Korupsi
proyek Hambalang “memakan” energi bangsa cukup serius.
Hiruk piruk persoalan hukum kemudian “bergeser” menjadi
wacana nasional. Hampir praktis “seluruh” energi The
Rulling party dikonsentrasikan menghadapi berbagai pemeriksaan. Baik
dimulai dari Angelina Sondakh, M. Nazaruddin hingga Anas Urbaningrum
“dipusingkan” berbagai pemeriksaan di KPK. Belum lagi
petinggi-petinggi The Rulling party.
Proyek
Hambalang diduga beraroma korupsi pertama kali dibeberkan oleh mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin. Di proyek tersebut,
kata Nazar, terdapat kejanggalan pembangunan senilai lebih dari Rp
1,5 Triliun.
Energi
partai penguasa ini kemudian “tersandera”. Berbagai
skenario yang “mengegolkan” proyek “maha korupsi”
tercium di publik. Persidangan demi persidangna kemudian menguak
fakta. Skenario di parlemen, skenario di partai bahkan berbagai
skenario “mengucurkan” duit juga disebut-sebut mengalir
sampai ke kongres.
Nyanyian
M. Nazaruddin semakin menguak berbagai “dugaan” korupsi di
partai penguasa.
Terlepas
dari berbagai fakta-fakta yang masih “disembunyikan”,
fakta-fakta yang telah terungkap di publik dan sudah menjadi
pengetahuan umum kemudian menjadi pertanyaan lanjutan. Apakah KPK
dapat menyeret petinggi Partai (seperti Anas Urbaningrum maupun
Andi Mallaranggeng) menjadi pesakitan di pengadilan.
Berbagai
fakta-fakta kemudian dijadikan “puzzle” oleh KPK untuk
menyusun rangkaian yang dapat menggiring “pertanyaan publik”.
Siapa selanjutnya yang menjadi tersangka.
Tanpa
“mengganggu” hasil penyidikan oleh KPK, berbagai
fakta-fakta yang sudah menjadi pengetahuan publik menjadi bekal bagi
KPK untuk dapat menjawab “pertanyaan publik”
Kongkalikong
busuk
Fakta
pertama dapat kita lihat ketika Athiyyah Laila,
istri Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, akhirnya
memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanggal 26
April 2012. Athiyyah bakal dimintai keterangan terkait posisinya
sebagai bekas pengurus di PT Dutasari Citralaras, salah satu
perusahaan yang menjadi subkontraktor PT Adhi Karya dalam proyek
pusat pelatihan olahraga Hambalang, Jawa Barat.
PT
Dutasari dipimpin Mahfud Suroso, orang dekat Anas. Athiyyah dianggap
tahu banyak seputar proyek senilai Rp 1,52 triliun itu. Pada
2008-2009, Athiyyah memang pernah menjabat sebagai salah satu
komisaris di perusahaan itu.
(http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/04/26/149843/Istri-Anas-Diperiksa-KPK)
Tentu
saja dengan gampang kita dapat “menduga”
apakah Athiyyah Laila, istri Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas
Urbaningrum “memang”
pengusaha sebelumnya atau “cuma”
sekedar komisaris.
Fakta
kedua. Pemeriksaan terhadap Anas Urbaningrum. Sebagai Ketua Umum
Partai penguasa, pemeriksaan serius terhadap AU merupakan salah satu
kemajuan yang dilakukan KPK. Terlepas dari berbagai perkembangan
kemudian, pemeriksaan terhadap AU merupakan “badai
politik” kontemporer tanah air.
Reaksi publik tidak dapat dihindarkan. Pemeriksaan terhadap AU
merupakan salah satu tontotan gratis yang terlalu sayang untuk
dilewatkan. Setiap media massa “memberikan”
konsentrasi dengan menayangkan secara “live” dan menjadi
pembicaraan politik.
