04 Agustus 2014

opini musri nauli : Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu batanghari




PENGARUH HINDU DALAM SELOKO MELAYU DI HULU BATANGHARI
Musri Nauli[1]


Sebelum lahirnya UU No. 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, di daerah hulu[2] Sungai Batanghari[3], masyarakat mengenal Dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung. Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)[4]

Sedangkan Margo[5] mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo biasa dikenal dengan nama Pesirah[6].


Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village government). Sedangkan kampung menjadi dusun.

Masyarakat Melayu Jambi termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu[7].  Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)[8]. Masyarakat Melayu pada dasarnya dapat dilihat (a) Melayu pra-tradisional, (b) Melayu tradisional, (c) Melayu modern[9]. Dilihat dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai dengan aktivitas di Kampung.[10]  Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).

Pentingnya setiap dusun adanya Depati dikenal dikenal dengan istilah adat “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”. Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin[11].

Sedangkan Eugen Ehrlich merumuskan sebagai das lebende Recht (living law) yang bersifat :
1.   Pemerintah dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar[12]
2.   Dalam Margo Sumay pembesar kemudian dirumuskan dengan istilah Rajo Negeri (Pesirah). “Kampung betuo, Dusun Bepati, Negeri Berajo[13]. Atau “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin[14]
3.   Posisi tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak[15]
4.   Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara' begitu dominan.  Tideman memberikan istilah “hubungan keluarga masih kuat.
5.   Hubungan antara rakyat bathin dengan rakyat penghulu seperti hubungan antara seorang induk dengan anaknya, dikukuhkan dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu bersama-sama menikmati hidangan[16]

Walaupun keberadaan masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut[17]. Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan banyak tentang masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha, Hindu dan Islam[18]

Namun yang menarik, kesemua Desa-desa mengaku merupakan keturunan dari Pagaruyung atau Minangkabau. Penulis kesulitan menghubungkan antara keturunan dengan Pagarayung atau Minangkabau. Elisbeth Locher- Scholten mengidenfikasikan[19], dengan istilah “Jambi Hulu”, berasal dari Minangkabau tidak tepat. Menurut Barbara Watson Andaya, hanya penduduk daerah yang dikenal sebagai Koto VII dan Kota IX yang dikatakan berlatar belakang Minangkabau[20]

Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.

Selain itu juga, sistem kekerabatan yang berasal dari Minangkabau dengan sistem matrilinial tidak dapat ditemukan didalam sistem kekerabatan maupun sistem pewarisan. Istilah “ninik mamak”, lebih tepat sebagai rumpun struktur masyarakat didalam persoalan perselisihan hukum adat. Sedangkan terhadap harta baik harta keluarga maupun kewarisan, tidak menggunakan sistem matrilinial. Pembagian harta warisan masih menggunakan kewarisan hukum islam. Dua laki-laki, satu perempuan. Konsep ini lebih tepat menggunakan kewarisan hukum islam. Atau dalam istilah di Jawa, “sepikul segendongan”. Dengan menggunakan sistem kewarisan, maka lebih tepat sistem kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Jawa. Sistem “mencar”.

Tambo[21]

Didalam teori dikenal dua faktor pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Pertama adalah teori genealogis dan faktor teritorial[22].

Apabila kita menggunakan pendekatan faktor pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap), maka didalam konsep tatacara membuka hutan, maka masyarakat adat Melayu Jambi lebih tepat dikategorikan pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor teritorial.

Ujaran sepertinya  Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan[23], melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka dengan pendatang[24], Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa[25]

Sebagai wilayah persekutuan masyarakat adat, masyarakat mengenal wilayah margo.

Masyarakat adat pada umumnya mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka. Batas tanahnya di mana, darimana diperoleh dan bagaimana caranya, umumnya masih dapat diceriterakan kembali oleh sebagian tokoh adat atau orang-orang tua yang masih hidup. Mereka bahkan dapat menunjukkan tanda dan bukti kepemilikan yang diwariskan secara turun temurun. Bukti kepemilikan tersebut juga sebagiannya diperkuat dengan tradisi lisan yang masih hidup di sebagian besar daerah. Tradisi lisan ini umumnya menyajikan kisah awal munculnya nenek moyang, hubungan dengan kelompok masyarakat lain di sekitarnya dalam kaitan dengan pemilikan tanah dan sumberdaya dalam wilayah tertentu[26]

Dalam dokumen resmi Pemerintah Belanda melalui Peta SCHETSKAART Residentie Djambi – Adatgemeenschappen (Marga’s) skala 1 : 750.000 telah diakui pembagian marga

Makna simbolik

Masyarakat hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo[27]. Masyarakat mengenal daerah-daerah Daerah yang tidak boleh dibuka Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus

Di Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis.

