03 Agustus 2014

opini musri nauli : Mudik dan Kolesterol


Menikmati sensasi mudik tidak bisa dilepaskan dari makanan khas daerah tujuan mudik. Sensasi makanan khas selain memang bumbu yang diracik sulit ditemui di daerah lain, cara memasaknya juga suasana yang membikin kita selalu ingin mendatangi tempat itu (walaupun entah berapa kali kita sudah mampir).

Sumatera Barat sebagai salah satu tempat yang paling khas “menyiapkan menu makanan” memang berhasil “memancing “goyang lidah”. Entah sate khas Padang Pariaman, lontong sayur, bubur kampium, nasi rames ataupun rendang sebagai ciri khas dari Sumatera Barat.

Makanan itu memang berhasil menarik selera. Makanan yang diracik memang selalu mengingatkan lidah kita yang tidak akan kita temui di kota lain walaupun dengna memasak makanannya.

Saya mencoba mencari tahu mengapa makanan yang dibuat di Sumatera Barat “memang mempunyai ciri khas” yang sulit ditandingi di tempat lain (walaupun yang memasaknya orang asli dari Sumbar itu sendiri).

Di Sumbar sendiri, makanan yang praktis tidak pernah saya lewatkan adalah nasi rames. Racikan berbagai sambal makanan yang membuat pikiran melayang.

Ya. Nasi campur yang diletakkan dengan berbagai variasi lauk pauk yang terdiri dari kuah santan, cabe, rendang, nasi putih. Tidak lupa diletakkan sayuran (bisa sayur nangka bersantan, timun yang dikupas, ataupun pucuk ubi).

Rasa nasi rames di Sumbar memang berbeda dirasakan ditempat lain. Sampai sekarang saya masih penasaran dan mencoba melihat lebih teliti.

Pertama. Dilihat dari bumbunya. Setahu saya, hampir bumbu yang diaduk tidak pernah yang sudah berupa bahan jadi. Semuanya masih berupa bahan mentah. Juru masak sendiri yang meracik bumbunya. Entah dengan alasan sehingga mereka senang sekali untuk membeli bahan mentah. Di tempat merekalah, juru masak kemudian meracik baik dengan mengupas bawang, mengolek cabe maupun berbagai racikan bumbu itu sendiri.

Kedua. Juru masak cukup tahu untuk ukuran makanan tertentu. Misalnya untuk rendang, racikan antara daging dengan santan kelapa sudah mempunyai takaran. Mereka tidak mau mengurangi ramuan.
Namun yang unik. Santan kelapa dari sumbar berbeda santan kelapa dari Jambi. Entah mengapa hingga kini misteri itu belum berhasil ditemukan.

Diskusi dengna istriku hanya menjawab simpel. Santan Kelapa Jambi airnya sedikit. Kurang kental. Bandingkan dengan dari padang. Bisa diperas hingga 3-4 kali masih kental. Saya hanya berdiam. Sambil menyaksikan istri saya selalu membeli kelapa dari padang. Tidak tanggung-tanggung. Kadang-kadang hingga mencapai 50 butir.

Eh, ada yang terlupa. Aku pernah membawa kelapa dari daerah Bengkulu. Hampir penuh di belakang mobil. Ternyata santan kelapanya cocok.

Saya coba lihat tracking di peta. Hmm.. Mungkin santan pesisir barat lebih baik dari pesisir timur sumatera. Ah. Entahlah. Yang pasti, setiap pulang mudik dari Padang, di belakang mobilku selalu diisi berbagai bahan mentah. Entah sayuran, entah kelapa, entah gula merah. Entah gilingan cabe.

Ini anehnya mudik. Pulangnya seakan-akan “mau jualan di Angso Dua” (pusat belanja tradisional di Jambi).

Jangan bayangkan pulang dari mudik kita bisa bersantai. Apalagi mempersiapkan energi untuk masuk kantor.

Berbagai makanan yang mengandung santan tentu saja membuat kepala sering cepat naik. Pusing. Ya. Itu bisa saja gejala kolesterol sedang naik. Waduh.

Ya. Tentu saja daging yang berlemak, santan menyumbang utama terjadinya kolesterol tinggi.

Dari berbagai sumber disebutkan, memakan daging sapi berlemak dikategorikan sebagai kolesterol tingkat tinggi yang kemudian diberi garis kuning. Garis kuning menunjukkan kolesterol tinggi ini harus disikapi hati-hati.

Namun itu belum cukup. Santan malah dikategorikan sebagai kolesterol tingkat tinggi yang malah diberi garis merah. Garis merah menunjukkan makanan yang berbahaya untuk dimakan.

Dengan demikian, maka makanan nasi rames yang terdiri dari daging sapi berlemak  (rendang) dan santan itulah penyebab utama naiknya gejala kolesterol. Bukan hanya kolesterol tinggi tapi kolesterol yang berbahaya. Kolesterol tidak hanya berwarna kuning tapi malah berwarna merah.

Tapi mau gimana lagi.

Nasi rames di Sumbar tetap berbeda rasanya dibandingkan di tempat lain.


Ya. Sudah. Mudik memang sudah tidak bisa dipisahkan dari kolesterol.