10 Juli 2014

opini musri nauli : Sang Pecundang Hari Tanoesoedbjo


Sengaja rasa kesal ini saya tumpahkan melihat sepak terjang dari Hari Tanoesoedbjo (HT), pebisnis pemilik media yang mencoba peruntungan di dunia politik.


Kekesalan terhadap HT semata-mata menjadikan cerminan bagaimana politik dilihat dari konsepsi ekonomi yang jauh dari tujuan politik itu sendiri.
Mengikuti jejak Surya Paloh (Metro TV) dan Aburizal Bakrie (TV One), HT menjelang pemilu 2014 turun ke politik. HT mencoba peruntungan untuk mendapatkan akses dunia politik.

Publik sulit meraba keinginan dari HT. Apakah tulus ke dunia politik atau semata-mata berkeinginan untuk “mengamankan” bisnis dengan menjaga relasi di dunia politik.

Bersama-sama dengan Surya Paloh (SP) dia mendirikan ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Berkeliling dan berkampanye terus menerus untuk memastikan dukungan kepadanya.

Disaat Nasdem mendeklarasikan sebagai Partai, HT kemudian “keluar” dan bergabung dengan Hanura. Di Partai Hanura, disambut “karpet merah” dan HT langsung mengambil posisi penting. Dan bersama dengan Wiranto “mendeklarasikan” sebagai Calon Presiden/ Wakil Presiden atas nama Partai Hanura.

Suara Partai Hanura “kurang menjanjikan” untuk mengusung sebagai Capres/Cawapres. Namun HT dianggap tidak konsisten dan “bersabar” untuk bertarung di politik. HT kemudian menyeberang ke Prabowo/Hatta dan menjadikan MNC sebagai kendaraan “kampanye” dan all out mendukung Prabowo/Hatta. Padahal HT mengetahui baik Partai Nasdem dan Partai Hanura mendukung Jokowi/JK.

Namun melihat perolehan suara hasil quick count yang mengungguli Jokowi/JK, HT kemudian gigit jari. Tiga kali gagal politik dan lompat pagar menyeberang membuat saya meragukan “motivasi” HT berpolitik.

Padahal apabila HT “sedikit sabar” baik di Partai Nasdem dan di Partai Hanura, motivasi HT bisa diterima oleh pikiran saya. Namun “melompat kesana kemari” dan tanpa melihat kenyataan yang tengah terjadi di masyarakat membuat HT merupakan salah satu orang yang paling terpukul. Nasib HT dapat diibaratkan “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.

Dari “terlalu” sering lompat melompat dari satu partai ke partai lain dan menyeberang ke kandidate lain memberikan pelajaran pahit kepada HT.

Pertama. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan berpolitik yang panjang. Memerlukan proses waktu dan keyakinan akan sebuah cita-cita.

Kedua. Harus bersikap konsisten dan “bersedia’ menerima resiko kekalahan.

Ketiga. Dibutuhkan informasi dan bacaan politik yang matang sehingga setiap langkah bisa diukur.

Keempat. Tidak elok dilihat apabila menjadi “bunglon” dari setiap kepentingan politik jangka pendek.

Sekali lagi Pemilu 2014 memberikan pelajaran pahit kepada siapapun yang tidak mempercayai sebuah gagasan untuk melihat politik. Politik memerlukan kesantunan dan keteladanan yang tulus. Anda tidak percaya. Akan terlindas oleh putaran sejarah itu sendiri.