Sedangkan di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di Desa Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.

Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti  Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau ““Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.

Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan[28]. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[29].

Pengaruh Hindu

Walaupun seloko yang sering dipegang oleh masyarakat hulu Batanghari “Adat bersendi syara'. Syara bersendi Kitabullah” sebagai ajaran penting dari pengaruh Islam, namun kata-kata seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis” mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[30].

Dalam tradisi intelektual India, Upanishad[31] dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak semata-mata milik kelompok elite tertentu.

Pertanyaan tentang konsepsi Tuhan sebagai penyebab alama semesta “darimana makhluk itu lahir, melalui siapa mereka hidup dan kepada siapa mereka kembali” ? Menyebabkan pertanyaan tentang konsepsi alam dapat dilihat sebagai berikut :
1.     Alam semesta tidak dianggap ada dari ketiadaan atau non eksistensi (creatio exnihilo). Alam harus dipandang sebagai sebuah proporsi prime facie yang suatu saaat digugurkan oleh kebenaran. Alam semesta lahir dari Tuhan.
2.     Alam Semesta kembali kepada tujuan akhir, yakni Tuhan. Sumber darimana mereka muncul pada awalnya.

Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.

Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme[32]. Sedangkan Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek eksatologis/ukhrawi)

Namun walaupun adanya tempat yang tidak boleh dibuka, namun Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam huta

Sanksi

Terhadap pelanggaran yang telah ditentukan oleh hukum adat (pantang larang), masyarakat biasa mengenal dengan istilah sanksi.

Di Margo Batin Pengambang dikenal dengan Tegur Sapo[33], Tegur Ajar[34] dan Guling Batang[35]. Sedangkan di Margo Sumay memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan istilah “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta. Muara Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo memberikan sanksi adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis”.

Di Margo Sungai Tenang dijatuhi sanksi kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Selain itu ditambah Tinggi Tidak dikadah, rendah tidak dikutung atau Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw[36]. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa.

Hukum adat bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat, bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.

Harus diakui, setiap masyarakat adat mempunyai sejarah yang panjang, realitas sosial, ekonomi dan politik yang berbeda[37]

Hukum tidak lahir dari logika tetapi dari pengalaman-pengalaman manusia, the law is not been logic, but experience.

Dengan kekuatan hukum adat, masyarakat menjadi teratur, tertib. Walaupun mengalami pergeseran perkembangan zaman tetapi masih berkeinginan untuk menjaga dan melestarikan hukum adat. Sehingga benar yang disampaikan oleh Van Vollenhoven “hukum adat bertumbuh diam-diam bagaikan padi (het adatrehct groeit stil als de padie). Ada kekuatan bersama-sama dan kesadaran kolektif (conscience collective) di masyarakat bahwa apa yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain. Masyarakat terikat dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dan perkembangan hukum adat berkembang terus (het adatrechti groeit stil als de pedie)

Hubungan Masyarakat dengna hukum adat diibaratkan seperti darah dan tanah (blut und boden)[38].

Falsafah adat merupakan ilmu yang tidak bisa diterima begitu saja, karena harus dipelajari memahaminya sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan.

Dalam pepatah dan petitih adat yang tertuang kata tidak hanya cukup diartikan yang tersurat, tetapi harus dicari juga yang tersirat dalam setiap kata pepatah tersebut.

Untuk mengetahui dan menyelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menyelidiki adat dan pantun Indonesia[39]

Kehidupan desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof, melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke angkatan[40]

Masyarakat memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri [41]

Bagi masyarakat, Filosofi “tumbuh diatas tumbuh, kampung betuo, alam berajo, negeri bebatin, Tanjung Paku batang belimbing, tempurung dipatenggangkan, anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan, Teluk sakti, Rantau betuah, gunung badewo atau Tempat siamang beruang putih, tempat ungko berebut tangis” sialang pendulangan, lupak pendanauan, tunggul pemarasan, kepala sauk, tegur sapo-tegur ajar-guling batang, bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.

