11 Januari 2014

opini musri nauli : ANAS - Hero to Zero


Usai sudah perjalanan politik Anas Urbaningrum (AU). Setelah sempat digadang-gadang “pemimpin masa depan”, “calon Presiden masa depan”, AU kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian “ditahan” KPK.

Perjalanan politik yang telah dirintis AU memang terbilang spektakuler. Setelah terpilih menjadi Ketua Umum HMI, masuk ke KPU. Belum selesai menghabiskan jabatannya di KPU kemudian masuk ke Partai Demokrat dan terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Berbagai torehan prestasi yang telah dirintis AU membuat dia cukup diperhitungkan sebagai “lawan tangguh” dan tokoh muda yang melesat “bak meteor”.

Tapi apakah memang prestasi yang telah dirintis oleh AU memang spektakuler ?

Pertama. Ketika menjadi Ketua Umum HMI, momentum reformasi kemudian mengantarkan AU menjadi tokoh penting. AU ditunjuk untuk menjadi anggota tim revisi undang-undang politik atau yang dikemal dengan nama Tim Tujuh. Tim ini dipimpin oleh Ryaas Rasyid dengan anggota lainnya adalah Affan Gaffar (alm.), Andi Mallarangeng, Djohermansyah Djohan, Luthfi Mutty, dan Ramlan Surbakti.

Tim ini mengasilkan rancangan paket undang-undang pemilu yang akhirnya disahkan oleh DPR RI menjadi UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tentang Pemilhan Umum, dan UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Dalam mempersiapkan pemilu demokratis pertama pada tahun 1999, pemerintah membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum pada 3 Februari 1999 yang dikenal dengan nama Tim Sebelas. Tugas tim ini adalah memverifikasi pemenuhan syarat administratif partai dalam untuk mengkuti pemilu. Anas dipilih menjad anggota tim yang dipimpin oleh Nurcholish Madjid (alm.). Anggota lainnya adalah Adi Andojo Sutjipto, Adnan Buyung Nasution, Affan Gaffar (alm.), Andi Mallarangeng, Eep Saefulloh Fatah, Kastorius Sinaga, Miriam Budiardjo (alm.), Mulyana W. Kusumah, dan Rama Pratama.

Kedua. Tahun 2001, AU menjadi anggota KPU bersama dengan Chusnul Mar’iyah, Daan Dimara, Hamid Awaludin, Imam Prasodjo, Mudji Sutrisno, Mulyana W Kusuma, Nazaruddin Syamsuddin, Ramlan Surbakti, Rusadi Kantaprawira, dan Valina Singka Subekti. Para anggota KPU tersebut kemudian memilih Nazaruddin Syamsuddin sebagai ketua.

Pada masa itu, kemudian anggota KPU diperiksa KPK dan kemudian banyak yang menjadi tersangka. AU selamat dan tidak menjadi tersangka.

Ketiga. Tahun 2005, AU mengundurkan diri dari KPU dan menjadi “tokoh penting” di Partai Demokrat. Tahun 2009 kemudian terpilih menjadi anggota DPR bahkan menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat. Sebagai ketua Fraksi Partai Demokrat, AU “dianggap gagal” mengamankan suara Pemerintah didalam pemungutan suara di voting Bank Century.

Keempat. Tahun 2010 AU mencalonkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Keberanian mencalonkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dianggap “melawan” SBY sebagai tokoh penting karena SBY sendiri mempunyai putra Mahkota, Andi Alfian Mallaranggeng.

Dengan melihat berbagai perjalanan politik, maka banyak momentum yang “sebenarnya” belum menguji “siapa sebenarnya” AU. Betul AU memang berhasil dalam perebutan Ketua Umum HMI dan Ketua UMUM Partai Demokrat. Namun berbagai jabatan yang telah diraih adalah “pertarungan” internal. Sebagai organisator ulung, ranah itu memang panggung yang bisa dikuasai oleh AU.

Sebagai anggota KPU, AU memang “lolos” dari KPK. Namun AU tidak pernah memberikan warna yang “kuat” di KPU.

Melompat dari KPU menjadi anggota partai memang hak politik AU. Namun sebagian kalangan justru “menyesalkan” cara yang ditempuh. Alangkah baiknya AU menyelesaikan jabatannya di KPU. Ada istilah yang sering disampaikan. Alangkah tidak etis apabila wasit (KPU) kemudian menjadi pemain (Anggota partai). Padahal suara keras justru disampaikan kepada Andi Nurpati. Teman AU di KPU yang kemudian juga melompat ke partai.

Setelah menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat, AU juga dianggap gagal “mengamankan” suara pemerintah di parlemen dalam penghitungan (voting) kasus Bank Century.

Sehingga ketika AU menjadi kandidate kuat Ketua Umum Partai Demokrat, kemenangan AU yang dianggap spektakuler harus dilihat secara luas.

Memang AU terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Namun apakah kemenangan tersebut merupakan kemenangan karena “kematangan” berpolitik AU ?. Berbagai tuduhan dari Nazarudin yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan, dana Hambalang yang “diduga” untuk mengamankan kongres. Tuduhan itu cukup serius selain karena akan “merusak” politik santun yang disampaikan oleh SBY juga membuat integritas AU menjadi rusak.

Dan setelah ditetapkan tersangka dan kemudian mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Demokrat, AU kemudian berjanji akan mengeluarkan berbagai strategi yang jitu. Dengan kalimat yang terkenal, “ini adalah Bab pertama. Masih banyak bab-bab lainnya'.

Publik menunggu apa strategi yang dilakukan oleh AU. Publik menunggu informasi apa yang hendak diberikan AU. Namun hingga penahanan kemarin, AU belum mengeluarkan informasi apapun yang membuktikan “kepiawaian” AU dalam berpolitik.

Dengan memperbandingkan perjalanan politik AU dan berbagai peristiwa yang melatar belakanginya, maka suara-suara yang menempatkan AU sebagai politisi ulung harus dipertanyakan. Atau dengan kata lain, masih terlalu sederhana kemudian menempatkan AU sebagai politisi ulung yang digadang-gadang berbagai pihak.

Ditambah lagi cara-cara yang dimainkan oleh AU sebelum diperiksa KPK sebagai tersangka. Cara-cara ini bertentangan dengan gaya politik yang elegan, canggih dan piawai. Justru AU “memainkan” gaya kekanak-kanakan”, norak, kampungan dan murahan.

Dan ketika sebelum ditahan, pernyataan yang disampaikan oleh AU “melengkapi” siapa sebenarnya AU. AU sekedar “pecundang” yang “memainkan emosi penonton. Persis sinetron yang mendayu-dayu.

Sehingga tidak salah kemudian melodrama yang dimainkan AU diberi judul “Hero to zero”.

Dengan melihat melodrama yang mendayu-dayu yang “coba” dimainkan AU, maka maaf. Saya bukan penggemar sinetron. Remote TV kupindahkan menonton pertandingan sepakbola atau musik.