26 Desember 2016

opini musri nauli : Warisan Gusdur



Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan Indonesia agar pandai berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur sangat kontroversial, setiap sikap dan ucapannya menimbulkan kontoroversi. Dengan begitu, orang Indonesia akan belajar bagaimana berbeda dengan orang lain. Itu sebetulnya hakikat kehadiran Gus Dur di Indonesia.
Kemudian, kita akan menjadi Negara yang betul-betul demokratis, karena saling menghargai pendapat orang lain. Kita Negara yang sangat plural, sangat majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini seperti sedang mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak bisa berbeda dengan saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa dan banyak. Mungkin nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangannya”. KH. Mustofa Bisri


Menjelang akhir tahun dimana suasana natal dan Tahun baru begitu terasa, tidak salah kemudian merupakan bulan milik  Gusdur (Abdurrahman Wahid), bapak Bangsa yang rela mengulurkan tangannya meraih siapapun yang dikucilkan. Seorang Cucu tokoh kharismatik, KH. Hasyim Asyari, pendiri NU. Ayahnya KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pada awal-awal revolusi.
Suasana Haul (perayaan) kepada Gusdur mulai terasa. Berbagai pemberitaan, opini maupun cerita tentang Gusdur begitu berseliweran. Memandang kagum terhadap sikap konsistensinya terhadap kemanusiaan, kebangsaan dan keragamana.

Setiap haul, berbagai manusia dari berbagai latar belakang menghadirinya. Semuanya merasakan pengayoman dari Gusdur. Semuanya kemudian menyadari manusia multidimensi yang teduh memayungi semua manusia.

Kepergian Gusdur menyentak kita semua. Kerinduan terhadap Gusdur disebabkan adanya ancaman disintegrasi bangsa, terancaman persatuan dan mulai terkoyak-koyaknya Keindonesiaan. Kepergian Gusdur mengingatkan kita semua akan karya-karya maupun tindakannya masih dibutuhkan oleh Indonesia.

Tentu saja banyak cerita tentang Gusdur, lawakannya, sikap nyelenehnya namun tetap dalam bingkai kemanusiaan, kebangsaan dan keragamanan. Berbagai cerita serius maupun humor memperkaya kita memandang Indonesia.

Namun peninggalan Gusdur ketika memimpin NU adalah pemikiran yang merdeka. Membuka ruang perdebatan, berwacana maupun sikap pluralnya terhadap kemanusiaan.

Di tangan Gusdur, tradisi ketat membaca kitab kuning merupakan tradisi yang tetap dijaga. Pesantren-pesantren terus menjaga “kekuatan” di kitab kuning, fasih membaca fiqh. Di tangan Gusdur, pesantren-pesantren tetap dengan kurikulum klasik membaca teks demi teks setiap kitab-kitab klasik sehingga kekuatan pesantren tetap terjaga.

Gusdur mampu “melawan” tawaran kurikulum dari rezim Soeharto untuk “mengendalikan” pesantren sehingga NU bisa dikontrol. Gusdur menjaga tradisi sehingga tetap bertahan sebagai ciri khas NU.

Namun di tengah ketatnya menjaga tradisi NU, sejak tahun 1984, Gusdur membuka ruang tradisi pemikiran dimulai dari Probolinggo. Forum individu NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks muslim.

Ketika ICMI dibentuk dan menarik perhatian intelektual muslim seperti Amien Rais, BJ Habibie, Gusdur menolak untuk bergabung. Bahkan Gusdur membentuk Forum Kebangsaan yang dihadiri berbagai tokoh komunitas religious dan berbagai organisasi social. Kekuatan Forum Kebangsaan ini kemudian diperhitungkan sehingga pertemuan menjelang tahu 1992 kemudian dihentikan menjelang Pemilu 1992.

Gagasan mengembangkan pemikiran kemudian menghinggapi nahdiyin-nahdiyin muda. 20 tahun kemudian nahdiyin-nahdiyin muda NU kemudian mewarnai berbagai perkembangan politik kontemporer. Nahdiyin-nahdiyin muda NU fasih membaca kitab kuning sebagai tradisi ketat di pesantren. Namun mampu menguraikan berbagai perkembangan globalalisasi dengan perkembangan pemikiran liberalisasi, pendekatan sosialisme dengan rinci dan runut.

Sehingga tidak salah kemudian Fiqh Hijau sebagai panduan melihat kerusakan sumber daya alam dengan pendekatan islam.

Dalam persoalan kebangsaan, keragaman, kemanusiaan, keteladanan Riyanto sebagai martir banser NU yang menyelamatkan bom Gereja Eben Haezer, Mojokerto pada malam Natal, 24 Desember 2000 merupakan wajah NU dalam zaman kekinian.

Keteladanan Gusdur sudah membumi kepada lapisan NU sehingga seorang Riyanto kemudian rela mengorbankan jiwanya untuk kemanusiaan.

Kisah heroic Riyanto merupakan keteladanan dari seorang nahdiyin yang jauh dari hingar-bingar politik Jakarta. Riyanto merupakan potret wajah Islam yang teduh yang menempatkan kemanusiaan, keragaman tanpa harus menghilangkan identitas islam. NU kemudian menemukan wajahnya ditengah “Carut marutnya” tuduhan menyakitkan, persoalan kebangsaan maupun ancaman keragamanan.

Kisah heroic Riyanto memberikan kesempatan kita untuk sejenak mengheningkan cipta. Mengenang pengorbanan jiwa Riyanto untuk kemanusiaan. Keteladanan yang belum bisa kita lakukan.

Warisan sesungguhnya Gusdur adalah menempatkan nahdiyin sebagai kader-kader yang ketat tradisi kitab kuning namun membaca kebangsaan, kemanusiaan dan keragamanan dengan pendekatan kultural. Warisan yang 20 tahun yang dirintisnya sejak menjadi Ketua Tanfiziah NU. Warisan Gusdur yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Salam Takzim untuk Mu, Gus. Kami kehilanganmu.

Data dari berbagai sumber

Baca : Gusdur