02 Juni 2015

opini musri nauli : AMBIGU


Tiba-tiba “rasa kemanusiaan” kita terbangun melihat nasib terkatung-katung kaum Rohingya di perairan internasional. Kaum yang melarikan dari ancaman dari persoalan ras di Burma. Sebagai bagian dari masyarakat yang mayoritas Budha, kaum Rohingya beragama Islam sempat tidak diterima berbagai negara di ASEAN. Malaysia, Brunei yang mayoritas beragama Islam menolak kehadirannya. Singapura, Thailand dan Philipina apalagi.


Entah darimana mulainya. Dukungan kepada Rohingya mulai mengalir. Berbagai kampanye kemudian menarik perhatian pemerintah. Pemerintah kemudian mengizinkan setelah sebelumnya ditolong di Aceh. Dengan solidaritas kemanusiaan, Rohingya kemudian bagian dari Indonesia.

Namun berbeda dengan nasib terhadap rakyat Indonesia yang kemudian memilih Merah Putih paska refendum di Timor-Timur tahun 1999. Mereka terlantar di tenda-tenda pengungsian. Perjuangan untuk memilih Indonesia dan keluar dari Timor-Timur tidak mendapatkan dukungan. Sampai sekarang nasib mereka juga memprihatikan. Mereka adalah saudara sebangsa-setanah air yang rela darahnya berkibar merah putih.

Begitu juga ketika persoalan Palestina. “seakan-akan koor”, dukungan diberikan. Mobilisasi dikerahkan untuk mendukung perjuangan Palestina. Lengkap dengan berbagai dukungan organisasi di berbagai daerah. Konsentrasi politik dikerahkan untuk mendukung Palestina.

Namun nasib mereka tidak sebaik Palestina ketika “pembantaian” di Simpang V, ketika sepasukan menyerbu pesantren di Simpang V Aceh tahun 2000. Mereka dibantai. Misteri belum tergali. Termasuk siapa yang harus bertanggungjawab. Mereka sedarah-sebangsa-setanah air. Dada mereka merah putih.

Dua peristiwa diatas menggambarkan bagaimana sikap kita terhadap persoalan. OK. Atas kemanusiaan kita harus memberikan dukungan kepada Rohingya dan Palestina. Atas nama solidaritas kemanusiaan, kita menjunjung sebagai bangsa yang beradab.

Namun mengapa terhadap saudara sedarah-sebangsa-setanah air, bibir kita seakan-akan kelu ?

Ya. Dalam terminologi bahasa, sikap kita ambigu.

Ambigu dituliskan sebagai ambigu – am.bi.gu. Maknanya [a] bermakna lebih dr satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dsb); bermakna ganda; taksa

Dalam dukungan kepada Palestina dan Rohingya, makna “ambigu” kemudian diartikan sebagai “bermakna ganda”. Sulit mengukur rasa kemanusiaan kita. Saat bersamaan kita menggerakan potensi bangsa “memperhatikan nasib” Palestina dan Rohingya. Namun disaat lain kita “acuh” dengan nasib pengungsi Timtim dan penyerbuan Simpang V Aceh.

Sikap kita mudah dijangkiti ambigu. Kita begitu peduli dengan menjunjung tinggi kemanusiaan terhadap Rohingya dan Palestina. Tentu saja tidak lupa mencantumkan makna politik luar negeri dengan kata-kata “bebas dan aktif”.

Rasa kemanusiaan tidak terpatri ketika melihat saudara sedarah-sebangsa dan setanah air mengalami nasib yang sama.

Sikap ambigu kemudian memunculkan diksi. Apakah kita mendukung Rohingya dan Palestina berangkat dari rasa kemanusiaan dan solidaritas kemanusiaan. Kalo kita mempunya energi mendukung Rohingya dan palestina, maka energi sama juga kita kerahkan untuk memperjuangkan nasib pengungsi Timtim dan pengungkapan kasus simpang V di Aceh.

Namun apabila kita hanya punya energi untuk mengurusi Palestina dan Rohingya sementara kita abai dengan nasib pengungsi Timtim dan kasus Simpang V di Aceh.

Sudah tepat diksi Ambigu dilekatkan dengan diri kita. Atau kita hanya melihat dukungan kepada Palestina dan Rohingya dari sudut politik. Tanpa adanya rasa kemanusiaan kepada nasib pengungsi Timtim dan Simpang Aceh.