19 Agustus 2013

opini musri nauli : ADA APA DI LP KITA ?



Berita “kerusuhan” di LP melengkapi kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, pasca 150 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, melarikan diri awal bulan Juli 2013.

Rasanya belum kering pemberitaan di LP Tanjung Gusta, kembali kita dikejutkan berita yang serupa. Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Labuhan Ruku kembali “memanas”. Penyebabnya sama. Ada rasa diperlakukan tidak adil. Sementara dari suara yang terpisah menyatakan “over capasity”.

Berita silih berganti mengenai LP membuat kita berdenyit dahi. Ada apa yang terjadi ? Apakah “kemarahan” sudah “mendidih” sehingga penghunia LP yang 'seharusnya” tidak melawan kemudian “berontak” ?. Apakah memang ada “Kelebihan kapasitas” gedung LP untuk menampung para napi dan tahanan ?

Mencari penyebab masalah dari sebuah peristiwa bukan mencari “siapa yang benar” atau “siapa yang salah”. Sama sekali tidak. Mencari penyebab masalah bertujuan untuk dapat dicari bentuk penyelesaian sehingga kejadian tidak terulang di kemudian hari.

Target Kasus

Entah memang sudah menjadi kebijakan di internal di kepolisian, hampir setiap Polres ataupun Polsek kemudian ditambah Kasat Narkoba Polres, selalu dihitung target kasus untuk pengungkapan narkoba. Target pengungkapan kasus selain menjadi indikator untuk menilai kinerja dari satuan, juga menjadikan ukuran kinerja dari pimpinan satuan.

Ambil contoh saja. Jumlah satuan di Kota Jambi mempunyai 8 Polsek (Polsek Pasar, Polsek Jambi selatan, Polsek Jambi Timur, Polsek Telanaipura, Polsek Jelutung, Polsek Danau Teluk, Polsek Pelayangan, Polsek Kotabaru) apabila mengungkapkan satu kasus narkoba, maka sudah bisa dipastikan maka ada 8 kasus yang harus diungkapkan. Belum ditambah Sat narkoba Polres Jambi dan Sat Narkoba Polda Jambi. Sehingga sudah 10 kasus yang harus diungkapkan. Diluar pengungkapan kasus dari BNN daerah.

Dalam kasus narkoba, bisa dipastikan tidak cukup satu orang. Bisa menjerat baik dimulai dari pemakai, kurir, maupun bandarnya. Maka kita ambil contoh saja. Dalam setiap kasus minimal dua orang yang terlibat. Maka sudah bisa dipastikan ada 20 orang dalam satu bulan.

Itu hitungan sederhana. Dalam pelaksanaan, bisa saja dalam satu kasus bisa menjerat 5 orang atau lebih. Atau bisa saja hingga puluhan orang. Misal dalam sebuah razia tempat hiburan ataupun penggebrekan “pesta narkoba” (ingat kasus yang melibatkan tokoh penting Kota Jambi).

Sehingga dengna kalkulasi sederhana, maka sudah bisa dipastikan, dalam pengungkapan kasus yang kemudian disidangkan dalam setiap bulan minimal 20 orang.

Kemudian dalam setiap bulan (minimal 20 orang) maka dalam setahun 240 orang. Itu angka yang sudah pasti. Angka minimal. Belum lagi angka-angka yang sudah saya terangkan.

Sehingga kita bisa mengerti apabila kita sejenak ke Pengadilan Negeri Jambi saja, persidangan lebih banyak didominasi kasus-kasus “narkoba”. Bahkan praktis dalam persidangan satu hari saja, 60 orang sidang pidana, kadangkala 40 orang merupakan kasus narkoba

Dengan melihat angka-angka yang telah diterangkan, maka sudah bisa dipastikan, LP Jambi sudah banyak didominasi kasus-kasus narkoba.

Itu hitungan sederhana saja. Belum lagi kasus korupsi yang tentu saja diluar dari angka-angka yang telah diterangkan tadi.

Sehingga tidak salah berdasarkan laporan dari situs resmi Ditjenlapas, LP Jambi sudah menumpuk 1.088 orang. Dan 2/3 merupakan tahanan dan napi Narkoba.

Tentu saja harus dicari pola penyelesaian. Tentu saja harus berpatokan dengan peraturan perundang-undangan.

