PENGARUH HINDU DALAM SELOKO MELAYU DI HULU BATANGHARI
Musri Nauli[1]
Sebelum lahirnya UU No. 5 tahun
1979 Tentang Pemerintahan Desa, di daerah hulu[2]
Sungai Batanghari[3],
masyarakat mengenal Dusun sebagai pemerintahan terendah (village government).
Dusun terdiri dari beberapa kampung. Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati.
Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo.
Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan
gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu
atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)[4]
Sedangkan Margo[5]
mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin.
Mengepalai Margo biasa dikenal dengan nama Pesirah[6].
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun
1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village
government). Sedangkan kampung menjadi dusun.
Masyarakat Melayu Jambi termasuk kedalam
termasuk rumpun kesukuan Melayu[7].
Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness
sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)[8]. Masyarakat Melayu pada
dasarnya dapat dilihat (a) Melayu pra-tradisional, (b) Melayu tradisional, (c)
Melayu modern[9]. Dilihat
dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam
Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai
dengan aktivitas di Kampung.[10] Kampung merupakan pusat ingatan (center of
memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita
perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).
Pentingnya setiap dusun adanya
Depati dikenal dikenal dengan istilah adat “Kampung betuo, alam berajo,
negeri bebathin”. Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup bersuku,
Mati Baindu, Suku Tengganai. Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam
sekato rajo, negeri Sekato Batin[11].
Sedangkan Eugen Ehrlich
merumuskan sebagai das lebende Recht (living law) yang bersifat :
1. Pemerintah dalam persekutuan hukum
(rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar[12]
2. Dalam Margo Sumay pembesar kemudian
dirumuskan dengan istilah Rajo Negeri (Pesirah). “Kampung betuo, Dusun
Bepati, Negeri Berajo[13]. Atau “Kampung betuo, alam berajo,
negeri bebathin[14]
3. Posisi tuo kampung, kepala Dusun,
ninik mamak[15]
4. Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai
dan pegawai syara' begitu dominan. Tideman memberikan istilah “hubungan
keluarga masih kuat.
5. Hubungan antara rakyat bathin dengan
rakyat penghulu seperti hubungan antara seorang induk dengan anaknya,
dikukuhkan dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu bersama-sama menikmati
hidangan[16]
Walaupun keberadaan masyarakat di
daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya
kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun belum
menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut[17].
Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa
mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan
banyak tentang masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan
masyarakat diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama
Budha, Hindu dan Islam[18]
Namun yang menarik, kesemua
Desa-desa mengaku merupakan keturunan dari Pagaruyung atau Minangkabau. Penulis
kesulitan menghubungkan antara keturunan dengan Pagarayung atau Minangkabau.
Elisbeth Locher- Scholten mengidenfikasikan[19],
dengan istilah “Jambi Hulu”, berasal dari Minangkabau tidak tepat.
Menurut Barbara Watson Andaya, hanya penduduk daerah yang dikenal sebagai Koto
VII dan Kota IX yang dikatakan berlatar belakang Minangkabau[20]
Orang Minangkabau berpindah ke
selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk
kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran
menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.
Selain itu juga, sistem
kekerabatan yang berasal dari Minangkabau dengan sistem matrilinial tidak dapat
ditemukan didalam sistem kekerabatan maupun sistem pewarisan. Istilah “ninik
mamak”, lebih tepat sebagai rumpun struktur masyarakat didalam persoalan
perselisihan hukum adat. Sedangkan terhadap harta baik harta keluarga maupun
kewarisan, tidak menggunakan sistem matrilinial. Pembagian harta warisan masih
menggunakan kewarisan hukum islam. Dua laki-laki, satu perempuan. Konsep ini
lebih tepat menggunakan kewarisan hukum islam. Atau dalam istilah di Jawa,
“sepikul segendongan”. Dengan menggunakan sistem kewarisan, maka lebih tepat
sistem kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Jawa. Sistem “mencar”.
Tambo[21]
Didalam teori dikenal dua faktor pertumbuhan
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Pertama adalah teori genealogis dan
faktor teritorial[22].
Apabila kita menggunakan pendekatan faktor
pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap), maka didalam konsep tatacara
membuka hutan, maka masyarakat adat Melayu Jambi lebih tepat dikategorikan
pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor teritorial.
Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang
belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang
lain dipatenggangkan[23],
melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka
dengan pendatang[24],
Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa”[25]
Sebagai wilayah persekutuan
masyarakat adat, masyarakat mengenal wilayah margo.
