Melejitnya nama Jokowi ke
Pilpres 2014 memang membikin “cacing-cacing” kepanasan. Ada yang
“kesal”, manusia kurus kerempeng, hitam dan jelek lagi (kata
Putriku) masa menjadi calon Presiden.
Padahal sudah banyak yang
mempromosikan menjadi Presiden. Sudah menguasai partai besar, sudah
beriklan kesana kemari. Sudah banyak menghiasi media televisi. Tapi
mengapa “Jokowi” selalu unggul di berbagai lembaga survey.
Ada yang menuduh “lembaga
survey” bisa dibayar. Ah. Kalo yang kayaknya malas menanggapinya.
Mungkin pengalaman dia seperti itu. Saya sendiripun tidak tahu.
“Gelap ah”.
Sebagai pendukung Jokowi
saya tidak mau menceritakan “siapa tuh Jokowi”. Dan mengapa
Jokowi banyak didukung ?. Percuma. Karena kekaguman kepada seseorang
kadang-kadang tidak bisa dijelaskan baik.
Tapi ada rahasia dan cara
menaklukan Jokowi. Gampang.
Pertama. Ikuti saran Ahok
(Gubernur Jakarta). Jangan bikin kampanye hitam. Kampanye hitam akan
“menyerang balik”.
Masih ingat dengan
tuduhan serius dan “berbau” SARA.
Jokowi dianggap “klenik”,
tidak beragama Islam dan keturunan China.
Issu Islam dan China issu
yang sensitif. Issu rasial yang tidak pantas lagi dikemukakan di
Indonesia.
Masa memilih dengan Issu
itu ?. Apa kata dunia ?
Nanti dibilang Indonesia
sebagai negara terbelakang, malah marah.
Tapi issu ini terus
menggelinding dan menyambar apapun. Bahkan ada yang berapi-api
menjelaskan dengan mengutip berbagai ayat.
Entah memang “strategi”
yang lemah “memainkan issu. Akhirnya issu ini berbalik. Jokowi
“tuntas” menjelaskan “asal keturunan”. Jokowi “tuntas”
menjelaskan agamanya.
Air bah kembali
“menghantam” pembuat issu. Penjelasan Anies Baswedan “kami
tidak perlu menanyakan apakah naik haji atau belum “, Tokoh NU
“bacaannya bagus, Tajwidnya bagus”, Jusuf Kalla “diadakan aja
perlombaan membaca Al Qur'an”. Bibir kelu mulai menghantam “pembuat
issu'
Ketika ditanya bagaimana
kalo diadakan perlombaan membaca Al Qur'an, malah dijawab “kita
konsentrasi dengan kerja pemenangan”. Ha.. ha.. Ahok memang jitu.
Kedua. Jangan mengukur
kinerja. Jokowi sering disebut-sebut kinerjanya kurang baik.
Wah. Wah. Strategi
“kacangan” ini jangan dimainkan dong. Tim Jokowi tidak perlu
menjelaskan. Suara-suara “tulus” di kompasiana menulis panjang
lebar. Kenaikan APBD Solo dan kenaikan APBD Jakarta seakan-akan
“menyentak”. Analisinya cukup dalam. Sederhana tapi tuntas.
Ketiga. Jokowi
pencitraan.
Wah. Wah. Tema pencitraan
jangan dipakai lagi dong. Itu zamannya Pak Beye. Segala sesuatu
diatur sehingga citranya bagus.
Tapi kalo setiap hari
kemudian diliput, harusnya ditanyakan kepada media dong. Mengapa
media yang rela memasukkan Jokowi dalam headline media.
Ini persoalan news.
Pertimbangan media memasukkan berita Jokowi semata-mata “news”.
Tidak ada satupun yang bisa mengintervensikan “apakah itu news atau
tidak”. Itu melanggar kebebasan pers.
Berita mengenai Jokowi di
televisi menaikkan rating media. Berita mengenai Jokowi “menarik
orang untuk mengontrol remote”.
Begitu juga di dunia
mediaonline. Rating pembaca naik kalo memuat berita Jokowi.
Kalo ingin terus diliput
media, kemas peristiwa menjadi news sehingga menarik media. Jangan
salahkan media kalo tidak meliput peristiwa. Tapi malah menyalahkan
media karena meliput Jokowi.
Keempat. Blusukan
Istilah blusukan sering
digunakan oleh Jokowi untuk melihat persoalan langsung. Jokowi harus
memastikan bagaimana program itu dapat diterima masyarakat dan tepat
sasaran.
Kebayang tidak, Jokowi
sering “blusukan” kesana kemari. Tahu-tahu sudah di belakang
rumah sempit dan tidak pernah kasih kabar mau kemana dia hendak
pergi.
Bayangkan bagaimana
hebohnya di kampung-kampung. Masyarakat teriak-teriak melihat Jokowi.
Jangan salahkan Jokowi
melakukan cara-cara seperti ini.
Kalo ada yang melakukan
blusukan demi pencitraan seperti menjelang pileg kemarin, masyarakat
pasti tahu. Tidak percaya. Tuh. Ada calon wakil presiden yang ke
pasar, malah bersin-bersin.
Kalo ada cara lain yang
menarik perhatian masyarakat. Lakukan. Tapi jangan pula disalahkan
Jokowi melakukan “blusukan”.
Kelima. Prestasi Jokowi
biasa-biasa saja.
Ya. Itu saya sepakat.
Prestasi Jokowi biasa-biasa saja. Prestasi Jokowi jauh dibandingkan
dengan Risma (Walikota Surabaya). Tentu lebih berat dan lebih lama
dibandingkan dengan Jokowi.
Tapi Jokowi sudah berbuat
hal-hal yang sederhana. Langsung dirasakan masyarakat. Apa buktinya ?
Tidak perlu panjang lebar yang sudah dilakukan Jokowi. Bisa dilihat
di berbagai media massa
Tapi dengan hal-hal
sederhana Jokowi mendapatkan dukungan. Kerja Jokowi mendapatkan
pengakuan luas.
Gerakan relawan yang
mendukung Jokowi di Jakarta dalam Pilkada Jakarta berhasil
menumbangkan “Foke” yang didukung 16 partai besar. Dukungan ini
dampaknya luar biasa. Jokowi berhasil “menaklukan” Jakarta yang
diluar perkiraan orang banyak.
Saya teringat kata-kata
bijak. Jangan meratap kegelapan. Tapi hidupkan sebatang lilin.
Yang dilakukan Jokowi
bukanlah prestasi istimewa. Bukanlah ide-ide yang brilian. Semuanya
ada di berbagai dokumen.
Yang dilakukan Jokowi
hanyalah “sekedar” apa yang bisa dilakukan Jokowi. Yang dilakukan
Jokowi memang tugasnya sebagai pemimpin. Tidak lebih daripada itu.
Kitapun bisa melakukannya.
Masih banyak yang lebih
hebat dari Jokowi.
Namun yang dilakukan
Jokowi merupakan tugas sederhana seorang pemimpin.
Saya memimpinkan Pilpres
2019 diikuti pemimpin-pemimpin yang bekerja untuk rakyat. Kita punya
stok dan pilihan untuk memilih Presiden 2019. Sehingga kita memilih
dengan rasional.