Pertama. Harus bisa dipastikan apabila yang tertangkap adalah “korban” dari narkoba. Pisahkan antara “gembong (pengedar/sindikat)” dengan “korban

Meletakkan “korban” narkoba dengan “gembong (pengedar/sindikat)” selain tidak “mendidik”, bertentangan dengan tujuan pemberantasan narkoba juga bertentangan dengan tujuan pemidanaan. Rujukan kita jelas. Selain sudah diatur didalam UU Narkotika juga sudah dijelaskan didalam Surat Edaran Jaksa Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Cara ini kemudian dapat “meminimalisir” jumlah tahanan di LP.

Terhadap “korban” narkoba kemudian ditempatkan LP khusus Narkoba di Sabak yang jumlahnya masih 4 orang (Ditjenlapas)

Kedua. Terhadap kasus-kasus yang harus “diprioritaskan” tentu saja pengungkapan kasus yang memang menjadi “mengungkapkan gembong”. Pengungkapan kasus jangan terjebak dengan hanya “menangkap” korban “sekedar untuk mencapai target”.

Saya yakin Satuan Polisi mempunyai “peta jaringan narkoba” dan roadmap untuk “membongkarnya”. Dan saya yakin pasti juga sudah mempunyai pola untuk “memberantasnya'

Ketiga. Terhadap tempat-tempat yang sudah “terbukti” sering dijadikan “pesta narkoba” maka harus diberikan sanksi yang tegas. UU sudah mengaturnya. Namun praktis tidak pernah diterapkan.

Polemik Remisi

Persoalan narkoba tidak bisa juga dilepaskan dari persoalan remisi yang masih polemik. Dalam kebijakan internal di Kementerian Hukum dan HAM (beleid) sudah sering disampaikan, terhadap terhadap pelaku narkoba, terorisme dan korupsi tidak akan mendapatkan remisi.

Tanpa “bermaksud” untuk membahas “beleid” Kemenhumham, ada beberapa persoalan serius terhadap “beleid”.

Pertama. Sebagaimana sering menjadi teori pemidanaan, kampanye “anti narkoba, anti korupsi, atau anti terorisme sudah berhenti setelah putusan (vonis). Selanjutnya setelah proses hukum, pelaku menjalani pidana, maka sudah menjadi bagian dari pembinaan untuk “dipersiapkan” menjadi manusia yang baik sebelum kembali ke tengah masyarakat. Demikian semangat UU Pemasyaratan yang dapat saya pahami.

Remisi merupakan “hak”. Remisi diberikan dengan harapan “narapidana” bertingkah laku baik, menyadari kesalahannya dan berharap dapat keluar dengan baik kembali ke tengah masyarakat.

Dengan menghitung “remisi-lah” narapidana “optimis” menjalani pidana dan berharap dapat keluar dari LP. Dengan remisi-lah, optimis mereka tenang di LP.

Tentu saja terhadap “beleid” ini harus diperlakukan adil. Kita tentu saja tetap menolak “mempertontonkan” kepongahan pemberian remisi seperti besan SBY yang cuma “setahun”. Atau remisi yang diberikan kasus korupsi yang membuat dahi kita berkerut sehingga justru menimbulkan potensi bibit “ketidakadilan”.

Kedua. Sudah seharusnya ada perlakuan adil di LP. Kita tentu saja tidak bisa menerima penjelasan terhadap pelaku korupsi hanya 20 juta-an yang hukuman sama dengan pelaku milyaran rupiah. Tentu saja bukan itu. Yang kita harapkan ada pemberian keadilan kepada narapidana.

Ketiga. Harus dipikirkan untuk mencari alternatif lain diluar dari “pemenjaraan”. LP kita sudah “over capasity”. Misalnya. Kita sudah mulai memikirkan “kerja sosial”. “Kerja sosial” salah satu opsi untuk menerapkan kepada narapidana yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan. “Kerja sosial” diterapkan sesuai dengan pekerjaan dan keahliannya.

Cara ini sudah banyak diterapkan dalam berbagai kasus di berbagai negara. Cara ini effektif selain membantu mengurangi jumlah narapidana di LP, juga memberikan “sanksi” sosial kepada pelaku sehingga akan menimbulkan “efek jera” kepada orang lain.