Kawasan hutan ini penting untuk dipertahankan,  karena berada di wilayah hulu Jambi dan merupakan kawasan ekologi penting. Selain menjadi sumber air bagi DAS utama Batanghari, juga merupakan wilayah penghidupan masyarakat setempat. Secara keseluruhan hutan ini merupakan kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan yang tersisa di Jambi.

Kemampuan menjaga hutan oleh masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding terbalik dengan kawasan hutan dikelola perusahaan atau negara.

Ketidakmampuan negara dan masih berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan iklim, emisi karbon pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri telah melakukan upaya penyelamatan hutan.

Filosofi dan Nilai‐nilai adat (local wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai prinsip utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah peraturan desa. Dengan  cara demikian dan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan lestari dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Pelajaran dari filosofi masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber daya alam menjadi pelajaran berharga.

Begitu pentingnya keberadaan masyarakat didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kajian yang menarik baik dilihat dari hukum adat, antropologi, geologi dan ilmu botani. Sudah saatnya, kajian lebih komprehensif dilakukan agar pelajaran dari alam tidak tergerus putaran zaman.


Dimuat di Jurnal Filsafat Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 14 Agustus 2015
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/JFH

[1]
                 Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
[1]   Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[1]   Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin Pengambang (Sungai Batang Asai)
[1]   F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938
[1]   Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Tesis yang ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan rincian dari sebuah daerah tertentu yang memperluas jalinan pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang digunakannya berbeda dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan terus berkembang, bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna atau secuplik dari sebuah pola utama atau asli. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[1]   Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa  Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu  elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi  dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember  1862.
[1]   Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[1]   Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[1]   Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 34
[1]   Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 40
[1]   Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja". Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal. 39
[1]   Penghormatan terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai   “Kekuatan Batin dari Desa”.
[1]   Ahmad Intan, Pertemuan di Desa Semambu, Tanggal 18 Maret 2013
[1]   Hamzah Raden dan M. Sidiq, Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[1]   Saudara pria tertua dari Ibu. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[1]   F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[1]   Catatan perjalanan seperti Willian Marsden ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth  hanya menceritakan sekilas. Sebelum kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[1]   sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[1]   Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 42
[1]   Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 43
[1]   Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[1]   Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, Hal. 17.
[1]   Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[1]   Ahmad Intan, wawancara tanggal 18 Maret 2013, Dusun Semambu, Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi
[1]   Ter Haar dalam bukunya “Beginselen van ret adatrecht” sebagaimana dikutip oleh Nico Ngani, Perkembangan hukum adat, op.cit. Hal, 16
[1]   Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
[1]   Margo Batin Pengambang
[1]   Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[1]   F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[1]   Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[1]   Upanishab mempunyai pengaruh sistematika filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand, Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia. Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic Philosophy.
[1]   H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[1]   Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[1]   Tegur Sapo seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.
[1]   Tegur Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.
[1]   Guling Batu seperti Membuka tempat yang dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak, membuka hutan tanpa rapat kenduri
[1]   Ujaran ini mirip dengan seloko di Minangkabau “Keatas tidak berpucuk
Kebawah tidak berurat Ditengah tengah dilobangi kumbang” sama artinya dengan pepatah sumpah di Minangkabau yang jelas pada waktu mulai dilontarkan oleh nenek moyang orang Minangkabau belum sanggup menyatakan sumpah agar dilaknati oleh Tuhan dan di azab.
Karena itu menurut Nasroen dalam bukunya Minangkabau dan Negeri Sembilan mengenai dasar falsafah Minangkabau, ada 3 rahmat yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang Minangkabau yaitu Pikiran, Rasa dan Keyakinan. Faktor 1 dan 2 ada dalam diri manusia sendiri dan faktor 3 ada dalam agama yang diyakini.

     Istilah Seloka/seloko secara filologis diambil dari bahas Jawa Kuno berasal dari zaman Kerajaan Keprabuan Majapahit  pada masa keemasannya dibawah Kekuasaan Prabu Hayam Wuruk (1350 – 1464). Seloka/seloko pada hakekatnya merupakan suatu frase.  Lihat H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, hal. 325
136.                [1]          Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 313
136.                 [1]          David Henley dan Jamie Davidson, Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 37
[1]   M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
[1]   Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.
[1]   Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003

SUMBER BACAAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

PERATURAN DESA TANJUNG MUDO Nomor. 07 Tahun 2011 Tentang PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO

PERATURAN DESA TANJUNG ALAM Nomor. 03 Tahun 2011 Tentang  PIAGAM DEPATI DUO MENGGALO

PERATURAN DESA GEDANG Nomor.  4 Tahun 2011 TENTANG KEPUTUSAN ADAT ISTIADAT DEPATI SUKO MERAJO

PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG Nomor. 09 Tahun 2011  TENTANG KEPUTUSAN DEPATI SUKO MENGGALO




BUKU

ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010

Ach. Dhofir Zuhri, Filsafat Timur – Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, 2013, Surabaya.

