Hari-hari ini kita
disibukkan berbagai demonstrasi dari kalangan dokter yang “memprotes”
penahanan Dr. Dewa Ayu, Dokter di RSU Manado. Para Dokter Protes,
karena menanggap Dr. Dewa Ayu sudah menjalankan tugasnya namun
kemudian diproses hukum dan kemudian dijatuhi pidana penjara. Istilah
yang digunakan “kriminalisasi”
Menteri Kesehatan tidak
mau kalah dengan demo dokter. Pernyataan seperti “tidak mungkin
seorang dokter akan niat membunuh. Prosesi dokter adalah pekerjaan
mulia” menambah kisruh dari persoalan diatas. Belum lagi
tuduhan cukup serius. Hakim tidak mengerti dengna urusan medis.
Harusnya cara ini harus diselesaikan dengan Majelis Kode Etik
Dokter. Sehingga hakim dianggap tidak boleh memutuskan masalah
medis.
Reaksi bermunculan.
Ada yang berpendapat
dengan perumpamaan memperbandingkan doker dan seorang supir. Apakah
seorang membeli mobil dengan akan “niat” membunuh ?.
Perumpamaan “membeli mobil” dengan niat untuk membunuh”
Perumpamaan yang tepat dengan pernyataan “tidak mungkin ada niat
dokter untuk membunuh”.
Belum lagi ada pendapat yang menyatakan, apabila persoalan medis harus diselesaikan dengan mekanisme kode etik kedokteran, maka apabila ada supir “dianggap” kecelakaan maka harus dibentuk juga kode etik “persupiran”.
Sebelum lebih jauh kita
memahami pandangan dari Menteri Kesehatan, alangkah baik kita sedikit
menoleh tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Didalam ilmu hukum
pidana, kita mengenal kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur
didalam buku 2 KUHP. Sedangkan Pelanggaran diatur didalam buku 3
KUHP.
Dalam praktek, kejahatan
merupakan kesalahan yang disebabkan dari kesengajaan dan kelalaian.
Kesalahan merupakan satu ilmu hukum pidana yang paling lama,
universal dan sampai sekarang masih berlaku.
Untuk menentukan apakah
perbuatan dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dan kelalaian
selain rumusan tersebut telah diatur didalam peraturan
perundang-undangan, juga dapat dilihat dari berbagai doktrin para
ahli yang merumuskannya.
Dalam ilmu hukum pidana,
untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada
pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit
reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari
kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian
(culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk
kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian
(opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan
(dolus eventualis).
Diluar dari bentuk
kesengajaan (opzettelijk), kita kemudian mengenal dengan
kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa) yang terdiri
dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan. Doktrin ini
paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur didalam
pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam
pasal-pasal UU Lalu Lintas.
Dengan melihat
teori-teori pemidanaan, maka kita dapat melihat kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh Dr. Dewa Ayu yang termasuk kedalam bentuk
kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Untuk menjawabnya, maka
kita dapat melihat pondasi penting. Apakah sang Dokter telah
melakukan kewajibannya ? Apakah Sang dokter tidak melakukan yang
seharus dilakukannya ? Apakah sang dokter melakukan perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukan ? Pertanyaan kunci inilah yang dapat
membuka tabir misteri untuk membaca putusan MA dan polemik yang
diteriakkan oleh kalangan dokter.
Pertama. Konsentrasi kita
tidak hanya berkaitan dengan persoalan medis “emboli” semata atau
memang ada proses penangan prosedural yang tidak maksimal
Menarik pertimbangan MA
sebelum memutuskan perkaranya. Berdasarkan kronologis, masuknya
korban ke RS Dr Kandau Manado pukul 09.00 wita dan “lambatnya”
penanganan korban pada pukul 18.00 wita merupakan salah satu pintu
untuk membuka misteri kematian korban. Padahal Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI sudah melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di
Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah
keluar semua.
Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak
mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk tidak
mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap
korban.
Nah. Fakta inilah yang
menurut MA mengakibatkan terjadinya “kelalaian” dari Dr.
Dewa Ayu.
Kedua. Setelah pukul
18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Dr. DEWA
AYU SASIARY PRAWANI melakukan konsul dengan konsulen jaga dan
setelah mendapat anjuran, Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI mengambil
tindakan untuk dilakukan CITO SECSIO SESARIA, kemudian Dr. DEWA AYU
SASIARY PRAWANI menginstruksikan kepada saksi dr. HELMI untuk
membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat
jawaban konsul dari saksi dr. HERMANUS JAKOBUS LALENOH, Sp.An. yang
menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan
dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat
maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi
sebelum operasi atau usai operasi.
Dr. Hendy Siagian”
yang menerima tugas dari dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI untuk
memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal
tersebut tidak dilakukan oleh Dr.
Hendy Siagian. Dr. Hendy Siagian menyerahkan "informed
consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada
korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam
keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI
(bahkan juga diketahui oleh Dr Helmi). Kemudian Jaksa Penuntut
Umum berhasil memaparkan fakta ternyata tanda tangan yang tertera di
dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai
dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09
Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Dengan
demikian maka dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "Spurious
Signature".
Ini adalah fakta kedua
yang dilakukan sehingga, adanya tanda tangan karangan, membuktikan
“dokter tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya”
Ketiga. Selanjutnya
korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15
WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA
dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI sebagai operator mulai melaksanakan
operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. HENDRY SIMANJUNTAK
sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN sebagai
asisten operator II (dua).
Bahwa selama pelaksanaan
operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan
saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai
pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi
selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh)
x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan
EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam.
Berdasarkan fakta
kemudian 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc
udara di dalam tubuh korban.
Kemudian berdasarkan
hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada
bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang
terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang
terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau
infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu
sendiri.
Sebab kematian si korban
adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi
paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung
Dengan demikian, persolan
“emboli” merupakan “kelalaian” dari para dokter yang
kemudian menyebabkan kematian kepada si korban.
Keempat. Dengan
fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh MA, MA kemudian menyatakan
terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
Kelima. Dengan
fakta-fakta itulah, didalam pertimbangan MA, MA merumuskan Terdakwa
telah melakukan penyimpangan kewajiban. Terdakwa telah menimbulkan
kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh
Terdakwa terhadap korban.
Terdakwa telah
menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya
tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban
yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada
pukul 18.30 WITA.
Tetapi yang seharusnya
sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke
ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat
dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban
yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat
sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan
infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa
sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga
ditolak oleh pihak apotik.
Tidak terdapatnya
koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis,
terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan
tindakan kedokteran.
Tidak adanya tindakan
persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat
seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban
selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh
tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Terdakwa
Keenam. Dengan melihat
pertimbangan MA dihubungkan Dengan melihat teori-teori pemidanaan,
maka dengna mudah kita dapat menangkap bahwa kesalahan yang dilakukan
oleh Dr. Dewa Ayu merupakan bentuk
kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Berbagai analisis yang
telah disampaikan, sekali lagi membuktikan, kasus ini memang kasus
medis. Namun pembuktiannya sudah melalui mekanisme hukum acara yang
berlaku. Sehingga walaupun seorang sarjana hukum dapat memahami kasus
ini secara “terang benderang”.
Dengan demikian, maka
klaim dari Menteri Kesehatan tidak tepat. Oleh karena itu sudah
semestinya Menteri Kesehatan tidak “memutar balik” dan
menarik persoalan ini “semata-mata” cuma berkaitan dengan
“etika” dan praktek kedokteran tidak tepat, apabila
dibandingkan dengan menggunakan teori hukum pidana.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 3 Desember 2013
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 3 Desember 2013