Tiba-tiba
“rasa kemanusiaan” kita terbangun melihat nasib terkatung-katung
kaum Rohingya di perairan internasional. Kaum yang melarikan dari
ancaman dari persoalan ras di Burma. Sebagai bagian dari masyarakat
yang mayoritas Budha, kaum Rohingya beragama Islam sempat tidak
diterima berbagai negara di ASEAN. Malaysia, Brunei yang mayoritas
beragama Islam menolak kehadirannya. Singapura, Thailand dan
Philipina apalagi.
Entah
darimana mulainya. Dukungan kepada Rohingya mulai mengalir. Berbagai
kampanye kemudian menarik perhatian pemerintah. Pemerintah kemudian
mengizinkan setelah sebelumnya ditolong di Aceh. Dengan solidaritas
kemanusiaan, Rohingya kemudian bagian dari Indonesia.
Namun
berbeda dengan nasib terhadap rakyat Indonesia yang kemudian memilih
Merah Putih paska refendum di Timor-Timur tahun 1999. Mereka
terlantar di tenda-tenda pengungsian. Perjuangan untuk memilih
Indonesia dan keluar dari Timor-Timur tidak mendapatkan dukungan.
Sampai sekarang nasib mereka juga memprihatikan. Mereka adalah
saudara sebangsa-setanah air yang rela darahnya berkibar merah putih.
Begitu
juga ketika persoalan Palestina. “seakan-akan koor”, dukungan
diberikan. Mobilisasi dikerahkan untuk mendukung perjuangan
Palestina. Lengkap dengan berbagai dukungan organisasi di berbagai
daerah. Konsentrasi politik dikerahkan untuk mendukung Palestina.
Namun
nasib mereka tidak sebaik Palestina ketika “pembantaian” di
Simpang V, ketika sepasukan menyerbu pesantren di Simpang V Aceh
tahun 2000. Mereka dibantai. Misteri belum tergali. Termasuk siapa
yang harus bertanggungjawab. Mereka sedarah-sebangsa-setanah air.
Dada mereka merah putih.
Dua
peristiwa diatas menggambarkan bagaimana sikap kita terhadap
persoalan. OK. Atas kemanusiaan kita harus memberikan dukungan kepada
Rohingya dan Palestina. Atas nama solidaritas kemanusiaan, kita
menjunjung sebagai bangsa yang beradab.
Namun
mengapa terhadap saudara sedarah-sebangsa-setanah air, bibir kita
seakan-akan kelu ?
Ya.
Dalam terminologi bahasa, sikap kita ambigu.
Ambigu
dituliskan sebagai ambigu – am.bi.gu. Maknanya [a] bermakna
lebih dr satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan,
kekaburan, ketidakjelasan, dsb); bermakna ganda; taksa
Dalam
dukungan kepada Palestina dan Rohingya, makna “ambigu” kemudian
diartikan sebagai “bermakna ganda”. Sulit mengukur rasa
kemanusiaan kita. Saat bersamaan kita menggerakan potensi bangsa
“memperhatikan nasib” Palestina dan Rohingya. Namun disaat lain
kita “acuh” dengan nasib pengungsi Timtim dan penyerbuan Simpang
V Aceh.
Sikap
kita mudah dijangkiti ambigu. Kita begitu peduli dengan menjunjung
tinggi kemanusiaan terhadap Rohingya dan Palestina. Tentu saja tidak
lupa mencantumkan makna politik luar negeri dengan kata-kata “bebas
dan aktif”.
Rasa
kemanusiaan tidak terpatri ketika melihat saudara sedarah-sebangsa
dan setanah air mengalami nasib yang sama.
Sikap
ambigu kemudian memunculkan diksi. Apakah kita mendukung Rohingya dan
Palestina berangkat dari rasa kemanusiaan dan solidaritas
kemanusiaan. Kalo kita mempunya energi mendukung Rohingya dan
palestina, maka energi sama juga kita kerahkan untuk memperjuangkan
nasib pengungsi Timtim dan pengungkapan kasus simpang V di Aceh.
Namun
apabila kita hanya punya energi untuk mengurusi Palestina dan
Rohingya sementara kita abai dengan nasib pengungsi Timtim dan kasus
Simpang V di Aceh.
Sudah
tepat diksi Ambigu dilekatkan dengan diri kita. Atau kita hanya
melihat dukungan kepada Palestina dan Rohingya dari sudut politik.
Tanpa adanya rasa kemanusiaan kepada nasib pengungsi Timtim dan
Simpang Aceh.