28 November 2013

opini musri nauli : PERCOBAAN PIDANA LHI


Setelah melalui rangkaian panjang persidangan, akhirnya Luthie Hasan Ishak (LHI), mantan Presiden PKS dituntut Jaksa Penuntut Umum selam 18 tahun penjara.


Kasus ini memang menarik perhatian publik tahun 2013. Sebagai mantan Presiden PKS, sebuah partai yang mengusung jargon “Bersih dan Peduli”, penangkapan (LHI) memang memiliki daya “magnitudo” yang besar.

Partai yang dikenal bersih namun kemudian menyeret Presidennya langsung. Sebuah pelajaran penting bagi demokrasi di Indonesia. Korupsi tidak mengenal batas pendidikan, agama maupun berbagai “orang yang selama ini dikenal dapat membawa perubahan anti korupsi”.

Ketika penangkapan terhadap LHI, sebagian kalangan menyatakan “LHI tidak dapat dipersalahkan” karena dugaan uang suap belum sampai di tangannya. Sehingga LHI harus dibebaskan dari tuduhan KPK.

Terhadap fakta ini memang benar. Uang memang belum sampai ditangannya dan masih di tangan Ahmad Fathanah (AH) yang merupakan teman LHI. Namun terhadap fakta ini tidak dapat dijadikan dasar untuk “melepaskan” LHI dari tuduhan serius. Menerima suap dari pihak lain merupakan kejahatan serius. Sehingga terhadap fakta ini harusnya disikapi secara berbeda.

Namun cerita kemudian berbeda. Dalam persidangan, kita dipertontonkan istilah seperti “Pustun”, pembicaraan skenario untuk money loundry di sebuah negara keciL “British Virgin Island'. Kita diperlihatkan juga berbagai skenario yang memperlihatkan bagaimana “cara merampok duit APBN” untuk kepentingan pemilu 2014.

Kembali ke pembahasan terhadap uang yang belum diterima oleh LHI. Dari rangkaian cerita, maka dapat diketahui, AH menerima uang setelah adanya perundingan jahat (deelneming) dengan LHI. AH tidak mungkin bisa menerima uang apabila tidak adanya deelneming dengan LHI. Berbagai rangkaian yang telah diperlihatkan di persidangan membuktikan, LHI dan AH memang bagian dari rangkaian deelneming menerima uang.

Setelah AH dijatuhkan vonis hakim dan dinyatakan bersalah, maka LHI terlibat dari rangkaian deelneming bersama dengan AH.

Namun dalam konteks kasus korupsi, ada perbedaan antara LHI dan AH. Apabila pembelaan dari AH yang menyatakan “AH bukan penyelenggaran negara” dan tidak diterima hakim, maka sudah dipastikan dalil pembelaan dari LHI akan menyatakan “uang belum diterima” sehingga LHI harus dibebaskan dari tuduhan JPU.

Dalil ini sudah pasti mudah dimentahkan oleh JPU. Padahal “uang belum diterima” oleh LHI tidak dapat membebaskan LHI dari rangkaian.

Berbagai percakapan dari LHI dan AH membangun skenario mengatur “impor sapi” dan pembicaraan LHI dengan pengusaha untuk mengatur skenario itu merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh LHI.

Apabila memang “uang belum diterima oleh LHI”, maka dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah “percobaan pidana (Poeging)”. Poeging diatur didalam pasal 53 KUHP.

Pasal ini pada prinsipnya mengatur “ (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur  hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.


Dengan demikian, maka perbuatan pidana telah dilakukan, namun tidak selesai bukan dari kehendak pelaku.

Menerapkan Pasal 53 KUHP dalam peristiwa “uang belum diterima” merupakan peristiwa yang tepat menggambarkannya.

Pasal 53 diterapkan sehingga dapat mengurangi 1/3 dari ancaman maksimal tuduhan kasus yang menimpa LHI. Namun “uang belum diterima” tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban LHI dari uang yang sudah diterima oleh AH.

Tentu saja asumsi yang dibangun oleh penulis semata-mata berdasarkan kepada pemberitaan yang terus menerus melaporkan persidangan LHI.

Terlalu banyak misteri yang belum diungkap di publik.

Kita tunggu apakah LHI menggunakan dalil ini didalam pembelaannya. Dan kita juga menunggu apakah hakim akan menggunakan dalil ini atau mempertimbangkan fakta yang lain.
Persidangan LHI tidak sekedar “menggambarkan rangkaian skenario “cara merampok duit APBN” untuk kepentingan pemilu 2014 atau persoalan Pustun. Namun bagaimana pasal 53 KUHP dipertimbangkan oleh hakim.