Masyarakat adat pada umumnya
mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka. Batas tanahnya di mana,
darimana diperoleh dan bagaimana caranya, umumnya masih dapat diceriterakan
kembali oleh sebagian tokoh adat atau orang-orang tua yang masih hidup. Mereka
bahkan dapat menunjukkan tanda dan bukti kepemilikan yang diwariskan secara
turun temurun. Bukti kepemilikan tersebut juga sebagiannya diperkuat dengan
tradisi lisan yang masih hidup di sebagian besar daerah. Tradisi lisan ini
umumnya menyajikan kisah awal munculnya nenek moyang, hubungan dengan kelompok
masyarakat lain di sekitarnya dalam kaitan dengan pemilikan tanah dan
sumberdaya dalam wilayah tertentu[26]
Dalam dokumen resmi Pemerintah
Belanda melalui Peta SCHETSKAART Residentie Djambi – Adatgemeenschappen
(Marga’s) skala 1 : 750.000 telah diakui pembagian marga
Makna simbolik
Masyarakat hulu Sungai Batanghari
mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”[27].
Masyarakat mengenal daerah-daerah Daerah yang tidak boleh dibuka Hulu
Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus
Di Margo Sungai Tenang mereka
mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang
putih. Tempat ungko berebut tangis.
Sedangkan di Margo Sumay mereka
mengenal dengan istilah hutan
keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun.
Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi).
Di Desa Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang
pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa Suo-suo,
adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan,
Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo
Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.
Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau
hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo
atau ““Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan
makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.
Ter Haar sendiri menyebutkan
adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan
atau rimbo larangan”[28]. Tideman
melaporkan sebagai “rimbo gano[29]”.
Pengaruh Hindu
Walaupun seloko yang sering dipegang oleh
masyarakat hulu Batanghari “Adat bersendi syara'. Syara bersendi Kitabullah”
sebagai ajaran penting dari pengaruh Islam, namun kata-kata seperti Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis” mempunyai pengaruh yang
kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[30].
Dalam tradisi intelektual India, Upanishad[31]
dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi
kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk
dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak
semata-mata milik kelompok elite tertentu.
Pertanyaan tentang konsepsi Tuhan sebagai
penyebab alama semesta “darimana makhluk itu lahir, melalui siapa mereka hidup
dan kepada siapa mereka kembali” ? Menyebabkan pertanyaan tentang konsepsi alam
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Alam semesta tidak dianggap ada dari
ketiadaan atau non eksistensi (creatio exnihilo). Alam harus dipandang sebagai
sebuah proporsi prime facie yang suatu saaat digugurkan oleh kebenaran. Alam
semesta lahir dari Tuhan.
2. Alam Semesta kembali kepada tujuan
akhir, yakni Tuhan. Sumber darimana mereka muncul pada awalnya.
Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan
kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.
Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau
betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo
sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko
berebut tangis hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada
Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[32]. Sedangkan
Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia
secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek
eksatologis/ukhrawi)
Namun walaupun adanya tempat yang tidak boleh
dibuka, namun Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta
tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam huta
Sanksi
Terhadap pelanggaran yang telah
ditentukan oleh hukum adat (pantang larang), masyarakat biasa mengenal
dengan istilah sanksi.
Di Margo Batin Pengambang dikenal
dengan Tegur Sapo[33],
Tegur Ajar[34] dan
Guling Batang[35]. Sedangkan
di Margo Sumay memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan
istilah “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok,
beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan
ditambah denda Rp 30 juta. Muara Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes,
beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa
Suo-suo memberikan sanksi adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak
semanis”.
Di Margo Sungai Tenang dijatuhi
sanksi kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor
Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Selain itu ditambah
Tinggi Tidak dikadah, rendah tidak dikutung atau Bebapak Kijang.
Berinduk Kuaw[36].
Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak
perlu diurus didalam pemerintahan desa.
Hukum adat bersifat holistik
karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat, bidang hukum pidana,
perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum Eropa bersifat
parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
Harus diakui, setiap masyarakat
adat mempunyai sejarah yang panjang, realitas sosial, ekonomi dan politik yang
berbeda[37]
Hukum tidak lahir dari logika
tetapi dari pengalaman-pengalaman manusia, the law is not been logic, but
experience.
