07 Juni 2014

opini musri nauli : Cara Menaklukkan Jokowi


Melejitnya nama Jokowi ke Pilpres 2014 memang membikin “cacing-cacing” kepanasan. Ada yang “kesal”, manusia kurus kerempeng, hitam dan jelek lagi (kata Putriku) masa menjadi calon Presiden.


Padahal sudah banyak yang mempromosikan menjadi Presiden. Sudah menguasai partai besar, sudah beriklan kesana kemari. Sudah banyak menghiasi media televisi. Tapi mengapa “Jokowi” selalu unggul di berbagai lembaga survey.

Ada yang menuduh “lembaga survey” bisa dibayar. Ah. Kalo yang kayaknya malas menanggapinya. Mungkin pengalaman dia seperti itu. Saya sendiripun tidak tahu. “Gelap ah”.

Sebagai pendukung Jokowi saya tidak mau menceritakan “siapa tuh Jokowi”. Dan mengapa Jokowi banyak didukung ?. Percuma. Karena kekaguman kepada seseorang kadang-kadang tidak bisa dijelaskan baik.

Tapi ada rahasia dan cara menaklukan Jokowi. Gampang.

Pertama. Ikuti saran Ahok (Gubernur Jakarta). Jangan bikin kampanye hitam. Kampanye hitam akan “menyerang balik”.

Masih ingat dengan tuduhan serius dan “berbau” SARA.

Jokowi dianggap “klenik”, tidak beragama Islam dan keturunan China.

Issu Islam dan China issu yang sensitif. Issu rasial yang tidak pantas lagi dikemukakan di Indonesia.

Masa memilih dengan Issu itu ?. Apa kata dunia ?

Nanti dibilang Indonesia sebagai negara terbelakang, malah marah.

Tapi issu ini terus menggelinding dan menyambar apapun. Bahkan ada yang berapi-api menjelaskan dengan mengutip berbagai ayat.

Entah memang “strategi” yang lemah “memainkan issu. Akhirnya issu ini berbalik. Jokowi “tuntas” menjelaskan “asal keturunan”. Jokowi “tuntas” menjelaskan agamanya.

Air bah kembali “menghantam” pembuat issu. Penjelasan Anies Baswedan “kami tidak perlu menanyakan apakah naik haji atau belum “, Tokoh NU “bacaannya bagus, Tajwidnya bagus”, Jusuf Kalla “diadakan aja perlombaan membaca Al Qur'an”. Bibir kelu mulai menghantam “pembuat issu'

Ketika ditanya bagaimana kalo diadakan perlombaan membaca Al Qur'an, malah dijawab “kita konsentrasi dengan kerja pemenangan”. Ha.. ha.. Ahok memang jitu.

Kedua. Jangan mengukur kinerja. Jokowi sering disebut-sebut kinerjanya kurang baik.

Wah. Wah. Strategi “kacangan” ini jangan dimainkan dong. Tim Jokowi tidak perlu menjelaskan. Suara-suara “tulus” di kompasiana menulis panjang lebar. Kenaikan APBD Solo dan kenaikan APBD Jakarta seakan-akan “menyentak”. Analisinya cukup dalam. Sederhana tapi tuntas.

Ketiga. Jokowi pencitraan.

Wah. Wah. Tema pencitraan jangan dipakai lagi dong. Itu zamannya Pak Beye. Segala sesuatu diatur sehingga citranya bagus.

Tapi kalo setiap hari kemudian diliput, harusnya ditanyakan kepada media dong. Mengapa media yang rela memasukkan Jokowi dalam headline media.

Ini persoalan news. Pertimbangan media memasukkan berita Jokowi semata-mata “news”. Tidak ada satupun yang bisa mengintervensikan “apakah itu news atau tidak”. Itu melanggar kebebasan pers.

Berita mengenai Jokowi di televisi menaikkan rating media. Berita mengenai Jokowi “menarik orang untuk mengontrol remote”.

Begitu juga di dunia mediaonline. Rating pembaca naik kalo memuat berita Jokowi.

Kalo ingin terus diliput media, kemas peristiwa menjadi news sehingga menarik media. Jangan salahkan media kalo tidak meliput peristiwa. Tapi malah menyalahkan media karena meliput Jokowi.

Keempat. Blusukan

Istilah blusukan sering digunakan oleh Jokowi untuk melihat persoalan langsung. Jokowi harus memastikan bagaimana program itu dapat diterima masyarakat dan tepat sasaran.

Kebayang tidak, Jokowi sering “blusukan” kesana kemari. Tahu-tahu sudah di belakang rumah sempit dan tidak pernah kasih kabar mau kemana dia hendak pergi.

Bayangkan bagaimana hebohnya di kampung-kampung. Masyarakat teriak-teriak melihat Jokowi.

Jangan salahkan Jokowi melakukan cara-cara seperti ini.

Kalo ada yang melakukan blusukan demi pencitraan seperti menjelang pileg kemarin, masyarakat pasti tahu. Tidak percaya. Tuh. Ada calon wakil presiden yang ke pasar, malah bersin-bersin.

Kalo ada cara lain yang menarik perhatian masyarakat. Lakukan. Tapi jangan pula disalahkan Jokowi melakukan “blusukan”.

Kelima. Prestasi Jokowi biasa-biasa saja.

Ya. Itu saya sepakat. Prestasi Jokowi biasa-biasa saja. Prestasi Jokowi jauh dibandingkan dengan Risma (Walikota Surabaya). Tentu lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan Jokowi.

Tapi Jokowi sudah berbuat hal-hal yang sederhana. Langsung dirasakan masyarakat. Apa buktinya ? Tidak perlu panjang lebar yang sudah dilakukan Jokowi. Bisa dilihat di berbagai media massa

Tapi dengan hal-hal sederhana Jokowi mendapatkan dukungan. Kerja Jokowi mendapatkan pengakuan luas.

Gerakan relawan yang mendukung Jokowi di Jakarta dalam Pilkada Jakarta berhasil menumbangkan “Foke” yang didukung 16 partai besar. Dukungan ini dampaknya luar biasa. Jokowi berhasil “menaklukan” Jakarta yang diluar perkiraan orang banyak.

Saya teringat kata-kata bijak. Jangan meratap kegelapan. Tapi hidupkan sebatang lilin.

Yang dilakukan Jokowi bukanlah prestasi istimewa. Bukanlah ide-ide yang brilian. Semuanya ada di berbagai dokumen.

Yang dilakukan Jokowi hanyalah “sekedar” apa yang bisa dilakukan Jokowi. Yang dilakukan Jokowi memang tugasnya sebagai pemimpin. Tidak lebih daripada itu. Kitapun bisa melakukannya.

Masih banyak yang lebih hebat dari Jokowi.

Namun yang dilakukan Jokowi merupakan tugas sederhana seorang pemimpin.

Saya memimpinkan Pilpres 2019 diikuti pemimpin-pemimpin yang bekerja untuk rakyat. Kita punya stok dan pilihan untuk memilih Presiden 2019. Sehingga kita memilih dengan rasional.