#OM. TELOLET.OM” tiba-tiba menjadi
viral dan “menghentikan” sementara
hiruk pikuk dunia sosmed. Tagar itu menjangkiti dan menyebar melebihi kecepatan
pesawat supersonic sekalipun. DJ-DJ bahkan pemain sepakbola dunia menjadikan
tagar didalam twitter-nya. Baik resmi di blog klub sepakbola maupun twitter.
Berbagai
viral kemudian “menghela” nafas
sejenak setelah hiruk pikuk suasana politik di Indonesia. Menenggelamkan issu “equil”, “sari roti”, “penghinaan Pahlawan” bahkan
semua orang kemudian berebut mencari informasi tentang suara knalpon “bernada” dari bis-bis malam antar kota.
Istilah
“om telolet. om” ada tagar yang
diambil dari peristiwa anak-anak yang bergembira di pinggir jalan menunggu nada
klakson mobil. Dengan bergembira anak-anak menunggu setiap klakson bernada dari
bis-bis malam. Mereka bergembira mendengarkan nada-nada klakson sembari
menunggu dan melewati musim liburan.
Tagar
ini kemudian menghentakkan dunia “sosmed”.
Menghipnotis hingga ke berbagai penjuru dunia. Dunia kemudian bergembira
menyaksikan “hiburan” ala rakyat di
tengah “kemuakkan” issu Suriah
ataupun berita simpang siur tentang Rohingya. Tagar ini kemudian membuat
Presiden Barack Obama kemudian harus “berkicau”
sehingga menarik perhatian dunia.
Saya
tidak akan menganalisis istilah “om”
ataupun istilah “telolet” dari
pendekatan simantik. Biarlah itu menjadi urusan diluar dari “kegembiraan” saya. Biarlah itu menjadi
diskusi serius di kalangna terbatas. Biarlah saya ingin merasakan kegembiraan
anak-anak.
Saya
merasakan “kegembiraan” dari
anak-anak yang menyaksikan nada-nada klakson. Anaka-anak yang rela “bermain” dengan teman-teman sebaya tanpa
harus ikut hiruk pikuk “perdebatan”
di sosmed.
Kegembiraan
anak-anak seusianya di tengah bermain sepakbola, di tengah derasnya hujan,
berlarian memukul bedug di masjid di saat berbuka puasa, berlarian mengejar
layang-layang, memancing ikan di sungai ataupun kali kecil adalah dunia
anak-anak yang menjadi “bekal”
pengetahuan di masa datang.
Merekalah
yang 10-20 tahun akan datang akan menertawakan generasi sebelumnya yang sibuk
berdebat tapi bersumber dari situs abal-abal. Yang percaya jumlah tenaga kerja
Tiongkok. Yang tidak tahu membedakan “equil”
dengan miras. Yang tidak tahu tanda X dan
tanda Y didalam bantuan kemanusiaan.
Merekalah
yang kemudian heran. Seorang petinggi negeri kemudian harus sujud syukur
percaya dengan tim quick count abal-abal. Seorang ternama yang percaya dengan
10 juta pekerja tiongkok. Seorang guru yang tidak mendidik “mengajak rush money”. Seorang pendidik
yang sibuk mempersoalkan kepahlawanan didalam mata uang Indonesia.
Mereka
mempunyai dunia sendiri. Mereka belajar dan mencari informasi di youtube dan
berkeinginan menjadi youtuber. Bercerita di youtebe seperti “dunia mereka sendiri”.
Mereka
bisa tertawa “bagaimana generasi”
sebelumnya begitu percaya dengan berita hoax sambil bertanya ? Emangnya di
sekolahan kemarin ngapain ?
Mereka
sekarang menjadi viral. Mereka “menguasai”
dunianya sendiri. Selamat datang dunia Millenium.
“Om
Telolet Om”.