Setelah melalui rangkaian
panjang persidangan, akhirnya Luthie Hasan Ishak (LHI), mantan
Presiden PKS dituntut Jaksa Penuntut Umum selam 18 tahun penjara.
Kasus ini memang menarik
perhatian publik tahun 2013. Sebagai mantan Presiden PKS, sebuah
partai yang mengusung jargon “Bersih dan Peduli”, penangkapan
(LHI) memang memiliki daya “magnitudo” yang besar.
Partai yang dikenal
bersih namun kemudian menyeret Presidennya langsung. Sebuah pelajaran
penting bagi demokrasi di Indonesia. Korupsi tidak mengenal batas
pendidikan, agama maupun berbagai “orang yang selama ini dikenal
dapat membawa perubahan anti korupsi”.
Ketika penangkapan terhadap LHI,
sebagian kalangan menyatakan “LHI tidak dapat dipersalahkan”
karena dugaan uang suap belum sampai di tangannya. Sehingga LHI harus
dibebaskan dari tuduhan KPK.
Terhadap fakta ini memang
benar. Uang memang belum sampai ditangannya dan masih di tangan Ahmad
Fathanah (AH) yang merupakan teman LHI. Namun terhadap fakta ini
tidak dapat dijadikan dasar untuk “melepaskan” LHI dari tuduhan
serius. Menerima suap dari pihak lain merupakan kejahatan serius.
Sehingga terhadap fakta ini harusnya disikapi secara berbeda.
Namun cerita kemudian
berbeda. Dalam persidangan, kita dipertontonkan istilah seperti
“Pustun”, pembicaraan skenario untuk money loundry di sebuah
negara keciL “British Virgin Island'. Kita diperlihatkan juga
berbagai skenario yang memperlihatkan bagaimana “cara merampok duit
APBN” untuk kepentingan pemilu 2014.
Kembali ke pembahasan
terhadap uang yang belum diterima oleh LHI. Dari rangkaian cerita,
maka dapat diketahui, AH menerima uang setelah adanya perundingan
jahat (deelneming) dengan LHI. AH tidak mungkin bisa menerima uang
apabila tidak adanya deelneming dengan LHI. Berbagai rangkaian yang
telah diperlihatkan di persidangan membuktikan, LHI dan AH memang
bagian dari rangkaian deelneming menerima uang.
Setelah AH dijatuhkan
vonis hakim dan dinyatakan bersalah, maka LHI terlibat dari rangkaian
deelneming bersama dengan AH.
Namun dalam konteks kasus
korupsi, ada perbedaan antara LHI dan AH. Apabila pembelaan dari AH
yang menyatakan “AH bukan penyelenggaran negara” dan tidak
diterima hakim, maka sudah dipastikan dalil pembelaan dari LHI akan
menyatakan “uang belum diterima” sehingga LHI harus dibebaskan
dari tuduhan JPU.
Dalil ini sudah pasti
mudah dimentahkan oleh JPU. Padahal “uang belum diterima” oleh
LHI tidak dapat membebaskan LHI dari rangkaian.
Berbagai percakapan dari
LHI dan AH membangun skenario mengatur “impor sapi” dan
pembicaraan LHI dengan pengusaha untuk mengatur skenario itu
merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh LHI.
Apabila memang “uang
belum diterima oleh LHI”, maka dalam ilmu hukum pidana dikenal
dengan istilah “percobaan pidana (Poeging)”. Poeging diatur
didalam pasal 53 KUHP.
Pasal ini pada prinsipnya
mengatur “ (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana
tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Dengan demikian, maka perbuatan pidana telah
dilakukan, namun tidak selesai bukan dari kehendak pelaku.
Menerapkan Pasal 53 KUHP dalam peristiwa “uang
belum diterima” merupakan peristiwa yang tepat menggambarkannya.
Pasal 53 diterapkan sehingga dapat mengurangi 1/3
dari ancaman maksimal tuduhan kasus yang menimpa LHI. Namun “uang
belum diterima” tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban LHI
dari uang yang sudah diterima oleh AH.
Tentu saja asumsi yang dibangun oleh penulis
semata-mata berdasarkan kepada pemberitaan yang terus menerus
melaporkan persidangan LHI.
Terlalu banyak misteri yang belum diungkap di
publik.
Kita tunggu apakah LHI menggunakan dalil ini didalam
pembelaannya. Dan kita juga menunggu apakah hakim akan menggunakan
dalil ini atau mempertimbangkan fakta yang lain.
Persidangan LHI tidak sekedar “menggambarkan
rangkaian skenario “cara merampok duit APBN” untuk kepentingan
pemilu 2014 atau persoalan Pustun. Namun bagaimana pasal 53 KUHP
dipertimbangkan oleh hakim.