Domikus Rato,  Hermeneutika Hukum Ada

Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008

Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.

F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938

Hedar Laudjeng, Mempertimbangkan Peradilan Adat, HuMa Seri Pengembangan Wacana 2003

Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003

M  Nasroen, Falsafah Indonesia 1967

Myrna Savitri, Negara dan pluralisme hukum -  Kebijakan pluralisme hukum di Indonesia pada masa kolonial dan masa kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN PLURALISME HUKUM DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI ASIA TENGGARA, Penerbit Epistema Institute, Jakarta

Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012

Madjloes, Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa Selaku Hakim Perdamaian Desa, CV Pantjuran Tudjuh Jakarta 1979.

Muchtar Agus Cholif , ‘TIMBUL TENGGELAM – Persatuan Wilayah LUAK XVI, Tukap Khunut Di Bumi Undang Teliti”, edisi khusus

P. DE ROO DE LA FAILLE, Het Sumatra's  Westkust-Rapport en de Adat, Martinus Nijhoff, 1928

Riset Walhi, 2011

Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat - Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010

Satjipto Raharjo, Hukum Adat dakam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Persfektif Sosiologi Hukum) dalam, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama, Komisi Nasional Hak Asasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Departemen Dalam Negeri Desember 2005 hlm 45.

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973

Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.

Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009

Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997





[1]
             Direktur Walhi Jambi, Advokat, Tinggal di Jambi
[2]   Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[3]   Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin Pengambang (Sungai Batang Asai)
[4]   F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938
[5]   Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Tesis yang ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan rincian dari sebuah daerah tertentu yang memperluas jalinan pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang digunakannya berbeda dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan terus berkembang, bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna atau secuplik dari sebuah pola utama atau asli. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[6]   Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa  Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu  elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi  dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember  1862.
[7]   Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[8]   Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[9]   Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 34
[10] Yusmar Yusuf, Ibid,  Hal. 40
[11] Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja". Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal. 39
[12] Penghormatan terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai   “Kekuatan Batin dari Desa”.
[13] Ahmad Intan, Pertemuan di Desa Semambu, Tanggal 18 Maret 2013
[14] Hamzah Raden dan M. Sidiq, Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[15] Saudara pria tertua dari Ibu. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[16] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[17] Catatan perjalanan seperti Willian Marsden ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth  hanya menceritakan sekilas. Sebelum kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[18] sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[19] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 42
[20] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 43
[21] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[22] Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, Hal. 17.
[23] Pertemuan di Desa Teluk Singkawang, 16 Maret 2013
[24] Ahmad Intan, wawancara tanggal 18 Maret 2013, Dusun Semambu, Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi
[25] Ter Haar dalam bukunya “Beginselen van ret adatrecht” sebagaimana dikutip oleh Nico Ngani, Perkembangan hukum adat, op.cit. Hal, 16
[26] Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
[27] Margo Batin Pengambang
[28] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[29] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[30] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[31] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand, Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia. Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic Philosophy.
[32] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[33] Tegur Sapo seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan adat.
[34] Tegur Ajar terdiri dari Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.
[35] Guling Batu seperti Membuka tempat yang dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak, membuka hutan tanpa rapat kenduri
[36] Ujaran ini mirip dengan seloko di Minangkabau “Keatas tidak berpucuk
Kebawah tidak berurat Ditengah tengah dilobangi kumbang” sama artinya dengan pepatah sumpah di Minangkabau yang jelas pada waktu mulai dilontarkan oleh nenek moyang orang Minangkabau belum sanggup menyatakan sumpah agar dilaknati oleh Tuhan dan di azab.
Karena itu menurut Nasroen dalam bukunya Minangkabau dan Negeri Sembilan mengenai dasar falsafah Minangkabau, ada 3 rahmat yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang Minangkabau yaitu Pikiran, Rasa dan Keyakinan. Faktor 1 dan 2 ada dalam diri manusia sendiri dan faktor 3 ada dalam agama yang diyakini.

136.                [37]         Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 313
136.                 [38]         David Henley dan Jamie Davidson, Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 37
[39] M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
[40] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.
[41] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003