01 Juni 2016

opini musri nauli : Jambi dan Peradaban



Catatan mengenai Jambi mudah ditelusuri dalam catatan perjalanan “petualang dunia”.


Didalam kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak). Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.

Menurut Ulu Kozok didalam bukunya “Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa

Ketika runtuh Sriwijaya dan Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan koleksi Etnografi ataupun  oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan menempatkan Jambi.

Sementara kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan Kerajaan Samudra pasai pada abad XV. Menurut Barbara Watson Andaya, kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,

Bahkan didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630 “ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil pertanian dan membeli barang bernilai tinggi.  Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.

Menurut Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda, dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Masih banyak catatan yang masih tercecer dan tidak sempat saya kutip seluruhnya.
Dengan melihat  bagaimana peradaban dunia mempengaruhi Jambi, sehingga Jambi tidak dapat dipisahkan dari peradaban dunia. Budaya Tiongkok, India dan Arab kemudian menjadi warna kebudayaan di Jambi sehari-hari.

Peradaban dunia seperti Budha, Hindu, Islam,Tiongkok, India, Arab memperkaya budaya Jambi. Sehingga Jambi tidak bisa memisahkan atau mengklaim satu budaya tertentu sebagai identitas Jambi.

Namun dalam perkembangannya, industry kemudian “memakan” budaya Jambi. Sentral-sentral budaya Jambi kemudian tergerus oleh pembangunan mall-mall, pasar swalayan modern, hotel-hotel berbintang menjulang tinggi. Rumah-rumah khas Jambi “Kajanglako” kemudian diganti permanen.

Gedung Putraretno sebagai gedung “saksi” pengibaran bendera merah putih awal kemerdekaan kemudian berganti menjadi gedung megah dan menghilangkan unsur sejarah Jambi.

Kelenteng “Hok Tong”, praktis menjadi gedung yang sepi dari peminat sejarah dan terancam hilang dari catatan sejarah kedatangan dan perkembangan Tiongkok di Jambi.

Sedangkan Rumah Khas Jambi kemudian diganti menjadi Gedung Kantor BCA di pasar Jambi.

Perkampungan Pacinan di Talang Banjar kemudian menjadi mall supermewah di Talang Banjar.

Bahkan Gedung pemerintahan gubernuran menjadi gedung menjulang tinggi gaya Spanyol dan tidak meninggalkan sedikitpun sejarah dan budaya Jambi.

Semuanya tertelan “gaya modern” yang merusak tatanan Jambi sebagai pusat peradaban sejarah yang panjang di Jambi.

Bahkan belum usai “hilangnya” sejarah Jambi, penamaan Taman di Kota Baru (dekat perkantoran Kota Jambi) menimbulkan kernyit yang aneh. Ya. Nama “Taman Jomblo”. Jomblo sebagai istilah anak muda alay-alay sekali lagi menghilangkan Jambi sebagai kota Budaya.

Pelan tapi pasti, modernisasi tidak bisa dihalangi. Namun mencabut akar dari budaya Jambi dan menghilangkan sejarah Jambi akan menimbulkan persoalan identitas kepada masyarakat Jambi sendiri.

Dan dalam waktu 5 tahun terakhir, upaya ini dipercepat sehingga ancaman kehancuran “budaya Jambi” akan tenggelam bersamaan dengan hadirnya berbagai gedung mewah dan megah dimana rakyat Jambi sendiri tidak bisa masuk dan menjadi konsumsi

Merayakan kelahiran Jambi di tengah apatis kita terhadap sejarah Jambi akan meninggalkan warisan yang akan ditagih generasi akan datang. Mereka kehilangan identitas dan kembali menjadi bangsa yang tercabut akarnya dari peradaban adi luhung.