Menikmati sensasi mudik tidak
bisa dilepaskan dari makanan khas daerah tujuan mudik. Sensasi makanan khas
selain memang bumbu yang diracik sulit ditemui di daerah lain, cara memasaknya
juga suasana yang membikin kita selalu ingin mendatangi tempat itu (walaupun
entah berapa kali kita sudah mampir).
Sumatera Barat sebagai salah satu
tempat yang paling khas “menyiapkan menu makanan” memang berhasil “memancing
“goyang lidah”. Entah sate khas Padang Pariaman, lontong sayur, bubur
kampium, nasi rames ataupun rendang sebagai ciri khas dari Sumatera Barat.
Makanan itu memang berhasil
menarik selera. Makanan yang diracik memang selalu mengingatkan lidah kita yang
tidak akan kita temui di kota lain walaupun dengna memasak makanannya.
Saya mencoba mencari tahu mengapa
makanan yang dibuat di Sumatera Barat “memang mempunyai ciri khas” yang
sulit ditandingi di tempat lain (walaupun yang memasaknya orang asli dari
Sumbar itu sendiri).
Di Sumbar sendiri, makanan yang
praktis tidak pernah saya lewatkan adalah nasi rames. Racikan berbagai sambal
makanan yang membuat pikiran melayang.
Ya. Nasi campur yang diletakkan
dengan berbagai variasi lauk pauk yang terdiri dari kuah santan, cabe, rendang,
nasi putih. Tidak lupa diletakkan sayuran (bisa sayur nangka bersantan,
timun yang dikupas, ataupun pucuk ubi).
Rasa nasi rames di Sumbar memang
berbeda dirasakan ditempat lain. Sampai sekarang saya masih penasaran dan
mencoba melihat lebih teliti.
Pertama. Dilihat dari bumbunya.
Setahu saya, hampir bumbu yang diaduk tidak pernah yang sudah berupa bahan
jadi. Semuanya masih berupa bahan mentah. Juru masak sendiri yang meracik
bumbunya. Entah dengan alasan sehingga mereka senang sekali untuk membeli bahan
mentah. Di tempat merekalah, juru masak kemudian meracik baik dengan mengupas
bawang, mengolek cabe maupun berbagai racikan bumbu itu sendiri.
Kedua. Juru masak cukup tahu
untuk ukuran makanan tertentu. Misalnya untuk rendang, racikan antara daging
dengan santan kelapa sudah mempunyai takaran. Mereka tidak mau mengurangi
ramuan.
Namun yang unik. Santan kelapa
dari sumbar berbeda santan kelapa dari Jambi. Entah mengapa hingga kini misteri
itu belum berhasil ditemukan.
Diskusi dengna istriku hanya
menjawab simpel. Santan Kelapa Jambi airnya sedikit. Kurang kental. Bandingkan
dengan dari padang. Bisa diperas hingga 3-4 kali masih kental. Saya hanya
berdiam. Sambil menyaksikan istri saya selalu membeli kelapa dari padang. Tidak
tanggung-tanggung. Kadang-kadang hingga mencapai 50 butir.
Eh, ada yang terlupa. Aku pernah membawa kelapa dari daerah Bengkulu. Hampir penuh di belakang mobil. Ternyata santan kelapanya cocok.
Saya coba lihat tracking di peta.
Hmm.. Mungkin santan pesisir barat lebih baik dari pesisir timur sumatera. Ah.
Entahlah. Yang pasti, setiap pulang mudik dari Padang, di belakang mobilku
selalu diisi berbagai bahan mentah. Entah sayuran, entah kelapa, entah gula
merah. Entah gilingan cabe.
Ini anehnya mudik. Pulangnya
seakan-akan “mau jualan di Angso Dua” (pusat belanja tradisional di Jambi).
Jangan bayangkan pulang dari
mudik kita bisa bersantai. Apalagi mempersiapkan energi untuk masuk kantor.
Berbagai makanan yang mengandung
santan tentu saja membuat kepala sering cepat naik. Pusing. Ya. Itu bisa saja
gejala kolesterol sedang naik. Waduh.
Ya. Tentu saja daging yang
berlemak, santan menyumbang utama terjadinya kolesterol tinggi.
Dari berbagai sumber disebutkan,
memakan daging sapi berlemak dikategorikan sebagai kolesterol tingkat tinggi
yang kemudian diberi garis kuning. Garis kuning menunjukkan kolesterol tinggi
ini harus disikapi hati-hati.
Namun itu belum cukup. Santan
malah dikategorikan sebagai kolesterol tingkat tinggi yang malah diberi garis
merah. Garis merah menunjukkan makanan yang berbahaya untuk dimakan.
Dengan demikian, maka makanan
nasi rames yang terdiri dari daging sapi berlemak (rendang) dan santan itulah penyebab
utama naiknya gejala kolesterol. Bukan hanya kolesterol tinggi tapi kolesterol
yang berbahaya. Kolesterol tidak hanya berwarna kuning tapi malah berwarna merah.
Tapi mau gimana lagi.
Nasi rames di Sumbar tetap
berbeda rasanya dibandingkan di tempat lain.
Ya. Sudah. Mudik memang sudah
tidak bisa dipisahkan dari kolesterol.