Dengan kekuatan hukum adat,
masyarakat menjadi teratur, tertib. Walaupun mengalami pergeseran perkembangan
zaman tetapi masih berkeinginan untuk menjaga dan melestarikan hukum adat.
Sehingga benar yang disampaikan oleh Van Vollenhoven “hukum adat bertumbuh
diam-diam bagaikan padi (het adatrehct groeit stil als de padie). Ada
kekuatan bersama-sama dan kesadaran kolektif (conscience collective) di
masyarakat bahwa apa yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain. Masyarakat
terikat dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas dalam persekutuan hukum
(rechtsgemeenshap). Dan perkembangan hukum adat berkembang terus (het
adatrechti groeit stil als de pedie)
Hubungan Masyarakat dengna hukum
adat diibaratkan seperti darah dan tanah (blut und boden)[38].
Falsafah adat merupakan ilmu yang
tidak bisa diterima begitu saja, karena harus dipelajari memahaminya sehingga
dapat bermanfaat dalam kehidupan.
Dalam pepatah dan petitih adat
yang tertuang kata tidak hanya cukup diartikan yang tersurat, tetapi harus
dicari juga yang tersirat dalam setiap kata pepatah tersebut.
Untuk mengetahui dan menyelidiki
falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menyelidiki adat dan pantun
Indonesia[39]
Kehidupan desa-desa kita
diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof, melalui adat,
pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke angkatan[40]
Masyarakat memiliki sejarah cara
berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai
warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri [41]
Bagi masyarakat, Filosofi “tumbuh
diatas tumbuh, kampung betuo, alam berajo, negeri bebatin, Tanjung Paku
batang belimbing, tempurung dipatenggangkan, anak dipangku, kemenakan
dibimbing, orang lain dipatenggangkan, Teluk sakti, Rantau betuah, gunung
badewo atau Tempat siamang beruang putih, tempat ungko berebut tangis” sialang
pendulangan, lupak pendanauan, tunggul pemarasan, kepala sauk, tegur sapo-tegur
ajar-guling batang, bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus
dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.
Kawasan hutan ini penting untuk
dipertahankan, karena berada di wilayah
hulu Jambi dan merupakan kawasan ekologi penting. Selain menjadi sumber air
bagi DAS utama Batanghari, juga merupakan wilayah penghidupan masyarakat
setempat. Secara keseluruhan hutan ini merupakan kawasan penyangga (buffer
zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh
(TNBT). Kawasan yang tersisa di Jambi.
Kemampuan menjaga hutan oleh masyarakat
di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding terbalik dengan kawasan hutan
dikelola perusahaan atau negara.
Ketidakmampuan negara dan masih
berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan iklim, emisi karbon
pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri telah melakukan
upaya penyelamatan hutan.
Filosofi dan Nilai‐nilai adat
(local wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai
prinsip utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah
peraturan desa. Dengan cara demikian dan
kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan lestari dapat
berlangsung secara berkesinambungan.
Pelajaran dari filosofi
masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber daya alam menjadi
pelajaran berharga.
Begitu pentingnya keberadaan masyarakat didalam
menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kajian yang menarik baik dilihat
dari hukum adat, antropologi, geologi dan ilmu botani. Sudah saatnya, kajian
lebih komprehensif dilakukan agar pelajaran dari alam tidak tergerus putaran
zaman.
Dimuat di Jurnal Filsafat Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 14 Agustus 2015
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/JFH
[1]
Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
[1] Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu,
yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara
Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[1] Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan
DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment
area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi
Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga
berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan
di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin
Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo
Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai
besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan
Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai
Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin
Pengambang (Sungai Batang Asai)
[1] F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi,
Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938
[1] Istilah Marga telah dikemukakan oleh
J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam
disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga,
yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu
dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian
hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Tesis yang
ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan rincian dari sebuah daerah tertentu
yang memperluas jalinan pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang
digunakannya berbeda dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan
beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas
Indonesia yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola
pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan terus
berkembang, bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna atau secuplik dari
sebuah pola utama atau asli. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie
S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[1] Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah
(margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra
(Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang
tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah
adalah salah satu elite tradisional yang
bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta
dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan,
pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik
yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan
jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu
oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui
Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862.
[1] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[1] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[1] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 34
[1] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 40
[1] Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng
nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja".
Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal.
39
[1] Penghormatan
terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri
sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die
Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang
melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan
Batin dari Desa”.
