Malam ini kita disuguhkan pendidikan politik. Retorika dan berdebat. Sebuah
tema yang “sedikit” kering mendiskusikannya namun mempunyai dampak terhadap
performance dan penyampaian gagasan yang akan disampaikan.
Tentu
saja banyak tulisan mengenai retorika dan debat di berbagai milist ataupu link.
Banyak tulisan yang telah membahasnya. Namun sedikit sekali kita membuat
analisis yang aktual dengan kejadian yang trendy sekarang ini. Debat
capres/cawapres misalnya.
Sedikit
catatan yang hendak penulis sampaikan membantu kita untuk mengenal dan
pemahaman kita tentang retorika dan berdebat.
Mengukur
“retorika”, Hatta Rajasa
mendapatkan point tertinggi. Dengan sistematis, runut dan jernih “Hatta” bisa
menjelaskan “alur logika yang hendak dibangun.
Menjelaskan
berbagai persoalan bangsa “mudah” dipahami dari Hatta. Namun “Hatta” keteteran
dengan teman debat seperti Prabowo yang sering “kontraproduktif” dengan gagasan
yang hendak dibangunnya. Sehingga gagasan yang hendak ditawarkan oleh Hatta
sering tenggelam dengan berbagai pernyataan yang “bertentangan” dari Prabowo.
Berbeda
dengan Jokowi. Walaupun menjelaskan dengan sederhana namun langsung disambut
Jusuf Kalla yang mampu menerangkan dengan sedikit rigit menjelaskan gagasan
yang telah disampaikan oleh Jokowi.
Saya
memberikan apresiasi kepada Hatta Rajasa. Namun dalam duet tim saya harus
memberikan dukungan kepada Jokowi dan Jusuf Kalla.
Menyajikan
konteks dengan Akurat. Hatta cukup
berhasil memainkan peran ini. Setiap pernyataanya “terukur”, sistematis dan
cukup jernih. Namun dalam konteks “akurasi”, Hatta terjebak dengan berbagai
persoalan yang kemudian ditawarkan oleh Prabowo.
Pernyataan
Prabowo seperti “Indonesia kaya....” tersandung dengan uraian dari Hatta
yang hendak membangun pemikiran kritis.
Hatta
kehilangan relevansi, karena Prabowo “menguasai tema itu” dan Hatta keteter
mengikuti logika Prabowo.
Berbeda
dengan Jokowi. Walaupun menyampaikan normatif dan cenderung “salting (salah
tingkah dengan sering mengeluarkan kata-kata eh.. eh..) namun berhasil ditutupi
oleh Jusuf Kalla.
Pernyataan
dan fakta. Pernyataan harus
didukung oleh fakta. Pernyataan yang tidak didukung oleh fakta dapat dijadikan
amunisi bagi lawan.
Masih
ingat kata-kata Adian Napitupulu ketika Fadli Zoen ataupun Fahri Hamzah yang
keok menghadapinya dengan mengeluarkan kata-kata “yang dikuatkan data dan
fakta. Bukan suaranya”. Senjata ini dikeluarkan oleh Adian untuk mengukur
stamina lawan sekaligus membikin lawan skak matt.
Atau
masih ingat perdebatan Adian dengan Ahmad Yani “datanya mana” untuk
membantah pernyataan Ahmad Yani mengukur kinerja Jokowi.
Didalam
debat Capres/cawapres, kelihatan sekali antara pernyataan dan fakta dikuasai
oleh Jokowi dan Jusuf Kalla. Dengan memberikan pernyataan, keduanya sekaligus
memberikan contoh yang telah dilakukan. Pernyataan kemudian tidak menjadi
kering. Mudah ditangkap oleh lapisan masyarakat akar rumput namun tidak mudah
dipatahkan oleh kalangan kelas menengah. Strategi ini “ciamik” dimainkan
oleh Jusuf Kalla yang memang “piawai menguasai panggung”.
Kuasai
topik atau masalah. Menurut saya,
yang paling piawai memainkan ini adalah Ahok. Masih ingat perdebatan Ahok
dengan kalangan mahasiswa yang menolak pembangunan swalayan modern”. Dengan
lantang Ahok menantang, “lihat izinnya, bos. Itu bukan pada masa saya. Yang
pasti pada masa pak Jokowi, kami tidak berikan izin lagi untuk pembangunan
swalayan modern”.
Atau
ingat perdebatan Ahok dalam kasus “Tanah abang”. Dengan jenius, Ahok berhasil
mematahkan alasan para pedagang dan kemudian bersedia ditempatkan yang telah
disediakan.
Dalam
perdebatan capres/cawapres, Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan duet yang saling
mengisi. Sedangkan Hatta Rajasa “terjebak” dengan pemikirannya sendiri.
Percaya
diri, tenang, lantang. Terlihat
sekali Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa berhasil menguasai diri, tenang dan
lantang. Jokowi masih “demam panggung”. Setiap kata-kata yang
dilontarkanya walaupun masih terukur namun kurang menguasai diri.
Sedangkan
Prabowo percaya diri, namun mudah “emosi” ketika diserang oleh Jusuf
Kalla. Pernyataan “saya tahu arahnya” membuktikan Prabowo kurang bisa
mengendalikan pemikiran dan terjebak dengan serangan dari Jusuf Kalla.
Namun
yang luput dari pengamatan kita, ketika Jusuf Kalla sering mengeluarkan
pernyataan. “ternyata anda mendukung pendapat kami. Strategi ini sering
dimainkan Jusuf Kalla untuk mengendalikan alur diskusi.
Jusuf
Kalla adalah pemain ulung. Masih ingat perdebatan dengan Ruhut Sitompul ketika
persidangan Century di DPR tahun 2000 – 2010. Ruhut waktu itu mengeluarkan
uneg-unegnya dan menuduh Jusuf Kalla “mengintervensi hukum dalam kasus
Century. Kita masih ingat ketika Jusuf Kalla memerintahkan Kapolri untuk
menangkap Robert Tantular.
Dengan
santai Jusuf Kalla mengatakan. “saya tidak mengintervensi Kapolri. Tapi saya
memerintahkan. Intervensi artinya sejajar. Sedangkan “memerintahkan” artinya
Kapolri dibawah Kepresiden”. Sebuah kejeniusan dari Jusuf Kalla yang
membuat Ruhut Sitompul “keok” dan terdiam.
Dan
saya harus mengakui memberikan applaus kepada Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa
didalam menguasai panggung. Prabowo didalam menyampaikan gagasannya dan Jokowi
didalam menguasai topik dan masalah.
Terlepas
apapun alasan memilih Capres 2014, namun teknik dan taktik dalam berdebat harus
senantiasa ditumbuhkan. Budaya ini
senantiasa diharapkan dapat ditumbuhkan agar gagasan kita dapat “diuji” oleh
lawan debat kita.