Walhi: Kebakaran Hutan
Modus Investasi `Berasap`
oleh Nurseffi Dwi Wahyuni
Posted: 21/06/2013 15:04
(Antara/Fachrozi Amri)
Liputan6.com, Jakarta :
Kebakaran lahan harus dicegah. Apalagi disinyalir merupakan modus
investasi 'berasap'.
"Kebakaran hutan di luar konsesi
tidak tertutup juga kemungkinan kebakaran merupakan modus operandi
pihak tertentu yang menginginkan lahan menjadi kritis, agar proses
mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan atau konsesi menjadi lebih
cepat," kata Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
Jambi, Musri Nauli, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat
(21/6/2013).
Terhadap kebakaran lahan di wilayah
konsesi, lanjut dia, seharusnya pemerintah dapat mengambil sikap
tegas dengan menggunakan UU Perkebunan dan UU Kehutanan untuk
mencegah kebakaran lahan.
"Bisa atas kesengajaan pembakaran
dan bisa juga karena kelalaian. Karena pihak yang mendapatkan izin
penguasaan dan pengelolaan suatu wilayah harus bertanggung jawab
terhadap kejadian di atas wilayah hak atau izinnya," sebut
Musri.
Walhi menyebut kebakaran hutan sebagai
investasi 'berasap' karena sudah melampaui daya tampung lingkungan.
Bencana ekologis tak terkendali berasal dari perizinan yang juga tak
terkendali.
Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala
Besar Walhi Nasional Zenzi Suhadi menambahkan, kebakaran hutan di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pola kebijakan peruntukan lahan
dan hutan di Indonesia, sejak rezim HPH dimulai dan bergeser ke
sektor perkebunan, HTI dan tambang, wilayah hutan hujan tropis
Indonesia mengalami degradasi menjadi lahan kritis dan hutan
sekunder.
"Hutan Indonesia yang seharusnya
menjadi ekosistem komplek yang dapat mempertahankan kelembabannya,
kehilangan banyak mata rantai siklus hidrologis, membuat hutan
menjadi kering dan rentan terbakar, ditambah vegetasi hutan yang
berubah menjadi lahan sekunder dan kritis didominasi tumbuhan
perintis dan semak yang padat semakin meningkatkan risiko kebakaran,"
tutur Zenzi.
Kebakaran rutin hutan satu dekade ini,
menurut dia, tidak saja dikarenakan perubahan mata rantai ekologis,
tetapi juga dipengaruhi oleh unsur kesengajaan pelaku usaha
perkebunan skala besar dalam pembukaan lahan, dan kelalaian pelaku
usaha industri pulp and paper dalam menjalankan tata kelola produksi
dan lingkungan.
"Bencana ekologis yang tidak
terkendali pasti berasal dari proses pengeluaran izin penguasaan
wilayah tidak terkendali," sebut Zenzi.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Rico
Kurniawan menyatakan, dari 300-an titik api yang terjadi di Riau
tahun ini justru dari wilayah konsesi HTI dan wilayah perkebunan.
"Ini menunjukan proses pengeluaran
izin tidak berdasarkan kajian yang memadai dan kalaupun mempunyai
kajian lingkungan, penerapan kaidah lingkungan dalam praktek industri
HTI dan perkebunan masih jauh dari sikap bertanggung jawab,"
kata Rico.
PJS Direktur Eksekutif Walhi Sumatra
Selatan Hadi Jadmiko menambahkan, upaya penghentian penyebab
kebakaran mestinya sudah dilakukan pemerintah dari dulu. Kejadian
bencana asap seharusnya tidak terulang bila ada sikap serius
pemerintah terhadap penyebab dan upaya hukum terhadap pelaku.
"Pada 2012 Walhi Sumsel melaporkan
tindak pidana pembakaran lahan oleh 2 perusahaan ke Polda Sumsel.
Sampai dengan hari tidak ada tindakan yang jelas dari aparat penegak
hukum," sebut Hadi, seraya menambahkan, pengeringan lahan gambut
dengan pembuatan kanal menjadi penyebab tingginya kebakaran di lahan
gambut.
Mimpi Buruk Rutin
Pasca protes Singapura atas 'serangan'
asap dari Indonesia kewilayah Singapura beberapa hari ini, baru
terlihat reaksi pemerintah Indonesia. Padahal kabut asap dan
titik-titik api telah muncul setidaknya sejak 2 minggu yang lalu.
Mimpi buruk rutin yang muncul di wilayah provinsi yang sama tiap
tahunnya memperlihatkan pengawasan dan pencegahan terhadap kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia masih sangat lemah.
Data BMKG yang diolah Walhi menunjukkan
titik api yang terpantau dari tahun ke tahun. Jumlah titik api di
seluruh Indonesia berdasarkan citra satelit Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yakni:
Tahun 2006: 146.264 titik api
Tahun 2007: 37.909 titik api
Tahun 2008: 30.616 titik api
Tahun 2009: 29.463 titik api
Tahun 2010: 9.898 titik api
Tahun 2011: 11.379 titik api
Sedangkan penghitungan Walhi tahun 2011
terdapat 22.456 titik api dan tahun 2012 hingga bulan Agustus 5.627
titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Wilayah sebaran
titik api tersebut hampir sama tiap tahunnya yaitu di Provinsi Riau,
Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur, di samping beberapa provinsi lain di Sumatra dan
Sulawesi.
Bila mencermati kejadian-kejadian dalam
beberapa minggu ini, Walhi menilai tampak jelas akar permasalahan
dari kabut asap yang terjadi sama dengan kejadian-kejadian
sebelumnya.
"Persoalan kabut asap bukan hanya
problem lingkungan. Ini juga sudah merambah persoalan politik
bilateral. Sehingga penting pemerintah mengambil tindakan-tindakan
tepat dan cepat mengantisipasi lebih lanjut krisis lingkungan dan
stabilitas bilateral akibat permasalahan kabut asap ini," sebut
Walhi dalam pernyataan tertulis. (Sss)
http://news.liputan6.com/read/619010/walhi-kebakaran-hutan-modus-investasi-berasap