Entah
beberapa kali, sang penutur selalu mengeluarkan kata “Tumbuh
diatas Tumbuh” ketika pertanyaan disampaikan untuk menjawab
bagaimana masyarakat menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul
akibat dilanggarnya hukum adat.
Kata-kata
itu seakan-akan bak mantra. Mampu menjawab berbagai persoalan yang
tidak pernah terpikirkan oleh penulis untuk memahami bagaimana
masyarakat menyelesaikan persoalan.
Berangkat
dari kata-kata “Tumbuh diatas Tumbuh”, maka kemudian
mencoba melihat apakah kata-kata itu mantra dapat menyelesaikan
masalah yang timbul dari persoalan hukum adat.
Kata-kata
“Tumbuh diatas tumbuh” penulis temukan di daerah Desa-desa
penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (buffer zone TNBT)
seperti Semambu, Muara Sekalo Suo-suo dan Tuo Sumay yang kemudian
termasuk kedalam Kecamatan Sumay. Setiap masyarakat dengan fasih
menerangkan nilai-nilai agung ini dengan baik.
Sebagai
Desa-desa yang langsung berbatasan dengan Propinsi Riau, mereka
mengenal batas Desa (Tambo) yang kemudian mereka tandai seperti “Salo
belarik”, bakal bekuak, Sebekal Bekual, Kerbau bekuak”.
Sampai sekarang batas itu masih dapat ditandai dengan baik.
Sebagai
wilayah adat dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap),
mereka mengikrarkan diri dalam Margo Sumay. Margo Sumay dalam
perkembangannya menjadi Kecamatan Sumay, sebuah Kecamatan di Tebo di
bawah kaki Bukit Tigapuluh.
Tanpa
dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari
nenek moyang, harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar
belakang dengna pemikiran mistis dan rasional. Dikatakan mistis
karena ada beberapa jawaban yang masih memerlukan kajian yang
mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila jawaban
diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.
Tumbuh
diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan
modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm)
dalam pemikiran Hans Kelsen yang kemudian dapat ditarik menjadi
norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.
Tumbuh
diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap
persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.
Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus
didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu
terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak
daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa
itu terjadi.
Pemikiran
ini sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri
yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal
dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non).
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli
hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang
menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan
(weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan
akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap
faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian
faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat
yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan
(niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta
memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi
dari “tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari setiap
perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah
peristiwa.
Tumbuh
diatas tumbuh merupakan salah satu nilai fundamental penting yang
masih tetap kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh
diatas tumbuh, mereka dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa
harus menghakimi dan memberikan putusan yang keliru.
Sehingga
teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan
dapat digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Dengan
melihat paparan yang telah disampaikan, maka harus diakui, masih
banyak pengetahuan lokal yang harus digali dan diolah.
Merupakan
kesempatan dan kehormatan apabila kita mau sejenak untuk memalingkan
wajah untuk menemukan, menggali bahkan mengolahnya pengetahuan dari
masyarakat. Kita tidak egois menawarkan dogma-dogma yang dibawa dari
negara barat. Padahal di sekitar alam telah mengajarkannya.
Dimuat di "Tinta Emas untuk Jambi", Pelanta, 2014
Baca juga : Sistem Pembuktian Hukum Adat