Berita “kerusuhan”
di LP melengkapi kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, pasca 150
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan,
Sumatera Utara, melarikan diri awal bulan Juli 2013.
Rasanya belum kering
pemberitaan di LP Tanjung Gusta, kembali kita dikejutkan berita yang
serupa. Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Labuhan Ruku kembali
“memanas”. Penyebabnya sama. Ada rasa diperlakukan tidak
adil. Sementara dari suara yang terpisah menyatakan “over
capasity”.
Berita silih berganti
mengenai LP membuat kita berdenyit dahi. Ada apa yang terjadi ?
Apakah “kemarahan” sudah “mendidih” sehingga
penghunia LP yang 'seharusnya” tidak melawan kemudian
“berontak” ?. Apakah memang ada “Kelebihan kapasitas”
gedung LP untuk menampung para napi dan tahanan ?
Mencari penyebab masalah
dari sebuah peristiwa bukan mencari “siapa yang benar”
atau “siapa yang salah”. Sama sekali tidak. Mencari
penyebab masalah bertujuan untuk dapat dicari bentuk penyelesaian
sehingga kejadian tidak terulang di kemudian hari.
Target Kasus
Entah memang sudah
menjadi kebijakan di internal di kepolisian, hampir setiap Polres
ataupun Polsek kemudian ditambah Kasat Narkoba Polres, selalu
dihitung target kasus untuk pengungkapan narkoba. Target pengungkapan
kasus selain menjadi indikator untuk menilai kinerja dari satuan,
juga menjadikan ukuran kinerja dari pimpinan satuan.
Ambil contoh saja. Jumlah
satuan di Kota Jambi mempunyai 8 Polsek (Polsek Pasar, Polsek
Jambi selatan, Polsek Jambi Timur, Polsek Telanaipura, Polsek
Jelutung, Polsek Danau Teluk, Polsek Pelayangan, Polsek Kotabaru)
apabila mengungkapkan satu kasus narkoba, maka sudah bisa dipastikan
maka ada 8 kasus yang harus diungkapkan. Belum ditambah Sat narkoba
Polres Jambi dan Sat Narkoba Polda Jambi. Sehingga sudah 10 kasus
yang harus diungkapkan. Diluar pengungkapan kasus dari BNN daerah.
Dalam kasus narkoba, bisa
dipastikan tidak cukup satu orang. Bisa menjerat baik dimulai dari
pemakai, kurir, maupun bandarnya. Maka kita ambil contoh saja. Dalam
setiap kasus minimal dua orang yang terlibat. Maka sudah bisa
dipastikan ada 20 orang dalam satu bulan.
Itu hitungan sederhana.
Dalam pelaksanaan, bisa saja dalam satu kasus bisa menjerat 5 orang
atau lebih. Atau bisa saja hingga puluhan orang. Misal dalam sebuah
razia tempat hiburan ataupun penggebrekan “pesta narkoba” (ingat
kasus yang melibatkan tokoh penting Kota Jambi).
Sehingga dengna kalkulasi
sederhana, maka sudah bisa dipastikan, dalam pengungkapan kasus yang
kemudian disidangkan dalam setiap bulan minimal 20 orang.
Kemudian dalam setiap
bulan (minimal 20 orang) maka dalam setahun 240 orang. Itu
angka yang sudah pasti. Angka minimal. Belum lagi angka-angka yang
sudah saya terangkan.
Sehingga kita bisa
mengerti apabila kita sejenak ke Pengadilan Negeri Jambi saja,
persidangan lebih banyak didominasi kasus-kasus “narkoba”.
Bahkan praktis dalam persidangan satu hari saja, 60 orang sidang
pidana, kadangkala 40 orang merupakan kasus narkoba
Dengan melihat
angka-angka yang telah diterangkan, maka sudah bisa dipastikan, LP
Jambi sudah banyak didominasi kasus-kasus narkoba.
Itu hitungan sederhana
saja. Belum lagi kasus korupsi yang tentu saja diluar dari
angka-angka yang telah diterangkan tadi.
Sehingga tidak salah
berdasarkan laporan dari situs resmi Ditjenlapas, LP Jambi sudah
menumpuk 1.088 orang. Dan 2/3 merupakan tahanan dan napi Narkoba.
Tentu saja harus dicari
pola penyelesaian. Tentu saja harus berpatokan dengan peraturan
perundang-undangan.
