13 Juli 2014

opini musri nauli : Matematika Pemenang Pilpres 2014



Tiba-tiba dunia politik dikejutkan hasil lembaga survey yang menampilkan hasil survey yang berbeda. 9 Lembaga survey mengungguli pasangan Jokowi/JK. Sedangkan 4 lembaga survey menampilkan keunggulan Prabowo/Hatta.

Sebagai pengetahuan penghitungan cepat (quick count), persoalan ini dapat diselesaikan dengan pendekatan akademik. Kedua belah pihak bertemu untuk mendiskusikan dan berbagi informasi.

Baik dimulai dengan kredilitas lembaga. Berapa orang yang menjadi relawan, tim survey, model pengolahan data, simulasi sebelum pelaksanaan, program pengolahan data dan berbagai teknis yang membuktikan lembaga yang ditunjuk sebagai quick count adalah lembaga yang kredibel.

Tentu saja termasuk profesionalisme lembaga. Website dengan domain atau website yang tidak up to date, alamat yang tidak jelas sudah membuktikan, lembaga tersebut tidak mempunyai kredibilitas melakukan quick count.

Barulah kita ingin melihat bagaimana lembaga ini melakukan quick count. Baik dimulai dari tatacara penarikan sampling, sebaran sampling, demografi, keterwakilan berbagai faktor. Termasuk probalitas yang menjadi pertimbangan sebelum mengeluarkan hasilnya.

Secara sederhana itulah yang kita butuhkan. Namun yang terjadi bukan saling bertemu, tapi malah berkoar di berbagai media massa “persis” politisi. Mengerikan memang.

Namun yang menyentak perhatian saya ketika, hasil 4 lembaga survey hendak diketemukan dengan 9 lembaga survey ternyata tidak dihadiri oleh 4 lembaga survey, publik kemudian “digiring” untuk melihat model baru yang mengaburkan pekerjaan Quick count. Model Real count dan “kampanye” untuk menunggu pengumuman resmi dari KPU tanggal 22 Juli.

Saya kemudian terhenyak. Terlepas apakah kita menunggu hasil resmi dari KPU, upaya mengeluarkan hasil penghitungan dari 4 lembaga survey memaksa kita “mengabaikan hasil penghitungan dari 9 lembaga survey. Itu adalah kejahatan intelektual yang serius sedang digalang oleh politisi.

Tentu saja kita boleh berdebat di tahap metologi dan tatacara penarikan sampling ataupun berkaitan dengan quick count. Namun mengaburkan ataupun adanya upaya yang serius mengabaikan hasil itu merupakan sebuah persoalan yang justru kita ke titik nadir. Ada upaya pembodohan dari hasil-hasil lembaga survey.

Saya kemudian sadar. Menghadirkan 4 lembaga survey (yang belum bisa dipertanggungjawabkan) berhadapan dengan 9 lembaga survey membuat kita dipaksa “menerima keraguan”.

Namun upaya itu harus kita lawan dengan kewajaran. Ya. Kewajaran dimulai dengan cara berfikir yang bisa diterima dengan akal sehat.

Sebagai hasil penghitungan cepat, maka rasionalitas tidak bisa dipisahkan dengan pengetahuan matematika. Sebuah ilmu yang bisa menerangkan lebih baik sehingga kita mempunyai bacaan yang sama.

Matematika sebagai pondasi ilmu yang membedah hasil penghitungan merupakan salah satu “pisau bedah” yang tepat.

Dengan matematika kemudian kita bisa menelusuri mengapa ada perbedaan angka yang signifikan antara kemenangan Jokowi atau Prabowo.

Hingga kini, 4 lembaga survey tidak pernah mengeluarkan data-data yang mengklaim kemenangan Prabowo. Dari titik ini saya kemudian menemukan jawaban. Klir. Tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak pantas disandingkan dengan 9 lembaga survey yang memenangkan Jokowi.

Cara ini merupakan salah satu strategi yang sedang dimainkan dan berhasil dilihat oleh Made Tony Supriatma, Dengan jernih dia menjelaskan “Quick counts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan kemudian dikampanyekan lewat TV yang dikuasai Bakrie dan Hari Tanoe -- para sekutu Prabowo”. Dia menyebutkan “muddy the statistical waters' atau kacaukan statistik.

Setelah upaya ini berhasil maka dilakukan dengan cara kedua. 'Steal the results." Curi hasil pilpres ini. Pengacauan hasil quick counts ini tujuannya adalah untuk memunculkan kebingungan di kalangan para pemilih. Ini juga akan memberikan mereka waktu untuk menggoreng hasil pemilihan versi mereka.
"Persis itulah yang hendak mereka lakukan pada saat ini. Mereka akan mengumumkan real count versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan hasil resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di masyarakat.

Namun dengan pisau analisis matematika, maka cara pertama “muddy the statistical waters” dan cara kedua “steal the results bisa mudah dibaca. Dan dengan matematika, angka-angka survey asal-asal bisa dibantah dengan mudah.

Matematika merupakan ibu kandung pengetahuan bisa menjelaskan dan kita bisa fokus menatap Pilpres 2014.


Dan Matematika sebagai pemenang pilpres 2014.