23 Mei 2014

Ada Apa di Wilayah Sakral ?


Memasuki suasana Pilpres, sekali lagi (ingat sekali lagi), kita dipertontonkan yang memalukan. Surya Darma Ali (SDA) ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2012. SDA memimpin sebuah Kementerian “prestise”. Kementerian Agama.

Prestise dikarenakan, kementerian ini mengelola dana haji, dana abadi umat dan berbagai fasilitas haji tahun 2012. Selain itu juga, SDA memimpin kementerian yang “dihormati” mengatur keberadaan agama-agama di Indonesia, wilayah “sakral” yang “semestinya” jauh dari hiruk pikuk kasus korupsi.

Belum lagi SDA sebagai Ketua Umum PPP, partai islam yang mengajarkan nilai-nilai keislaman, sebuah keteladanan yang mesti diikuti berbagai pengikut berbagai umat.

Namun. Sekali lagi kita kemudian terhenyak. Ketika KPK menetapkan “tersangka” kepada SDA. KPK dengan “ketelitian” yang mendalam, memahami kegelisahan umat yang sering mendapatkan “ketidakpastian” keberangkatan harus menerima kenyataan. KPK sudha mencium gejala-gejala ini praktis sejak tahun 2004 dan mulai intensif pertengahan tahun lalu.

Penetapan sebagai tersangka terhadap SDA menambah daftar hitam perjalanan tokoh-tokoh agama. Rasanya belum hilang kekagetan kita ketika petinggi partai islam tahun 2013 disidangkan dalam kasus korupsi pengaturan kuota daging sapi. Belum lagi korupsi pengadaan sapi tahun 2004, korupsi pos dana abadi umat dan korupsi pengadaan Al qur'an.

Saya tidak akan mendiskusikan bagaimana posisi kasus itu sendiri. Selain karena memang sudah dibicarakan di berbagai kalangan dan media massa, kita juga menghormati proses hukum yang tengah bergulir. Asas “praduga tak bersalah” tetap kita junjung sebagai terjemahan sebagai negara hukum.

Namun yang membuat kita harus serius menyikapinya, korupsi yang sudah melanda wilayah yang paling sakral membuat kita kembali bertanya. Musuh utama kita bukanlah apakah seseorang itu Islam atau bukan. Seseorang itu mempunyai kapasitas personal sebagai tokoh agama atau bukan ? Namun korupsi sudah melanda berbagai dimensi. Tidak melihat siapa yang menjadi pelaku. Korupsi terus merangsak memasuki wilayah relung-relung yang paling damai sekalipun. Wilayah sakral dan wilayah paling suci.

Nurani kita berontak. Nurani kita berkata. Ada sesuatu yang tidak beres di wilayah sekitar kita.

Tapi yang membuat kita harus mengernyitkan kening ketika korupsi sebagai musuh utama bangsa Indonesia ternyata disikapi berbeda oleh berbagai kalangan. Partai-partai Islam hampir praktis tidak menampakkan “kekesalan” terhadap korupsi yang menimpa SDA. Sedangkan partai-partai lain malah meminta agar KPK 'berfikir” untuk menetapkan SDA dalam kasus korupsi.

Sudah seharusnya kita bersatu untuk melawan korupsi. Sudah seharusnya kita dalam satu barisan untuk melawan “perampokan” uang negara.