Pertama. Harus bisa
dipastikan apabila yang tertangkap adalah “korban” dari
narkoba. Pisahkan antara “gembong (pengedar/sindikat)”
dengan “korban”
Meletakkan “korban”
narkoba dengan “gembong (pengedar/sindikat)” selain tidak
“mendidik”, bertentangan dengan tujuan pemberantasan
narkoba juga bertentangan dengan tujuan pemidanaan. Rujukan kita
jelas. Selain sudah diatur didalam UU Narkotika juga sudah dijelaskan
didalam Surat Edaran Jaksa Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Cara ini kemudian dapat “meminimalisir” jumlah tahanan di
LP.
Terhadap “korban”
narkoba kemudian ditempatkan LP khusus Narkoba di Sabak yang
jumlahnya masih 4 orang (Ditjenlapas)
Kedua. Terhadap
kasus-kasus yang harus “diprioritaskan” tentu saja
pengungkapan kasus yang memang menjadi “mengungkapkan gembong”.
Pengungkapan kasus jangan terjebak dengan hanya “menangkap”
korban “sekedar untuk mencapai target”.
Saya yakin Satuan Polisi
mempunyai “peta jaringan narkoba” dan roadmap untuk
“membongkarnya”. Dan saya yakin pasti juga sudah mempunyai
pola untuk “memberantasnya'
Ketiga. Terhadap
tempat-tempat yang sudah “terbukti” sering dijadikan
“pesta narkoba” maka harus diberikan sanksi yang tegas. UU
sudah mengaturnya. Namun praktis tidak pernah diterapkan.
Polemik Remisi
Persoalan narkoba tidak
bisa juga dilepaskan dari persoalan remisi yang masih polemik. Dalam
kebijakan internal di Kementerian Hukum dan HAM (beleid) sudah
sering disampaikan, terhadap terhadap pelaku narkoba, terorisme dan
korupsi tidak akan mendapatkan remisi.
Tanpa “bermaksud”
untuk membahas “beleid”
Kemenhumham, ada beberapa persoalan serius terhadap “beleid”.
Pertama. Sebagaimana
sering menjadi teori pemidanaan, kampanye “anti narkoba, anti
korupsi, atau anti terorisme sudah berhenti setelah putusan
(vonis). Selanjutnya setelah proses hukum, pelaku menjalani
pidana, maka sudah menjadi bagian dari pembinaan untuk “dipersiapkan”
menjadi manusia yang baik sebelum kembali ke tengah masyarakat.
Demikian semangat UU Pemasyaratan yang dapat saya pahami.
Remisi merupakan “hak”.
Remisi diberikan dengan harapan “narapidana” bertingkah
laku baik, menyadari kesalahannya dan berharap dapat keluar dengan
baik kembali ke tengah masyarakat.
Dengan menghitung
“remisi-lah” narapidana “optimis” menjalani
pidana dan berharap dapat keluar dari LP. Dengan remisi-lah,
optimis mereka tenang di LP.
Tentu saja terhadap
“beleid” ini harus diperlakukan adil. Kita tentu saja
tetap menolak “mempertontonkan” kepongahan pemberian
remisi seperti besan SBY yang cuma “setahun”. Atau remisi
yang diberikan kasus korupsi yang membuat dahi kita berkerut sehingga
justru menimbulkan potensi bibit “ketidakadilan”.
Kedua. Sudah seharusnya
ada perlakuan adil di LP. Kita tentu saja tidak bisa menerima
penjelasan terhadap pelaku korupsi hanya 20 juta-an yang hukuman sama
dengan pelaku milyaran rupiah. Tentu saja bukan itu. Yang kita
harapkan ada pemberian keadilan kepada narapidana.
Ketiga. Harus dipikirkan
untuk mencari alternatif lain diluar dari “pemenjaraan”.
LP kita sudah “over capasity”. Misalnya. Kita sudah mulai
memikirkan “kerja sosial”. “Kerja sosial” salah
satu opsi untuk menerapkan kepada narapidana yang sudah menjalani 2/3
masa tahanan. “Kerja sosial” diterapkan sesuai dengan
pekerjaan dan keahliannya.
Cara ini sudah banyak diterapkan dalam berbagai kasus di berbagai negara. Cara ini effektif selain membantu mengurangi jumlah narapidana di LP, juga memberikan “sanksi” sosial kepada pelaku sehingga akan menimbulkan “efek jera” kepada orang lain.