Akhir-akhir
ini, saya memperhatikan berbagai seruan dari “pramugari” dari maskapai tertentu
yang selalu memberikan informasi yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota
lain. Ketika memasuki suatu kota, maka ada “tekanan” terhadap peringatan.
Sementara di kota lain ketika memasuki kota, terhadap peringatan justru dengan
tekanan yang lain. Saya kemudian mencoba mencatatnya sehingga kita bisa
memahamai karakter penumpang dari suatu kota. Tentu saja maskapai juga
mempengaruhi karakter penumpang dari suatu kota.
Kita
mulai dari maskapai “sang raja Delay”. Posisi ini terus dipegang oleh Sang Raya
Delay” yang selalu terlambat di keberangkatan. Entah memang selalu “kebanyakan
rute” dan keterlambatan satu kota, maka Sang Raya Delay tetap memegang
posisi. Jangan harap ada “pelayanan
prima”. Penumpang kurang diperlakukan sebagaimana mestinya.
Tanda-tanda
bisa kelihatan. Menjelang keberangkatan “apabila tidak ada petugas yang duduk
di tempat ruang tunggu keberangkatan, maka sudah dipastikan “keberangkatan
tertunda”. Tidak ada pengumuman ataupun pemberitahuan “keterlambatan”. Jangan
harap.
Penumpangnya
juga mempunyai sikap yang lucu dan bikin senyum-senyum sendiri. Dengan
kerepotan dan “rempong”, membawa berbagai bungkusan yang diikat ala kadarnya
membuat ‘Sang penumpang” kerepotan. Persis penumpang angkutan umum. Tidak
terkesan sama sekali seperti naik pesawat yang memerlukan “kesimpelan”.
Namun
yang paling diingat oleh saya ketika hendak landing di suatu kota. Untuk kota
tertentu, diingatkan “sambil nada penekanan kalimat”. Untuk penumpang yang akan
turun di Medan, entah mengapa ada kalimat agar jangan membuang sampah
sembarangan. Yang lucu adalah “termasuk permen karet”. Waduh.
Sedangkan
untuk memasuki kota Batam/Pekanbaru, penekanan “peringatan kalimat” agar tidak
“menghidupkan HP “sampai di terminal kedatangan”.
Nah.
Kalo di Jambi sendiri, selalu ditekankan “agar jangan berdiri sampai pesawat
berhenti dengna sempurna”. Ha.. ha.. Saya kemudian melihat dan memandang “gaya
penumpang” mempunyai ciri tertentu di setiap kota.
Penumpang
maskapai anak “sang Raja Delay”pun sama saja. Slogan sebagai pesawat yang
“sedikit” lebih baik ternyata tidak diimbangi “kelakuan penumpangnya”. Walaupun
duduk di belakang, sambil jalan, dengan seenaknya memasukkan barang di tempat
orang lain, sehingga tempat barang sering sudah penuh sehingga penumpang
didekatnya tidak bisa lagi meletakkan barang.
Namun
sampai sekarang Sang Raja Delay merupakan salah satu pilihan utama ketika kita hendak
ke daerah tanpa harus “berkejaran waktu”. Dengan rute yang cukup banyak dan
pilihan jam keberangkatan yang cukup banyak tentu saja, Sang Raja Delay
merupakan pilihan utama. Tentu saja dengan harga yang murah membuat “Sang Raja
Delay” merupakan pilihan yang tidak boleh diabaikan.
Selanjutnya
maskapai “anak Garuda’. Dengan tema “sederhana”, setiap keberangkatan selalu
dimulai dengan pantun. Khas dari negeri Melayu yang membuat “keberangkatan”
disambut dengan senyuman. Sehingga menjelang kedatangan, maka sudah dipastikan
“tidak terasa” dan disambut sambil gelak tertawa dengan penumpang disebelahnya.
Selain
itu juga, dengan mengusung pesawat Airbus, kenyamanan dan “kelembutan” di
landing merupakan salah satu pilihan yang tidak boleh diabaikan.
Selanjutnya
maskapai yang mengusung “nama kerajaan’. Yang unik, pramugari dengan ramah
melayani penumpang sembari menawarkan produk belanja yang sepanjang perjalanan “serasa”
di los-los toko belanja. Dengan sabar, sang pramugari “menerangkan” keunggulan
barang yang ditawarkan. Perjalanan menjadi tidak terasa dan sering terjadi
pembicaraan yang menunjukkan “keakraban”.
Terakhir
tentu maskapai milik Indonesia. Dengan “keunggulan” pelayanan prima, standar
yang tinggi membuat pilihan “impian” untuk menaiki.
Dengan
penumpangnya yang berasal dari kalangan tertentu, menaiki maskapai ini membuat “suasana
keakraban” kurang terasa. Setiap penumpang sibuk dengan gadget masing-masing
dan tidak bertegur sapa di sebelahnya. Sunyi di tengah keramaian.
Pelayanan
yang prima membuat pilihan ini membuat semua aktivitas bisa dilakukan. Baik
mendengarkan music, menonton film ataupun membaca Koran yang tersedia sebelum
memasuki pesawat.
Dengan
standar yang cukup tinggi, maka pilihan maskapai dilakukan dengan cuaca normal.
Menjadi masalah kemudian ketika asap yang mendera seperti terjadi di Jambi.
Ketika
maskapai “sang Raja Delay” berani turun dan entah berapa kali maskapai ini
berhasil mendarat di Jambi, maskapai ini belum satupun yang turun. Entah berapa
kali harus mutar-mutar dulu, kembali ke Jakarta ataupun memilih menunggu di
Palembang.
Sekarang
tinggal kita memilih maskapai yang digunakan. Entah dengan kepentingan “diundang
harus menggunakan maskapai tertentu”, mengejar waktu, menikmati perjalanan
ataupun menikmati fasilitas selama perjalanan. Tentu saja disesuaikan dengan
perjalanan.