[1] Ahmad
Intan, Pertemuan di Desa Semambu, Tanggal 18 Maret 2013
[1] Hamzah
Raden dan M. Sidiq, Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[1] Saudara
pria tertua dari Ibu. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[1] F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[1] Catatan perjalanan seperti Willian Marsden
ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth hanya menceritakan sekilas. Sebelum
kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu
Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat
kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[1] sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai
masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[1] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 42
[1] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100
sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara
Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme
Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 43
[1] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay
yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo
merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah
berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat
baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan
berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah,
dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi
dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh
Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH,
Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru
semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga
terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang
dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang
Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika
Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A.
Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor
233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH
dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1,
Tahun VIII, Januari 1978.
[1] Nico
Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2012, Hal. 17.
[1] Pertemuan
di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[1] Ahmad
Intan, wawancara tanggal 18 Maret 2013, Dusun Semambu, Desa Semambu, Kecamatan
Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi
[1] Ter
Haar dalam bukunya “Beginselen van ret adatrecht” sebagaimana dikutip
oleh Nico Ngani, Perkembangan hukum adat, op.cit. Hal, 16
[1] Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan
Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam
Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang
Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah:
“Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika,
Jakarta.
[1] Margo Batin Pengambang
[1] Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[1] F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[1] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan
Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[1] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika
filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa
milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand,
Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama
manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang
pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia.
Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic
Philosophy.
[1] H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan –
Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya,
Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[1] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[1] Tegur Sapo seperti Menumbang pohon yang
dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.
[1] Tegur Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun
orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin
kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak
keamanan.
[1] Guling Batu seperti Membuka tempat yang
dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak,
membuka hutan tanpa rapat kenduri
[1] Ujaran ini mirip dengan seloko di Minangkabau
“Keatas tidak berpucuk
Kebawah tidak berurat Ditengah tengah dilobangi
kumbang” sama artinya dengan pepatah sumpah di Minangkabau yang jelas pada
waktu mulai dilontarkan oleh nenek moyang orang Minangkabau belum sanggup
menyatakan sumpah agar dilaknati oleh Tuhan dan di azab.
Karena itu menurut
Nasroen dalam bukunya Minangkabau dan Negeri Sembilan mengenai dasar falsafah
Minangkabau, ada 3 rahmat yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang Minangkabau
yaitu Pikiran, Rasa dan Keyakinan. Faktor 1 dan 2 ada dalam diri manusia
sendiri dan faktor 3 ada dalam agama yang diyakini.
Istilah Seloka/seloko secara filologis
diambil dari bahas Jawa Kuno berasal dari zaman Kerajaan Keprabuan
Majapahit pada masa keemasannya dibawah
Kekuasaan Prabu Hayam Wuruk (1350 – 1464). Seloka/seloko pada hakekatnya
merupakan suatu frase. Lihat H. Kaelani,
MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis
dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, hal. 325
136.
[1] Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke
Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana
didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 313
136.
[1] David Henley dan Jamie Davidson,
Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam
Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2010, Hal. 37
[1] M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
[1] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1)
1973.
[1] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003
SUMBER BACAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan
PERATURAN DESA TANJUNG MUDO
Nomor. 07 Tahun 2011 Tentang PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
PERATURAN DESA TANJUNG ALAM Nomor. 03 Tahun 2011
Tentang PIAGAM DEPATI DUO MENGGALO
PERATURAN DESA GEDANG Nomor. 4 Tahun 2011 TENTANG KEPUTUSAN ADAT ISTIADAT
DEPATI SUKO MERAJO
PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG
Nomor. 09 Tahun 2011 TENTANG KEPUTUSAN
DEPATI SUKO MENGGALO
BUKU
ADAT DALAM POLITIK INDONESIA,
(editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010
Ach. Dhofir Zuhri, Filsafat Timur
– Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, 2013, Surabaya.
Domikus Rato,
Hermeneutika Hukum Ada
Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008
Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational
Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat
Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah
dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali
Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi,
Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
Hedar Laudjeng, Mempertimbangkan Peradilan
Adat, HuMa Seri Pengembangan Wacana 2003
Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003
M
Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
Myrna Savitri, Negara dan pluralisme hukum
- Kebijakan pluralisme hukum di
Indonesia pada masa kolonial dan masa kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN
PLURALISME HUKUM DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI ASIA TENGGARA, Penerbit
Epistema Institute, Jakarta
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia,
Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012
Madjloes, Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa
Selaku Hakim Perdamaian Desa, CV Pantjuran Tudjuh Jakarta 1979.
