LANGKAH
DAHLAN ISKAN DAN JOKOWI
Dahlan
Iskan dan Jokowi merupakan sosok yang paling fenomenal dan paling
ditunggu publik setiap langkah-langkahnya. Meminjam Istilah Effendi
Gozali. Keduanya sedang menjadi “media darling”.
“Blusukan” Jokowi seakan-akan menjawab publik bagaimana
“keinginan” publik yang setiap langkah dan keputusannya
ditunggu rakyat. Keputusan yang berasal dari bawah dan dapat mewakili
suara rakyat.
Sementara
setiap “langkah teatrikal” Dahlan Iskan seperti melempar
kursi di depan pintu tol, membersihkan WC di toilet, naik kereta api,
atau naik ojek mengejar waktu sidang di Cendana juga merupakan
“ekspresi” kegeraman publik terhadap berbagai “sumbatan”
birokrasi yang panjang di Indonesia.
Terlepas
dari apakah kedua langkah yang ditempuh oleh Jokowi dan Dahlan Iskan
lebih sering dipandang sinis oleh sebagian kalangan dengna menganggap
sebagai “pencitraan” apalagi sering dikait-kaitkan
menjelang Piplres 2014, kerinduan publik akan setiap langkah yang
dilakukan oleh Dahlan Iskan dan Jokowi merupakan “kerinduan”
publik akan hadirnya memimpin alternatif didalam “mengurus”
negara. Pemimpin yang lebih serius mengurusi negara daripada pemimpin
formal yang lebih banyak dilihat dalam pidato-pidato, pemimpin yang
lebih banyak diperlakukan seperti dalam forum-forum resmi, pemimpin
yang lebih sering tampil diiklan televisi.
Memang
harus diakui, stok pemimpin formal untuk melihat Indonesia dan
berharap “membenahi” Indonesia bisa dikatakan sedikit.
Pemimpin tua yang sekarang memegang posisi penting, pemimpin partai
“tidak rela” memberikan kesempatan kepada kaum muda.
Sementara kaum muda lebih senang menikmati “kemapanan”
dengan “mengekor kepada kekuasaan kaum tua. Mereka menjadi
Hedonisme”, larut dengan dialektika tanpa substansi. Mereka
kemudian berteriak “seakan-akan” reformis, ketika diserang
dari berbagai lini. Namun tidak juga menjawab tantangan zaman.
Dengan
melihat kejadian akhir-akhir ini, kehadiran Dahlan Iskan dan Jokowi
kemudian menjadi “obat pelipur rindu”. Sekedar “memuas
dahaga” akan lahirnya pemimpin yang mau “mengurusi”
mereka. Dalam kosmopolitan Jawa. Lebih dikenal dengna istilah “Satri
Piningit”. Ratu Adil.
Namun
apakah semuanya akan menjadi selesai dengan kehadiran kedua tokoh
itu. Belum tentu dan belum pasti juga jawaban yang akan kita terima.
Terlepas dari apapun hasil yang akan kita raih, aksi-aksi teatrikal
Dahlan Iskan ternyata tidak juga mampu membuat dan membenahi BUMN
sebagai perusahaan yang sehat (good corporate). PTPN VII masih
menggunakan cara-cara “kekerasan” dalam peristiwa di
Palembang. Berbagai indikator di berbagai daerah kemudian meyakini
kita, BUMN (yang digawangi oleh Dahlan Iskan) masih
menggunakan cara-cara orde baru didalam “menyelesaikan”
berbagai perselisihan dengan pemilik tanah.
Begitu
juga “kereta api'”. PT. KAI masih semrawut. Tidak ada
perubahan pelayanan terhadap penumpang. Jangan berharap agar dapat
menyelesaikan persoalan, kenyamanan kereta api dengna tarif untuk AC,
kita serasa tidak menikmati fasilitas itu. Orang masih banyak
merokok. Di gerbong cuma ada tulisan “AC” tanpa pendingin
ruangan.
