pembuangan
energi negatif, namun tetap menghasilkan energi positif. Dalam kajian
ekonomi, akan menggerakkan ekonomi. Pasar berkembang, rumah makan
akan penuh dan berbagai aktivitas ekonomi tergerak.
Orang
yang masuk ke tempat pelacuran dan ke tempat perjudian akan
menghabiskan uangnya. Sementara orang didalamnya, memegang uang tidak
akan lama. Karena uang itu panas, maka uang itu harus cepat-cepat
dihabiskan. Uang itu harus cepat dibelanjakan. Maka orang yang masuk
karena banyak menghabiskan uangnya, sedangkan orang yang didalam
cepat menghabiskannya, maka uang yang keluar dibelanjakan.
Membelanjakan uang tersebut kemudian menghasilkan energi positif.
Dengan
perumpaan seperti itu, hampir bisa dipastikan, setiap putaran uang
didalam dunia malam seperti perjudian dan pelacuran memang luar
biasa. Saya meyakini, putaran duit dalam dunia hiburan hampir
dipastikan trilyunan rupiah/malam. Hmm. Saya pernah baca tulisan ini,
tapi lupa dimana sumber yang menyampaikan tulisan ini.
Kemudian
sang Supir bercerita. Setelah tempat perjudian dan tempat pelacuran
ditutup di Jakarta (maksudnya
Kramat Tunggak), maka perekonomian menjadi lesu. Sebagai
supir, sebelum tutup Kramat Tunggak (tahun 1992), hanya
menjadi tukang parkir bisa mendapatkan Rp 120 ribu/malam (Hm..
sebentar. Tahun 1992 mendapatkan Rp 120 ribu luar biasa. Saya ingat.
Tahun 1992 SPP kuliah hanya Rp 105 ribu. Jadi apabila dikonversi
sekarang, apabila menjadi tukang Parkir bisa mendapatkan Rp 2 jutaan
semalam. Hmm. Masuk akal).
Dengan
bercerita tentang energi positif dan energi negatif dan kemudian
energi negatif yang bisa menghasilkan energi positif, maka
menunjukkan Jokowi memang menguasai “managemen alam”
(kembali ke pembicaraan Jokowi). Jokowi memang belajar di Solo.
Sehingga ketika Jokowi maju menjadi Walikota Solo “memang
Jokowi” cukup diterima masyarakat. Jokowi dianggap sudah
“mumpuni” menguasai “managemen alam”. Sehingga
kemenangan fenomenal Jokowi sebagai Walikota Solo pada putaran kedua
dianggap merupakan bagian dari hasil menguasai “managemen alam”.
Dan tanpa babibu, Kemenangan Jokowi dalam pilkada Jakarta pada
putaran pertama saja bisa menjungkalbalikkan berbagai prediksi
lembaga-lembaga survey. Kemenangan telak dan kemudian bisa menjadi
Gubernur DKI.
Tentu
saja tidak semua penjelasan yang disampaikan oleh Sang Supir bisa
diterima oleh penulis. Terlepas dari berbagai argumentasi yang bisa
menjelaskan kemenangan Jokowi, namun tulisan yang disampaikan sekedar
menceritakan. Bagaimana alam pemikiran, alam kesadaran dan penjelasan
dari sang Supir bisa menangkap bagaimana “managemen alam”
bisa mengendalikan kehidupan manusia. Dan kehidupannya kemudian harus
ditangkap untuk menjelaskan gejala-gejala alam dengan pengetahuan
modern.