Dalam
sebuah pemberitaan, Fadli Zon, petinggi Partai Gerindra mengeluhkan
“pemberitaan miring”nya Prabowo di dunia maya. Prabowo sering
diberitakan dalam peristiwa HAM (penculikan) dan PT. Kiana .
Entah
dengan sadar akan dampaknya, Fadli Zon kemudian menyatakan para
pengkritik di dunia maya dengan pasukan nasi bungkus (Panasbung).
Fadli Zon tidak menghitung akan serangan balik (counter attack). Yang
pasti, Fadli “kesal” dengan serangan di dunia maya.
Ucapan
yang disampaikan “berkesan” serius. Padahal Fadli Zon menganggap
“remeh” panasbung.
Ucapan
“panasbung” dikesankan sebagai pasukan abal-abal. Pasukan murah
meriah. Pasukan yang rela cuma “dikasih” nasi bungkus.
Fadli
Zon “salah”. Pasukan cyber crime sudah pasti kalangan papan
tengah atau papan atas. Tidak percaya. Yang pasti dia punya jaringan
internet sendiri dan punya waktu senggang. Mari kita lihat di google.
Mereka sendiri tidak pernah mengikrarkan diri sebagai pasukan cyber
crime.
Yang
pasti, pasukan cyber crime mempunyai seperangkat teknologi terbaru.
Dia mempunyai ide kreatif. Dia mengolah ide menjadi issu yang
kreatif. Dia mengambil gambar. Entah gambar betulan, gambar editan,
gambar dicocok-cocokan. Hasil olahan gambar kemudian dibuatkan
kata-kata yang menusuk, mengejek ataupun kata-kata yang sering
dipakai oleh tokoh didalam gambar.
Bayangkan.
Pasukan cyber crime itu punya kemampuan editan yang terbaru. Entah
pake photoshop atau iphoto. Tapi yang pasti, hasil editannya bisa
ditangkap dengan mudah di publik.
Lalu
kemudian dia mengirimkan (upload) di berbagai media sosial (facebook,
twitter, instalgram, blog rame-rame seperti kompasiana, forum detik).
Nah.
Siapa orang yang mempunyai seperangkat teknologi dan kemampuan
“mumpuni”, punya internet sendiri dan punya waktu senggang yang
cukup kalo bukan kalangan papan tengah atau papan atas.
Ok.
Mari kita telusuri satu persatu. Yang pasti kalo dia punya kemampuan
seperti photoshop atau iphoto berarti dia informasi yang cukup untuk
menambah keterampilannya. Hanya sedikit orang yang punya. Kemudian
dia punya internet sendiri yang rela dibayar bulanan untuk
menguploadnya. Lalu dia punya waktu senggang yang cukup.
Apakah
melihat seperti itu bisa dikatakan berasal dari kalangan papan tengah
atau papan atas ?
Mereka
tidak perlu lagi memikirkan biaya hidup sehari-hari untuk
makan-makan. Mereka tidak perlu lagi memikirkan biaya bulanan untuk
internet. Apakah mereka hanya “memerlukan” nasi bungkus ?
Belum
lagi dia harus mengikuti perkembangan terkini, update berita-berita
hangat. Mereka mengolahnya menjadi issu yang mudha ditangkap mudah
oleh publik.
Apakah
mereka cuma berharap “nasi bungkus” ?
Terus.
Bagaimana caranya mengantar nasi bungkus. Apakah Pasukan cyber crime
saling mengenal ? Apakah mereka “dikumpulkan” pada suatu tempat,
pada siang hari kemudian “diantarkan” nasi bungkus ?
Ha..
ha.. Ha.. Saya pikir tidak juga begitu.
Jangan
dilawan. Pasukan cyber crime “lebih melumat”nya.
Masih
ingat ketika kasus “korupsi” yang menangkap tokoh besar partai
Islam. Mereka kemudian menyiapkan pasukan untuk “membentengi”
issu agar tidak berakibat kepada partai.
Pada
awal-awalnya “kayaknya” berhasil. Dengan bombardir mereka
kemudian “menggeser' persoalan ini menjadi persoalan pribadi. Tapi
lambat laun. Pasuka cyber crime kemudian mengepungnya. Mereka
memborbardir tanpa ampun. Mereka menyerang dengan gaya elegan.
Apa
yang terjadi kemudian. Yang pasti, pasukan “siluman” untuk
mengcounter attack pasukan cyber crime menyerah. Suara partai
kemudian merosot.
Saya
mempunyai teman yang rajin mengupload gambar-gambar yang unik. Mulai
dari SBY, Prabowo ataupun siapapun yang dijadikan musuh publik
(publik enemy), pembohong dijadikan sasaran. Mulai dari pagi hari
ketika membuka internet hingga menjelang tidur, dia rajin
mengirimkannya.
Apakah
yang dilakukannya “berharap” nasi bungkus. ha.. ha.. Tidak. Tidak
mungkin. Karena bisa saja pagi di Bogor, siang entah dimana, malam
bisa di upload dari rumah. Lalu apakah nasi bungkus akan diantarkan
di Bogor atau di rumahnya.
Ha..
ha.. Fadli Zon telah keliru menghitung pasukan Cyber Crime. Lembaga
kepresiden aja pernah “keok” menghadapi dunia maya dalam dukungan
sejuta dukungan Facebookers untuk KPK. Begitu juga Prita Mulyasari
yang berhasil dibebaskan. Yang paling teranyar tentu saja
“kompasiana” membanting telak 3 pemain besar. Kompas, UGM dan
Anggito Abimanyu dalam kasus plagiat.
Jadi.
Fadli Zon harus berfikir ulang untuk meremehkan pasukan cyber crime.
Ucapan “pasukan nasi bungkus” memang meremehkan dan terkesan
begitu digdaya Fadli Zon.