Tanpa
evaluasi dari media, kemudian kehadiran Dahlan Iskan berlanjut ke
pernyataan Dahlan Iskan terhadap adanya “pemerasan” oleh
anggota parlemen. Degup publikpun menunggu siapa saja nama-nama
anggota parlemen yang “memaksa” meminta upeti. Ekspetasi
publik kemudian anti klimaks disaat bersamaan Dahlan Iskan “cuma“
melapor kepada Badan kehormatan DPR. Berbagai inisial nama-nama yang
beredar di media massa kemudian tidak memiliki makna. Entah kartu
truf apa yang hendak digunakan oleh Dahlan Iskan. Entah mengalihkan
konsentrasi media massa (smoking green) ke issu lain setelah
sebelumnya media massa merilis inefisiensi PLN hingga puluhan
trilyunan. Atau dugaan permainan “kongkalilong” antara
keluarga Dahlan Iskan dengan petinggi PLN.
Sementara
Jokowi dengan berbagai “manuvernya” kemudian mulai
menggiring keinginan publik terhadap fasilitas-fasilitas publik yang
“harus” disediakan oleh pemerintah. Jargon seperti “kartu
pintar”, “Kartu sehat” sudah mulai menui hasil
(succes story). Masyaraka menjadi sadar, ternyata persoalan
hak-hak mendasar seperti kesehatan dan pendidikan “mudah”
dan bisa diselesaikan oleh negara. Masyarakat kemudian menjadi paham,
ternyata fasilitas yang selama ini sulit diakses hanya dijadikan
komoditas politik tanpa mau menyelesaikannya. Janji Jokowi tertunai.
Nah,
dalam kacamata media, penulis beranggapan bahwa langkah-langkah
sukses yang diraih oleh Jokowi tidak diimbangi dengan “prestasi
moncer” dari Dahlan Iskan. Sehingga Dahlan Iskan mulai digugat
keberhasilan kinerjanya. Dahlan Iskan kemudian “terjebak”
dengan aksi-aksi “teatrikal”. Dahlan Iskan “mulai
dipertanyakan prestasinya”. Dahlan Iskan kemudian “terjebak”
dengan slogan-slogan akan “membenahi” BUMN tanpa satupun
succes story yang bisa dibanggakan.
Dahlan
iskan kemudian tersadar ketika media massa “memalingkan” wajah ke
Jokowi dan mulai mengait-kaitkan dengan Pilpres 2014. Dahlan Iskan
mulai panik sehingga melontarkan wacana “upeti' BUMN kepada
anggota parlemen. Namun Dahlan Iskan terkecoh. Lontaran kepada media
massa cuma dianggap sebagai “permainan politik tinggi”
tanpa strategi yang kuat. Sehingga kedatangan Dahlan Iskan di
parlemen hanyalah sekedar “news” tanpa dukungan publik
yang kuat. Sehingga lontaran itu kemudian “sepi” tanpa
substansi.
Dalam
keadaan seperti ini, Dahlan Iskan sebagai “orang media”
menjadi sadar, ternyata kekuasaan yang diberikan oleh negara ternyata
tidak dapat mampu membenahi BUMN. Terlepas dari berbagai tulisan yang
disampaikan di Jawa Post, tulisan rutin Dahlan Iskan, berbagai
strategi dan succes story yang disampaikan tidak mampu menghentikan
“palingan” media kepada Jokowi. Magnet Jokowi terlalu
kuat. Magma message begitu menggema. Pekerjaan sederhana ternyata
menghentakkan dahaga publik. Sehingga tidak salah apabila meminjam
istilah Effendy Gozali, justru Jokowi yang mampu sebagai “media
darling”. Jokowi (tidak perlu analisis lagi) mampu
menjaga “emosi” publik dan “mengemasnya” secara
perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit diuraikan namun dalam setiap
peristiwa selalu “diselipkan” succes story. Upaya yang
tidak berhasil dilakukan oleh Dahlan Iskan.