Memasuki suasana Pilpres,
sekali lagi (ingat sekali lagi), kita dipertontonkan yang memalukan.
Surya Darma Ali (SDA) ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi
penyelenggaraan haji tahun 2012. SDA memimpin sebuah Kementerian
“prestise”. Kementerian Agama.
Prestise dikarenakan,
kementerian ini mengelola dana haji, dana abadi umat dan berbagai
fasilitas haji tahun 2012. Selain itu juga, SDA memimpin kementerian
yang “dihormati” mengatur keberadaan agama-agama di Indonesia,
wilayah “sakral” yang “semestinya” jauh dari hiruk pikuk
kasus korupsi.
Belum lagi SDA sebagai
Ketua Umum PPP, partai islam yang mengajarkan nilai-nilai keislaman,
sebuah keteladanan yang mesti diikuti berbagai pengikut berbagai
umat.
Namun. Sekali lagi kita
kemudian terhenyak. Ketika KPK menetapkan “tersangka” kepada SDA.
KPK dengan “ketelitian” yang mendalam, memahami kegelisahan umat
yang sering mendapatkan “ketidakpastian” keberangkatan harus
menerima kenyataan. KPK sudha mencium gejala-gejala ini praktis sejak
tahun 2004 dan mulai intensif pertengahan tahun lalu.
Penetapan sebagai
tersangka terhadap SDA menambah daftar hitam perjalanan tokoh-tokoh
agama. Rasanya belum hilang kekagetan kita ketika petinggi partai
islam tahun 2013 disidangkan dalam kasus korupsi pengaturan kuota
daging sapi. Belum lagi korupsi pengadaan sapi tahun 2004, korupsi
pos dana abadi umat dan korupsi pengadaan Al qur'an.
Saya tidak akan
mendiskusikan bagaimana posisi kasus itu sendiri. Selain karena
memang sudah dibicarakan di berbagai kalangan dan media massa, kita
juga menghormati proses hukum yang tengah bergulir. Asas “praduga
tak bersalah” tetap kita junjung sebagai terjemahan sebagai negara
hukum.
Namun yang membuat kita
harus serius menyikapinya, korupsi yang sudah melanda wilayah yang
paling sakral membuat kita kembali bertanya. Musuh utama kita
bukanlah apakah seseorang itu Islam atau bukan. Seseorang itu
mempunyai kapasitas personal sebagai tokoh agama atau bukan ? Namun
korupsi sudah melanda berbagai dimensi. Tidak melihat siapa yang
menjadi pelaku. Korupsi terus merangsak memasuki wilayah
relung-relung yang paling damai sekalipun. Wilayah sakral dan wilayah
paling suci.
Nurani kita berontak.
Nurani kita berkata. Ada sesuatu yang tidak beres di wilayah sekitar
kita.
Tapi yang membuat kita
harus mengernyitkan kening ketika korupsi sebagai musuh utama bangsa
Indonesia ternyata disikapi berbeda oleh berbagai kalangan.
Partai-partai Islam hampir praktis tidak menampakkan “kekesalan”
terhadap korupsi yang menimpa SDA. Sedangkan partai-partai lain malah
meminta agar KPK 'berfikir” untuk menetapkan SDA dalam kasus
korupsi.
Sudah seharusnya kita
bersatu untuk melawan korupsi. Sudah seharusnya kita dalam satu
barisan untuk melawan “perampokan” uang negara.