Sengaja rasa kesal ini saya
tumpahkan melihat sepak terjang dari Hari Tanoesoedbjo (HT), pebisnis pemilik
media yang mencoba peruntungan di dunia politik.
Kekesalan terhadap HT semata-mata
menjadikan cerminan bagaimana politik dilihat dari konsepsi ekonomi yang jauh
dari tujuan politik itu sendiri.
Mengikuti jejak Surya Paloh
(Metro TV) dan Aburizal Bakrie (TV One), HT menjelang pemilu 2014 turun ke
politik. HT mencoba peruntungan untuk mendapatkan akses dunia politik.
Publik sulit meraba keinginan
dari HT. Apakah tulus ke dunia politik atau semata-mata berkeinginan untuk “mengamankan”
bisnis dengan menjaga relasi di dunia politik.
Bersama-sama dengan Surya Paloh
(SP) dia mendirikan ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Berkeliling dan
berkampanye terus menerus untuk memastikan dukungan kepadanya.
Disaat Nasdem mendeklarasikan
sebagai Partai, HT kemudian “keluar” dan bergabung dengan Hanura. Di Partai
Hanura, disambut “karpet merah” dan HT langsung mengambil posisi penting. Dan
bersama dengan Wiranto “mendeklarasikan” sebagai Calon Presiden/ Wakil Presiden
atas nama Partai Hanura.
Suara Partai Hanura “kurang
menjanjikan” untuk mengusung sebagai Capres/Cawapres. Namun HT dianggap tidak
konsisten dan “bersabar” untuk bertarung di politik. HT kemudian menyeberang ke
Prabowo/Hatta dan menjadikan MNC sebagai kendaraan “kampanye” dan all out
mendukung Prabowo/Hatta. Padahal HT mengetahui baik Partai Nasdem dan Partai
Hanura mendukung Jokowi/JK.
Namun melihat perolehan suara
hasil quick count yang mengungguli Jokowi/JK, HT kemudian gigit jari. Tiga kali
gagal politik dan lompat pagar menyeberang membuat saya meragukan “motivasi” HT
berpolitik.
Padahal apabila HT “sedikit sabar”
baik di Partai Nasdem dan di Partai Hanura, motivasi HT bisa diterima oleh
pikiran saya. Namun “melompat kesana kemari” dan tanpa melihat kenyataan yang
tengah terjadi di masyarakat membuat HT merupakan salah satu orang yang paling
terpukul. Nasib HT dapat diibaratkan “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Dari “terlalu” sering lompat
melompat dari satu partai ke partai lain dan menyeberang ke kandidate lain
memberikan pelajaran pahit kepada HT.
Pertama. Dibutuhkan kesabaran dan
ketekunan berpolitik yang panjang. Memerlukan proses waktu dan keyakinan akan
sebuah cita-cita.
Kedua. Harus bersikap konsisten
dan “bersedia’ menerima resiko kekalahan.
Ketiga. Dibutuhkan informasi dan
bacaan politik yang matang sehingga setiap langkah bisa diukur.
Keempat. Tidak elok dilihat
apabila menjadi “bunglon” dari setiap kepentingan politik jangka pendek.
Sekali lagi Pemilu 2014
memberikan pelajaran pahit kepada siapapun yang tidak mempercayai sebuah
gagasan untuk melihat politik. Politik memerlukan kesantunan dan keteladanan
yang tulus. Anda tidak percaya. Akan terlindas oleh putaran sejarah itu
sendiri.