Catatan
mengenai Jambi mudah ditelusuri dalam catatan perjalanan “petualang dunia”.
Didalam
kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke
negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota
yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak).
Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.
Menurut Ulu Kozok didalam
bukunya “Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara
Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal,
tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu
dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa
Ketika runtuh Sriwijaya dan
Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik
perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai
literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian
sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah)
sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige
Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von
Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan
koleksi Etnografi ataupun “oostkust
van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda
seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita
temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan
menempatkan Jambi.
Sementara
kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan
Kerajaan Samudra pasai pada abad XV. Menurut Barbara Watson Andaya, kebesaran
Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi sebagai
rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka daripada
berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,
Bahkan
didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630
“ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman
seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil
pertanian dan membeli barang bernilai tinggi. Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun
1511 M.
Menurut
Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah
pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka
telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di
kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis,
maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada awal abad 17
antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan perdagangan
di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda, dan Portugis
mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Masih banyak catatan yang
masih tercecer dan tidak sempat saya kutip seluruhnya.
Dengan
melihat bagaimana peradaban dunia
mempengaruhi Jambi, sehingga Jambi tidak dapat dipisahkan dari peradaban dunia.
Budaya Tiongkok, India dan Arab kemudian menjadi warna kebudayaan di Jambi
sehari-hari.
Peradaban
dunia seperti Budha, Hindu, Islam,Tiongkok, India, Arab memperkaya budaya
Jambi. Sehingga Jambi tidak bisa memisahkan atau mengklaim satu budaya tertentu
sebagai identitas Jambi.
Namun
dalam perkembangannya, industry kemudian “memakan” budaya Jambi.
Sentral-sentral budaya Jambi kemudian tergerus oleh pembangunan mall-mall,
pasar swalayan modern, hotel-hotel berbintang menjulang tinggi. Rumah-rumah
khas Jambi “Kajanglako” kemudian diganti permanen.
Gedung
Putraretno sebagai gedung “saksi” pengibaran bendera merah putih awal
kemerdekaan kemudian berganti menjadi gedung megah dan menghilangkan unsur
sejarah Jambi.
Kelenteng
“Hok Tong”, praktis menjadi gedung yang sepi dari peminat sejarah dan terancam
hilang dari catatan sejarah kedatangan dan perkembangan Tiongkok di Jambi.
Sedangkan
Rumah Khas Jambi kemudian diganti menjadi Gedung Kantor BCA di pasar Jambi.
Perkampungan
Pacinan di Talang Banjar kemudian menjadi mall supermewah di Talang Banjar.
Bahkan
Gedung pemerintahan gubernuran menjadi gedung menjulang tinggi gaya Spanyol dan
tidak meninggalkan sedikitpun sejarah dan budaya Jambi.
Semuanya
tertelan “gaya modern” yang merusak tatanan Jambi sebagai pusat peradaban
sejarah yang panjang di Jambi.
Bahkan
belum usai “hilangnya” sejarah Jambi, penamaan Taman di Kota Baru (dekat
perkantoran Kota Jambi) menimbulkan kernyit yang aneh. Ya. Nama “Taman Jomblo”.
Jomblo sebagai istilah anak muda alay-alay sekali lagi menghilangkan Jambi
sebagai kota Budaya.
Pelan
tapi pasti, modernisasi tidak bisa dihalangi. Namun mencabut akar dari budaya
Jambi dan menghilangkan sejarah Jambi akan menimbulkan persoalan identitas
kepada masyarakat Jambi sendiri.
Dan
dalam waktu 5 tahun terakhir, upaya ini dipercepat sehingga ancaman kehancuran “budaya
Jambi” akan tenggelam bersamaan dengan hadirnya berbagai gedung mewah dan megah
dimana rakyat Jambi sendiri tidak bisa masuk dan menjadi konsumsi
Merayakan
kelahiran Jambi di tengah apatis kita terhadap sejarah Jambi akan meninggalkan
warisan yang akan ditagih generasi akan datang. Mereka kehilangan identitas dan
kembali menjadi bangsa yang tercabut akarnya dari peradaban adi luhung.