Muchtar Agus Cholif , ‘TIMBUL TENGGELAM –
Persatuan Wilayah LUAK XVI, Tukap Khunut Di Bumi Undang Teliti”, edisi khusus
P. DE ROO DE LA FAILLE, Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, Martinus
Nijhoff, 1928
Riset Walhi, 2011
Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat
Adat - Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana didalam buku
“Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2010
Satjipto Raharjo, Hukum Adat dakam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Persfektif Sosiologi Hukum) dalam, Inventarisasi
Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama, Komisi
Nasional Hak Asasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Departemen Dalam Negeri
Desember 2005 hlm 45.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1)
1973
Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia
Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor
Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009
Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di
Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[1]
Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
[2] Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu,
yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara
Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[3] Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari
merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment
area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi
Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga
berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan di
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin
Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo
Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai
besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan
Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai
Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin
Pengambang (Sungai Batang Asai)
[4] F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi,
Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938
[5] Istilah Marga telah dikemukakan oleh
J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam
disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga,
yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu
dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian
hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Tesis yang
ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan rincian dari sebuah daerah tertentu
yang memperluas jalinan pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang
digunakannya berbeda dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan
beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas
Indonesia yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola
pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan terus berkembang,
bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna atau secuplik dari sebuah pola
utama atau asli. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson
dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[6] Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah
(margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra
(Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan
seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa.
Pasirah adalah salah satu elite
tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara
ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai
kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik
yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan
jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu
oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui
Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862.
[7] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[8] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[9] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 34
[10] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 40
[11] Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng
nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja".
Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal.
39
[12] Penghormatan
terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri
sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die
Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang
melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan
Batin dari Desa”.
[13] Ahmad
Intan, Pertemuan di Desa Semambu, Tanggal 18 Maret 2013
[14] Hamzah
Raden dan M. Sidiq, Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[15] Saudara
pria tertua dari Ibu. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[16] F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[17] Catatan perjalanan seperti Willian Marsden
ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth hanya menceritakan sekilas. Sebelum
kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu
Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat
kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[18] sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai
masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[19] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 42
[20] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100
sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara
Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda,
KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 43
[21] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay
yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo
merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah
berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat
baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan
berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah,
dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi
dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh
Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH,
Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam
ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi
pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang
dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang
Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika
Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A.
Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor
233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH
dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1,
Tahun VIII, Januari 1978.
[22] Nico
Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2012, Hal. 17.
[23] Pertemuan
di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[24] Ahmad
Intan, wawancara tanggal 18 Maret 2013, Dusun Semambu, Desa Semambu, Kecamatan
Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi
[25] Ter
Haar dalam bukunya “Beginselen van ret adatrecht” sebagaimana dikutip
oleh Nico Ngani, Perkembangan hukum adat, op.cit. Hal, 16
[26] Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational
Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat
Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah
dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali
Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
[27] Margo Batin Pengambang
[28] Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[29] F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[30] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju
Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[31] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika
filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa milenium.
Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand, Tiongkok,
Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama manusia
sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang pandangan
tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia. Paparan ini
telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic Philosophy.
[32] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[33] Tegur Sapo seperti Menumbang pohon yang
dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.
[34] Tegur Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun
orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin
kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak
keamanan.
[35] Guling Batu seperti Membuka tempat yang
dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak,
membuka hutan tanpa rapat kenduri
[36] Ujaran ini mirip dengan seloko di Minangkabau “Keatas
tidak berpucuk
Kebawah tidak berurat Ditengah tengah dilobangi kumbang” sama
artinya dengan pepatah sumpah di Minangkabau yang jelas pada waktu mulai
dilontarkan oleh nenek moyang orang Minangkabau belum sanggup menyatakan sumpah
agar dilaknati oleh Tuhan dan di azab.
Karena itu menurut Nasroen dalam bukunya
Minangkabau dan Negeri Sembilan mengenai dasar falsafah Minangkabau, ada 3
rahmat yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang Minangkabau yaitu Pikiran, Rasa
dan Keyakinan. Faktor 1 dan 2 ada dalam diri manusia sendiri dan faktor 3 ada
dalam agama yang diyakini.
136.
[37] Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke
Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana
didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 313
136.
[38] David Henley dan Jamie Davidson, Konservatisme
Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia,
Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 37
[39] M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
[40] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1)
1973.
[41] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003