Ketika
aku memilih sebuah nama.
Kau
maki aku dengna kata-kata kasarmu. “Ngapaian pilih dia”. Suaramu keras
menggelar. Memekakkan gendang telingaku.
Terus
aku tanya kepada dirimu. “Lalu. Siapa nama yang hendak kau pilih ?”
Kau
yakinkan diriku. “Dia bukan seagama dengan kita “
Kau
sodorkan satu nama.
Aku
tidak mau dengan alasan agama, aku kemudian tidak boleh memilihnya. Akupun
bertahan dengan prinsipku.
Kaupun
terus “teriak”. Kaupun seakan-akan tertawa kesenangan melihatku diam.
Akupun
tidak mau meladenimu. Namun kaupun tertawa semakin keras.
Aku
tidak terima dengan perkataanmu. Kau menuduh pilihanku dengan fitnah.
Ketika
aku sodorkan “dia seagama denganku”. Dia lebih rajin beribadah
daripada dirimu. Namun aku memilih dia karena dia adalah diriku. Dia harapanku.
Kaupun
terdiam. Bibirmu kelu.
Dan
ketika aku bertanya dengan dirimu ? Apakah kau memilih dia karena “dia
seagama dengan dirimu ?. Kaupun
diam. Kau tidak mampu berbicara.
Lalu
siapa dirimu ? Apakah yang mengucapkan
dengan keras maka “kebenaran kemudian milikmu” ?
Mengapa
kau tidak melihat diriku yang justru sedang mendengarkan penjelasanmu.
Mendengarkan penjelasanmu dengan bahasa yang lembut. Dengan ucapan yang lirih.
Lalu
mengapa kau pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya.
Lalu
siapa dirimu ?