Tiba-tiba
dunia politik dikejutkan hasil lembaga survey yang menampilkan hasil
survey yang berbeda. 9 Lembaga survey mengungguli pasangan Jokowi/JK.
Sedangkan 4 lembaga survey menampilkan keunggulan Prabowo/Hatta.
Sebagai
pengetahuan penghitungan cepat (quick count), persoalan ini dapat
diselesaikan dengan pendekatan akademik. Kedua belah pihak bertemu
untuk mendiskusikan dan berbagi informasi.
Baik
dimulai dengan kredilitas lembaga. Berapa orang yang menjadi relawan,
tim survey, model pengolahan data, simulasi sebelum pelaksanaan,
program pengolahan data dan berbagai teknis yang membuktikan lembaga
yang ditunjuk sebagai quick count adalah lembaga yang kredibel.
Tentu
saja termasuk profesionalisme lembaga. Website dengan domain atau
website yang tidak up to date, alamat yang tidak jelas sudah
membuktikan, lembaga tersebut tidak mempunyai kredibilitas melakukan
quick count.
Barulah
kita ingin melihat bagaimana lembaga ini melakukan quick count. Baik
dimulai dari tatacara penarikan sampling, sebaran sampling,
demografi, keterwakilan berbagai faktor. Termasuk probalitas yang
menjadi pertimbangan sebelum mengeluarkan hasilnya.
Secara
sederhana itulah yang kita butuhkan. Namun yang terjadi bukan saling
bertemu, tapi malah berkoar di berbagai media massa “persis”
politisi. Mengerikan memang.
Namun
yang menyentak perhatian saya ketika, hasil 4 lembaga survey hendak
diketemukan dengan 9 lembaga survey ternyata tidak dihadiri oleh 4
lembaga survey, publik kemudian “digiring” untuk melihat model
baru yang mengaburkan pekerjaan Quick count. Model Real count dan
“kampanye” untuk menunggu pengumuman resmi dari KPU tanggal 22
Juli.
Saya
kemudian terhenyak. Terlepas apakah kita menunggu hasil resmi dari
KPU, upaya mengeluarkan hasil penghitungan dari 4 lembaga survey
memaksa kita “mengabaikan hasil penghitungan dari 9 lembaga survey.
Itu adalah kejahatan intelektual yang serius sedang digalang oleh
politisi.
Tentu
saja kita boleh berdebat di tahap metologi dan tatacara penarikan
sampling ataupun berkaitan dengan quick count. Namun mengaburkan
ataupun adanya upaya yang serius mengabaikan hasil itu merupakan
sebuah persoalan yang justru kita ke titik nadir. Ada upaya
pembodohan dari hasil-hasil lembaga survey.
Saya
kemudian sadar. Menghadirkan 4 lembaga survey (yang belum bisa
dipertanggungjawabkan) berhadapan dengan 9 lembaga survey membuat
kita dipaksa “menerima keraguan”.
Namun
upaya itu harus kita lawan dengan kewajaran. Ya. Kewajaran dimulai
dengan cara berfikir yang bisa diterima dengan akal sehat.
Sebagai
hasil penghitungan cepat, maka rasionalitas tidak bisa dipisahkan
dengan pengetahuan matematika. Sebuah ilmu yang bisa menerangkan
lebih baik sehingga kita mempunyai bacaan yang sama.
Matematika
sebagai pondasi ilmu yang membedah hasil penghitungan merupakan salah
satu “pisau bedah” yang tepat.
Dengan
matematika kemudian kita bisa menelusuri mengapa ada perbedaan angka
yang signifikan antara kemenangan Jokowi atau Prabowo.
Hingga
kini, 4 lembaga survey tidak pernah mengeluarkan data-data yang
mengklaim kemenangan Prabowo. Dari titik ini saya kemudian menemukan
jawaban. Klir. Tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak pantas
disandingkan dengan 9 lembaga survey yang memenangkan Jokowi.
Cara
ini merupakan salah satu strategi yang sedang dimainkan dan berhasil
dilihat oleh Made Tony Supriatma, Dengan jernih dia menjelaskan
“Quick counts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel
dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan kemudian dikampanyekan lewat
TV yang dikuasai Bakrie dan Hari Tanoe -- para sekutu Prabowo”.
Dia menyebutkan “muddy the statistical waters' atau kacaukan
statistik.
Setelah
upaya ini berhasil maka dilakukan dengan cara kedua. 'Steal
the results." Curi hasil pilpres ini. Pengacauan hasil quick
counts ini tujuannya adalah untuk memunculkan kebingungan di kalangan
para pemilih. Ini juga akan memberikan mereka waktu untuk menggoreng
hasil pemilihan versi mereka.
"Persis
itulah yang hendak mereka lakukan pada saat ini. Mereka akan
mengumumkan real count versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan
hasil resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di
masyarakat.
Namun
dengan pisau analisis matematika, maka cara pertama “muddy the
statistical waters” dan cara kedua “steal the results bisa
mudah dibaca. Dan dengan matematika, angka-angka survey asal-asal
bisa dibantah dengan mudah.
Matematika
merupakan ibu kandung pengetahuan bisa menjelaskan dan kita bisa
fokus menatap Pilpres 2014.
Dan
Matematika sebagai pemenang pilpres 2014.