29 Mei 2014

opini musri nauli : Surat Terbuka Untuk Mahfud, MD



Jambi, 29 Mei 2014
Kepada Yth Bapak Mahfud, MD
di
Jakarta

Dengan Hormat
Sebelumnya saya mendoakan kepada Yang Tuhan Maha Esa agar bapak diberi kesehatan dan dapat berfikir untuk bangsa.


Selanjutnya saya minta maaf mengirimkan surat terbuka kepada bapak. Selain karena saya merasa gelisah dan tidak mesti harus menyampaikan kemana, saya yakin pasti bapak sibuk sehingga saya tidak berkesempatan mengantar surat ini secara langsung.

Sebelumnya saya memperkenalkan diri. Nama saya Musri Nauli. Saya dari Jambi. Saya hanyalah bagian dari 250 juta rakyat Indonesia yang merindukan pemilu yang demokratis, yang adil dan tentu saja akan berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Saya hanyalah sebutir debu yang berharap pemilu akan berjalan dengan baik.

Saya mulai mengikuti pemikiran bapak setelah saya membaca disertasi bapak yang kemudian dijadikan buku. Politik dan Hukum di Indonesia. Buku ini selalu menginspirasi saya ketika melihat pertarungan pemikiran di DPR dalam membahas Undang-undang. Menurut saya, disertasi bapak menyadarkan saya, hukum dan politik tidak terpisahkan. Dengan jenius bapak menyodorkan UUPA sebagai bahan perbandingan. Dengan melihat konfigurasi politik didalam DPR, kita bisa memahami sebuah UU dilahirkan.

Bapak berhasil membalikkan pengetahuan yang saya dapatkan ketika mengikuti S1 Fakultas Hukum. UU yang semula sebagai produk hukum ternyata merupakan produk politik. Konfigurasi di DPR lah yang membuat bagaimana “suasana” UU itu dilahirkan.

Pemikiran bapak itulah yang tetap menjadi salah satu literatur wajib saya untuk melihat UU. Dan saya yakin, entah berapa banyak karya ilmiah yang menggunakan pemikiran bapak sebagai literatur untuk memotret UU.

Saya kemudian mulai mengikuti langkah bapak ketika bergabung dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai Menteri Pertahanan. Hampir setiap detail proses dihubungi Gusdur untuk menjadi Menteri Pertahanan bapak selalu sampaikan. Bapak bercerita, semula bapak merasa dihubungi untuk menjadi Menteri Pertanahan. Bapak merasa mengurusi pertanahan bapak merasa mampu. Namun ketika disodorkan sebagai Menteri Pertahanan, bapak sempat kagok dan bertanya kepada Gusdur. Apa tidak salah, Gus ? Saya belum berpengalaman menjadi Menteri Pertahanan. Gusdur menjawab. Saya tidak punya pengalaman menjadi Presiden. Bapak kemudian menjawab, Ya. Siap Gusdur.

Saya menangkap kesan. Bapak merupakan tipikal orang yang amanah menerima tanggung jawab. Dan saya tahu pasti, bapak kemudian mendampingi proses “diturunkan” Gusdur di tengah jalan.

Saya kemudian mengikuti bapak ketika menjadi Ketua MK. Bapak piawai menjadi MK sebagai lembaga dihormati selain KPK. Bapak berhasil “menahan” gempuran dari berbagai lini menghendaki KPK dibubarkan. Bapak piawai meletakkan hukum sebagai panglima. Sebuah slogan utophia ditengah apatis masyarakat terhadap hukum.

Di tangan bapak, MK kemudian menjadi berwibawa dan disegani. Hampir praktis dalam periode kepemimpinan bapak, MK praktis jarang dicela apalagi mau dihancurkan. Saya kemudian bangga membaca putusan-putusan MK yang didapatkan di website MK. Saya bisa memahami pertarungan “gagasan” di MK. Saya bangga menjadi saksi dari bagian kebesaran MK.

Kekaguman saya kemudian berlanjut ketika bapak tidak bersedia mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai hakim MK apalagi Ketua MK.

Namun saya mulai kesulitan “memahami” posisi bapak ketika bersedia menerima tawaran sebagai ketua Tim Pemenangan Prabowo – Hatta. Kesulitan itu didasarkan kepada diri bapak yang mempunyai kapasitas yang mumpuni, guru bangsa, tempat kita bertanya baik konstitusi maupun hukum harus mengikuti hiruk pikuk pilpres.

Saya bukan tidak bersedia bapak mengikuti pilpes. Karena menurut saya, itu memang hak politik bapak. Saya menghormati siapapun yang menjadi Tim pemenangan dari berbagai kandidate. Tapi melihat kapasitas personal dan kemampuan bapak yang menurut saya lebih tepat sebagai guru bangsa, biarlah pekerjaan itu dikerjakan orang lain saja. Meminjam istilah Hadjim Muzadi. Pekerjaan itu adalah pekerjaan anak muda.

Tapi alangkah baik dan bijaksana, bapak harus jadi panutan dari berbagai pihak. Sehingga penghormatan kepada bapak sebagai guru bangsa merupakan refleksi jujur dari publik terhadap diri bapak.

Tapi saya sungguh-sungguh menghormati pilihan yang telah bapak tentukan.

Namun melihat tayangan tadi malam di acara “Mata Najwa”, saya sungguh-sungguh tidak rela bapak melawan hati nurani. Julukan sebagai guru bangsa dan ciri khas bapak sebagai “orang jujur” harus berhadapan dengan kenyataan. Bapak kesulitan menjelaskan bagaimana personal bapak sebagai “orang jujur” dengan menjelaskan berbagai isu tidak sedap di sekitar bapak. Ada pemimpin partai yang sudah ditetapkan “tersangka”. Ada pemimpin partai yang sering disebut-sebutkan dalam kasus Lapindo. Ada pemimpin partai yang selalu disebut-sebutkan dalam kasus Anggoro Wijoyo.

Saya tidak mengetahui “isi hati bapak”. Tapi sebagai salah satu dari jutaan orang Indonesia yang mengenal bapak, saya benar-benar terpukul ketika bapak menjadi tim pemenangan dari kandidate. Belum hilang rasa kekagetan saya, saya menjadi termangu ketika mengikuti acara “mata Najwa'. Rasa terpukul dan kekagetan saya itulah yang memberanikan saya mengirimkan surat kepada bapak.

Saya tahu. Apakah dengan cara saya mengirimkan surat ini, bapak merasa terganggu. Oleh karena itulah saya mohon maaf.

Saya tidak mewakili jutaan manusia Indonesia yang mungkin berbeda dengan saya. Tapi saya mewakili perasaan saya.

Saya tentu saja tidak meminta bapak mundur dari Tim Pemenangan. Karena saya tahu dengan sikap bapak. Apabila sudah mengambil keputusan, bapak siap dengan konsekwensi apapun.

Surat ini hanyalah mewakili kegelisahan saya. Saya berharap bapak memahami kegelisahan saya.

Namun apapun keputusan yang bapak ambil. Saya akan menghormati. Sebuah penghormatan yang tidak akan hilang oleh satu peristiwa saja.

Salam Hormat saya


Musri Nauli