(http://news.okezone.com/read/2012/07/04/339/658362/mengapa-anas-diperiksa-lagi)
Menurut
Nazaruddin, Anas Urbaningrum terlibat, antara lain, di pengadaan
sertifikat tanah Hambalang.
AU
dan istrinya sebagai komisaris PT Dutasari Citralaras, salah satu
perusahaan yang menjadi subkontraktor PT Adhi Karya dalam proyek
pusat pelatihan olahraga Hambalang, Jawa Barat “sekedar”
konfirmasi bagaimana uang “mengalir”
secara terbatas, tertutup dan mudah dikendalikan.
Persidangan
Nazaruddin dan Mindo Rossa Manulang kemudian lebih menjelaskan
berbagai “kongkalikong busuk”
mendesain bagaimana proses baik sebelum proyek dilaksanakan, sistem
pencairan, upeti yang disetor dan bagaimana pula mendesain agar kasus
ini dapat dikendalikan.
Kita
kemudian “diajari”
dengan istilah seperti “apel
Malang”, “apel
Washington”.
Persidangan
terhadap Anggie Sondakh juga memberikan “petunjuk” yang jelas,
bagaimana pertemuan di Kemenpora “mendesain” bagaimana proyek
ini berhasil. Desain itu kemudian dinikmati oleh Anggie Sondakh yang
dituduh Jaksa penuntut umum “terima uang” Rp
12,58 miliar dan US$ 2,35 juta terkait penganggaran proyek
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan
Olahraga tahun anggaran 2010-2011.
Bahkan
temuan BPK juga “memaparkan”
Andi Mallaranggeng memimpin rapat degnan Komisi Olahraga 8 hingga 10
kali rapat.
(http://www.tempo.co/read/news/2012/11/03/063439446/Menteri-Andi-Disebut-10-Kali-Rapat-Bahas-Hambalang)
Persidangan
Nazaruddin dan Mindo Rossa Manulang dapat dijadikan “fakta-fakta”
persidangan yang dalam istilah teknis hukum dikategorikan sebagai
keterangan saksi yang kemudian “menggiring”
dan menyeret AU.
Tentu
saja informasi yang sudah menjadi pengetahuan publik harus dilakukan
verifikasi yang dapat menjerat ke muka persidangan. Secara teknis
bahasa yang digunakan “harus
didukung alat bukti” sebagaimana
diatur didalam pasal 184 KUHAP.
Badan
Pemeriksa Keuangan sudah mengisyaratkan adanya kejanggalan dalam
aliran dana Hambalang ini. Dalam laporan auditnya, BPK menyatakan
telah menemukan sejumlah aliran dana, di antaranya kepada PT Dutasari
Citra Laras yang diduga merugikan negara sebesar Rp 75 miliar.
(http://www.tempo.co/read/beritafoto/3926/BPK-Serahkan-Hasil-Audit-Hambalang-ke-DPR)
PPTK
sendiri sudah “menemukan” berbagai aliran yang
mencurigakan dalam periode waktu sebelum proyek diluncurkan, maupun
pada waktu proyek berjalan.
Dengan
melihat bagaimana desain skenario yang dimulai dari “penempatan
nama perusahaan pelaksanaan pekerjaan (terbukti bodong), hanya
sekedar mencantumkan nama komisaris, perusahaan yang “nyata-nyata”
milik AU, desain di Kemenpora, maka sangat sulit bagi AU untuk lepas
dari tuduhan serius. AU selain menggunakan perusahaan sebagai
“penampungan” uang dengan kedok perusahaan pelaksana pekerjaan
dari subkontraktor
PT Adhi Karya dalam proyek pusat pelatihan olahraga Hambalang
membuktikan bagaimana “kongkalikong busuk” didesain.
Lantas
mengapa KPK belum juga menyeret tersangka lainnya setelah pemeriksaan
terhadap Anggie Sondakh. Meminjam istilah SBY, KPK harus menggunakan
“cara dan timingnya harus tepat”.