Putusan
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan DPRD Garut. Publik sudah
mengetahuinya. Alasan “pelengseran” Bupati Garut diterima
dan MA kemudian bisa menerimanya.
Reaksi
dari “pendukung” Bupati Garut sudah pasti tidak terima.
Tanpa mempengaruhi proses yang akan berlangsung, tahapan
pemberhentian Bupati Garut akan “semakin” mudah. Proses
selanjutnya akan selalu menarik perhatian publik.
Ada
beberapa strategi yang akan digunakan oleh pendukung Bupati Garut.
Sebagaimana sering disampaikan di media massa, strategi akan
digunakan berbagai cara. Baik melalui mekanisme PTUN maupun di MK.
Dari
diskusi yang mengalir, ada beberapa strategi dan bagaimana akhir dari
ending cerita yang akan dibangun.
Pengadilan
Tata Usaha Negara
Mekanisme
ini akan digunakan dengan melihat ancaman dari tim pendukung Bupati
Garut di media massa. Dalam mekanisme PTUN, syarat untuk diajukan
gugatan berkaitan dengan cukup ketat. Sebuah putusan akan menjadi
obyek PTUN apabila putusan itu bersifat tertulis, kongkrit, final dan
individual.
Secara
harfiah, putusan itu harus tertulis. Prinsip ini merupakan salah satu
prinsip yang menjadi pemeriksaan di tahap persiapan (dismiccal
process). Terlepas apakah ada putusan yang tidak tertulis yang
dapat digugat di PTUN, biarlah itu menjadi pembahasan tersendiri.
Namun secara prinsip, putusan itu harus tertulis. Kongkrit artinya
putusan itu harus jelas menyebutkan suatu putusan sehingga orang yang
dirugikan dapat merasakan langsung daripada putusan tersebut. Putusan
bersifat final. Artinya putusan itu sudah dapat dilakukan
penerapannya. Tidak memerlukan persetujuan dari lembaga lain.
Sedangkan individual artinya, putusan itu harus tegas menyebutkan
pejabat publik atau badan hukum (personijk recht). Dalam
teori ilmu administrasi negara dikenal sebagai (beschikking).
Para
ahli merumuskan ada perbedaan yang mendasar antara putusan
(beschikking) dan ketetapan
regeling. Regeling berisikan
keputusan-keputusan yang bersifat umum dan
abstrak (general and abstract)
biasanya bersifat mengatur (regeling),
Yang
dimaksud bersifat general
and abstract,
yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai
perumusan kaedah umum.
Sedangkan
yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang
bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking)
ataupun keputusan yang berupa ‘vonnis’
hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.
keputusan
(beschikking)
selalu bersifat individual dan kongkrit (individual
and concrete)
Dengan
melihat prasyarat “pemberhentian”
Bupati Garut yang bisa dijadikan obyek PTUN, maka proses akan
panjang.
Dalam
Pasal 29 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 telah dirumuskan proses
pemberhentian Kepala Daerah. Baik proses politik (dalam
pengajuan usulan pemberhentian didalam Rapat Paripurna DPRD),
proses hukum (usulan rapat
paripurna DPRD yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh MA),
proses politik (DPRD kemudian
mengadakan Rapat Paripurna dan mengusulkan kepada Presiden)
dan Presiden Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala
daerah
Dengan
melihat rangkaian panjang proses “pemberhentian”
Kepala Daerah, maka tahap yang sekarang baru ditempuh, proses rapat
paripurna dan putusan MA yang menerima usulan pemberhentian Bupati
Garut. Masih dibutuhkan proses selanjutnya. Proses politik (DPRD
Garut harus mengadakan rapat Paripurna untuk mengirimkan usulan
kepada Presiden).
Dan Proses hukum (Presiden
mengeluarkan Putusan yang mengabulkan permohonan DPRD Garut).
Artinya,
secara sederhana, putusan pemberhentian Bupati Garut belumlah final.
Sebagai prasyarat administratif untuk dijadikan obyek gugatan di
PTUN, maka pendukung Bupati Garut harus menunggu “putusan'
dari Presiden.
Lantas
bagaimana “peluang”
apabila Presiden kemudian digugat ?. Tanpa memasuki materi perkara,
peluang ini tetap terbuka. PTUN lah yang akan memeriksa apakah usulan
pemberhentian Bupati Garut sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dan ini kesempatan bagi publik untuk mendapatkan
“pembelajaran”
dari peristiwa ini.
Mahkamah
Konstitusi
Dari
informasi di media massa, pendukung Bupati Garut akan juga menempuh
jalur di MK. Tanpa mengurangi semangat “menyelesaikan”
proses pemberhentian Bupati Garut didalam proses hukum, MK tidak
mempunyai kewenangan untuk memeriksanya. Dalam UU MK, kewenangan MK
hanya berkaitan dengan (1).
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(2). Memutus Sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) memutuskan pembubaran partai politik,
dan
(4). Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dengan
melihat kewenangan MK, maka permohonan “pendukung”
Bupati Garut sudah dipastikan tidak dapat diterima.
Dengan
melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan proses
“pemberhentian”
Bupati Garut, maka kita menunggu bagaimana perkembangan dan kita
berharap dapat “pembelajaran”
penting dari peristiwa yang terjadi.