Di
sebuah status di twitter, petinggi partai dan tim sukses salah satu
calon capres mengeluarkan kata-kata yang kemudian diakhiri dengan
kata-kata “sinting”.
Reaksipun
kemudian bermunculan. Sebagian mendukung komentar. Namun sebagian
lagi menolak dan menyebutkan kata-kata itu tidak pantas disemaikan di
dunia maya.
Entah
sulit berkelit atau memang “sekedar slip of tone”,
kata-kata “sinting” kemudian dijelaskan sebagai bentuk
“kritik”. Bentuk kritik terhadap pesan sebelumnya.
Semula
saya tidak menanggapi status yang telah dituliskan di media sosial.
Selain karena memang kata-kata itu “sekedar peletup” atau
kegelisahan dari semakin maraknya gegap gempita dari pilpres 2014,
saya pikir masalah itu tidak berlanjut.
Namun
mendengar penjelasan atau konfirmasi dan tetap tidak mau meminta maaf
dan justru meminta pengertian audience (termasuk saya)
memahami kata-kata “sinting” sebagai kritik dari kata-kata
sebelumnya, nurani saya terganggu. Jiwa kewarasan saya terlempar dan
kemudian memaksa saya untuk menerima penjelasan apakah kata-kata
“sinting” dapat diartikan sebagai “kritik”.
Ditambah
dengan sikapnya yang justru mengatakan “ucapan sinting itu
ditujukan pada ide dan itu biasa sebagai bahasa informal. "(Sama
seperti) gile lu.. Itu kan informasi akun saya pribadi. Itu biasa.
Informal. Jangan sensitif dengan itu. Kalau diperiksa jutaan kata
dalam twitter stres kita. Ambil mudahnya saja. Saya belum pernah
menghina orang
Sekarang
mari kita fokus apakah kata-kata “sinting” merupakan
padanan kata-kata sebelumnya sehingga dapat diartikan sebagai
“kritik' ?
"…
janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan
dijanjikan ke semua orang. Sinting!".
Kata-kata
“sinting”
merupakan “penegas”
dari status di twitter. Penegas penolakan terhadap ide Jokowi yang
akan “memberikan janji 1 Muharam sebagai hari santri.
Sebagai
ide yang disampaikan oleh Jokowi, status di twitter jelas tidak
setuju. Itu sah di alam demokrasi. Itu hak konstitusi. Perbedaan
antara satu ide dengan ide lain merupakan pengayaan ide di tengah
masyarakat.
Sehingga
kata-kata ".. janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia
terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang, masih
relevan sebagai bentuk kritis ketidaksetujuan dengna ide Jokowi.
Namun
menghubungkan antara kritis dengan kata-kata “sinting'
di akhir kalimat sama sekali tidak menemukan korelasinya. Apakah
bentuk kritis harus disampaikan dengan cara 'sinting”
?
Mengapa
kita sulit menerima penjelasan bentuk kritik dengan kata-kata
“sinting” ?
Ya.
Jawabannya sederhana. Karena kata-kata “sinting'
merupakan sebuah kata yang mudah diterima. Tidak memerlukan
penafsiran kalimat lain untuk mengartikannya.
Ya.
Sinting dapat dipadukan dengan kata-kata seperti sedeng, miring,
tidak beres pikirannya atau agak gila
Dengan
menggunakan kata “sinting'
maka yang membaca status twitter ataupun
yang membaca media berita ini dapat
mengasosiakan ide Jokowi sebagai “ide”
yang tidak beres, ide gila atau ide yang lahir dari
pemikiran yang tidak beres.
Dalam
konteks ini tentu saja berbeda dengan konteks ide yang keluar dari
pakem (out of the box).
Publik
tentu saja dengan mudah mengatakan “ide Jokowi”
adalah ide orang gila.
Dan sang pembuat status twitter tidak bisa menghakimi pikiran orang.
Begitu pula ketika “sang pembuat status twitter”
mengelak sebagai ujaran “kritik”
tidak bisa mengelak dengan alasan itu.
Namun
hukum pidana harus mampu menjangkau perbuatan yang dianggap dapat
mengganggu ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, kata-kata “sinting”
tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk “kata-kata
kritik”.
Dengan
demikian maka kata-kata "sinting" baik dilihat dari
maksud pembuat kata, penyampai kabar, makna harfiah, semantik maupun
makna gramatikal tidak bisa kemudian artinya "kritik".
Kata-kata
“sinting” dapat diartikan sebagai bentuk “menghina'.
Menghina karena idenya telah menetapkan 1 Muharam sebagai hari
Santri. Antara bentuk kritis dengan menggunakan kata “sinting'
sama sekali tidak tepat. Sebuah analogi yang jauh dari pembuktian
hukum pidana.
Kata-kata
yang disampaikan didepan publik merupakan eksepresi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. MK sudah sering menerima
permohonan pembatalan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan ekspresi “sikap kritis” dan “menghina”.
MK sudah sering menegaskan antara sikap “kritis” dengan menghina.
Beda jauh. Antara langit dan bumi.
Baca : Kata dan Makna