28 Januari 2013

opini musri nauli : Menghitung kalkulasi Kasus Bupati Garut



Putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan DPRD Garut. Publik sudah mengetahuinya. Alasan “pelengseran” Bupati Garut diterima dan MA kemudian bisa menerimanya.

Reaksi dari “pendukung” Bupati Garut sudah pasti tidak terima. Tanpa mempengaruhi proses yang akan berlangsung, tahapan pemberhentian Bupati Garut akan “semakin” mudah. Proses selanjutnya akan selalu menarik perhatian publik.

Ada beberapa strategi yang akan digunakan oleh pendukung Bupati Garut. Sebagaimana sering disampaikan di media massa, strategi akan digunakan berbagai cara. Baik melalui mekanisme PTUN maupun di MK.

Dari diskusi yang mengalir, ada beberapa strategi dan bagaimana akhir dari ending cerita yang akan dibangun.

Pengadilan Tata Usaha Negara

Mekanisme ini akan digunakan dengan melihat ancaman dari tim pendukung Bupati Garut di media massa. Dalam mekanisme PTUN, syarat untuk diajukan gugatan berkaitan dengan cukup ketat. Sebuah putusan akan menjadi obyek PTUN apabila putusan itu bersifat tertulis, kongkrit, final dan individual.

Secara harfiah, putusan itu harus tertulis. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang menjadi pemeriksaan di tahap persiapan (dismiccal process). Terlepas apakah ada putusan yang tidak tertulis yang dapat digugat di PTUN, biarlah itu menjadi pembahasan tersendiri. Namun secara prinsip, putusan itu harus tertulis. Kongkrit artinya putusan itu harus jelas menyebutkan suatu putusan sehingga orang yang dirugikan dapat merasakan langsung daripada putusan tersebut. Putusan bersifat final. Artinya putusan itu sudah dapat dilakukan penerapannya. Tidak memerlukan persetujuan dari lembaga lain. Sedangkan individual artinya, putusan itu harus tegas menyebutkan pejabat publik atau badan hukum (personijk recht). Dalam teori ilmu administrasi negara dikenal sebagai (beschikking).

Para ahli merumuskan ada perbedaan yang mendasar antara putusan (beschikking) dan ketetapan regeling. Regeling berisikan keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling), Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.

Sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan. keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan kongkrit (individual and concrete)

Dengan melihat prasyarat “pemberhentian” Bupati Garut yang bisa dijadikan obyek PTUN, maka proses akan panjang.

Dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 telah dirumuskan proses pemberhentian Kepala Daerah. Baik proses politik (dalam pengajuan usulan pemberhentian didalam Rapat Paripurna DPRD), proses hukum (usulan rapat paripurna DPRD yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh MA), proses politik (DPRD kemudian mengadakan Rapat Paripurna dan mengusulkan kepada Presiden) dan Presiden Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah

Dengan melihat rangkaian panjang proses “pemberhentian” Kepala Daerah, maka tahap yang sekarang baru ditempuh, proses rapat paripurna dan putusan MA yang menerima usulan pemberhentian Bupati Garut. Masih dibutuhkan proses selanjutnya. Proses politik (DPRD Garut harus mengadakan rapat Paripurna untuk mengirimkan usulan kepada Presiden). Dan Proses hukum (Presiden mengeluarkan Putusan yang mengabulkan permohonan DPRD Garut).

Artinya, secara sederhana, putusan pemberhentian Bupati Garut belumlah final. Sebagai prasyarat administratif untuk dijadikan obyek gugatan di PTUN, maka pendukung Bupati Garut harus menunggu “putusan' dari Presiden.

Lantas bagaimana “peluang” apabila Presiden kemudian digugat ?. Tanpa memasuki materi perkara, peluang ini tetap terbuka. PTUN lah yang akan memeriksa apakah usulan pemberhentian Bupati Garut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan ini kesempatan bagi publik untuk mendapatkan “pembelajaran” dari peristiwa ini.

Mahkamah Konstitusi

Dari informasi di media massa, pendukung Bupati Garut akan juga menempuh jalur di MK. Tanpa mengurangi semangat “menyelesaikan” proses pemberhentian Bupati Garut didalam proses hukum, MK tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksanya. Dalam UU MK, kewenangan MK hanya berkaitan dengan (1). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2). Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) memutuskan pembubaran partai politik, dan
(4). Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dengan melihat kewenangan MK, maka permohonan “pendukung” Bupati Garut sudah dipastikan tidak dapat diterima.

Dengan melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan proses “pemberhentian” Bupati Garut, maka kita menunggu bagaimana perkembangan dan kita berharap dapat “pembelajaran” penting dari peristiwa yang terjadi.