28 Januari 2013

opini musri nauli : Disparitas


Dalam suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan untuk menerapkan peraturan yang berbeda. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan disparitas (disparity of sentencing).

Artinya suatu kasus hukum yang sama, harus juga diterapkan peraturan yang sama. Selain untuk menghindarkan dari diskriminasi yang harus dirasakan oleh para pelaku, menggugat ketidakadilan publik juga memberikan kepastian hukum di tengah masyarakat (edukasi).


Akibat menerapkan suatu peraturan yang berbeda-beda, maka publik akan kesulitan memahami tindak pidana yang terjadi. Apakah tindak pidana tertentu, masuk kedalam hukum administrasi negara ataupun peraturan lainnya.


Terjadinya disparitas pidana tentu tidak lepas dari ketentuan hukum pidana sendiri yang memberikan kebebasan penuh kepada hakim untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki. KUHP kita menganut sistem alternatif hukuman, misalnya, antara pidana penjara, pidana kurungan, dan denda. Di sini, hakim bisa saja menekankan pada pidana penjara ketimbang denda, atau sebaliknya. Di samping itu, disparitas kian berpeluang terjadi ketika hakim bebas menentukan berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan. Sebab, undang-undang hanya mengatur mengenai pidana maksimum dan minimum, bukan pidana yang pas.


Secara ideologi, menurut aliran modern, disparitas pidana memang dapat dibenarkan asal masing-masing kasus yang sejenis itu memiliki dasar pembenar yang jelas dan transparan. Namun disparitas yang tidak mempunyai dasar yang kuat (legal reasing), maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.