10 Juni 2014

opini musri nauli : RETORIKA DAN BERDEBAT




Malam ini kita disuguhkan pendidikan politik. Retorika dan berdebat. Sebuah tema yang “sedikit” kering mendiskusikannya namun mempunyai dampak terhadap performance dan penyampaian gagasan yang akan disampaikan.

Tentu saja banyak tulisan mengenai retorika dan debat di berbagai milist ataupu link. Banyak tulisan yang telah membahasnya. Namun sedikit sekali kita membuat analisis yang aktual dengan kejadian yang trendy sekarang ini. Debat capres/cawapres misalnya.

Sedikit catatan yang hendak penulis sampaikan membantu kita untuk mengenal dan pemahaman kita tentang retorika dan berdebat.

Mengukur “retorika”, Hatta Rajasa mendapatkan point tertinggi. Dengan sistematis, runut dan jernih “Hatta” bisa menjelaskan “alur logika yang hendak dibangun.

Menjelaskan berbagai persoalan bangsa “mudah” dipahami dari Hatta. Namun “Hatta” keteteran dengan teman debat seperti Prabowo yang sering “kontraproduktif” dengan gagasan yang hendak dibangunnya. Sehingga gagasan yang hendak ditawarkan oleh Hatta sering tenggelam dengan berbagai pernyataan yang “bertentangan” dari Prabowo.

Berbeda dengan Jokowi. Walaupun menjelaskan dengan sederhana namun langsung disambut Jusuf Kalla yang mampu menerangkan dengan sedikit rigit menjelaskan gagasan yang telah disampaikan oleh Jokowi.

Saya memberikan apresiasi kepada Hatta Rajasa. Namun dalam duet tim saya harus memberikan dukungan kepada Jokowi dan Jusuf Kalla.

Menyajikan konteks dengan Akurat. Hatta cukup berhasil memainkan peran ini. Setiap pernyataanya “terukur”, sistematis dan cukup jernih. Namun dalam konteks “akurasi”, Hatta terjebak dengan berbagai persoalan yang kemudian ditawarkan oleh Prabowo.

Pernyataan Prabowo seperti “Indonesia kaya....” tersandung dengan uraian dari Hatta yang hendak membangun pemikiran kritis.

Hatta kehilangan relevansi, karena Prabowo “menguasai tema itu” dan Hatta keteter mengikuti logika Prabowo.

Berbeda dengan Jokowi. Walaupun menyampaikan normatif dan cenderung “salting (salah tingkah dengan sering mengeluarkan kata-kata eh.. eh..) namun berhasil ditutupi oleh Jusuf Kalla.

Pernyataan dan fakta. Pernyataan harus didukung oleh fakta. Pernyataan yang tidak didukung oleh fakta dapat dijadikan amunisi bagi lawan.

Masih ingat kata-kata Adian Napitupulu ketika Fadli Zoen ataupun Fahri Hamzah yang keok menghadapinya dengan mengeluarkan kata-kata “yang dikuatkan data dan fakta. Bukan suaranya”. Senjata ini dikeluarkan oleh Adian untuk mengukur stamina lawan sekaligus membikin lawan skak matt.

Atau masih ingat perdebatan Adian dengan Ahmad Yani “datanya mana” untuk membantah pernyataan Ahmad Yani mengukur kinerja Jokowi.

Didalam debat Capres/cawapres, kelihatan sekali antara pernyataan dan fakta dikuasai oleh Jokowi dan Jusuf Kalla. Dengan memberikan pernyataan, keduanya sekaligus memberikan contoh yang telah dilakukan. Pernyataan kemudian tidak menjadi kering. Mudah ditangkap oleh lapisan masyarakat akar rumput namun tidak mudah dipatahkan oleh kalangan kelas menengah. Strategi ini “ciamik” dimainkan oleh Jusuf Kalla yang memang “piawai menguasai panggung”.

Kuasai topik atau masalah. Menurut saya, yang paling piawai memainkan ini adalah Ahok. Masih ingat perdebatan Ahok dengan kalangan mahasiswa yang menolak pembangunan swalayan modern”. Dengan lantang Ahok menantang, “lihat izinnya, bos. Itu bukan pada masa saya. Yang pasti pada masa pak Jokowi, kami tidak berikan izin lagi untuk pembangunan swalayan modern”.

Atau ingat perdebatan Ahok dalam kasus “Tanah abang”. Dengan jenius, Ahok berhasil mematahkan alasan para pedagang dan kemudian bersedia ditempatkan yang telah disediakan.

Dalam perdebatan capres/cawapres, Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan duet yang saling mengisi. Sedangkan Hatta Rajasa “terjebak” dengan pemikirannya sendiri.

Percaya diri, tenang, lantang. Terlihat sekali Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa berhasil menguasai diri, tenang dan lantang. Jokowi masih “demam panggung”. Setiap kata-kata yang dilontarkanya walaupun masih terukur namun kurang menguasai diri.

Sedangkan Prabowo percaya diri, namun mudah “emosi” ketika diserang oleh Jusuf Kalla. Pernyataan “saya tahu arahnya” membuktikan Prabowo kurang bisa mengendalikan pemikiran dan terjebak dengan serangan dari Jusuf Kalla.

Namun yang luput dari pengamatan kita, ketika Jusuf Kalla sering mengeluarkan pernyataan. “ternyata anda mendukung pendapat kami. Strategi ini sering dimainkan Jusuf Kalla untuk mengendalikan alur diskusi.

Jusuf Kalla adalah pemain ulung. Masih ingat perdebatan dengan Ruhut Sitompul ketika persidangan Century di DPR tahun 2000 – 2010. Ruhut waktu itu mengeluarkan uneg-unegnya dan menuduh Jusuf Kalla “mengintervensi hukum dalam kasus Century. Kita masih ingat ketika Jusuf Kalla memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular.

Dengan santai Jusuf Kalla mengatakan. “saya tidak mengintervensi Kapolri. Tapi saya memerintahkan. Intervensi artinya sejajar. Sedangkan “memerintahkan” artinya Kapolri dibawah Kepresiden”. Sebuah kejeniusan dari Jusuf Kalla yang membuat Ruhut Sitompul “keok” dan terdiam.

Dan saya harus mengakui memberikan applaus kepada Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa didalam menguasai panggung. Prabowo didalam menyampaikan gagasannya dan Jokowi didalam menguasai topik dan masalah.

Terlepas apapun alasan memilih Capres 2014, namun teknik dan taktik dalam berdebat harus senantiasa ditumbuhkan.  Budaya ini senantiasa diharapkan dapat ditumbuhkan agar gagasan kita dapat “diuji” oleh lawan debat kita.