“Menurut saya,
Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan Indonesia agar pandai berbeda
dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur sangat kontroversial, setiap sikap dan
ucapannya menimbulkan kontoroversi. Dengan begitu, orang Indonesia akan belajar
bagaimana berbeda dengan orang lain. Itu sebetulnya hakikat kehadiran Gus Dur
di Indonesia.
Kemudian,
kita akan menjadi Negara yang betul-betul demokratis, karena saling menghargai
pendapat orang lain. Kita Negara yang sangat plural, sangat majemuk. Kita
mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini seperti sedang
mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak bisa berbeda dengan
saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa dan banyak. Mungkin
nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk meneruskan
perjuangannya”. KH. Mustofa Bisri
Menjelang
akhir tahun dimana suasana natal dan Tahun baru begitu terasa, tidak salah
kemudian merupakan bulan milik Gusdur (Abdurrahman
Wahid), bapak Bangsa yang rela mengulurkan tangannya meraih siapapun yang
dikucilkan. Seorang Cucu tokoh kharismatik, KH. Hasyim Asyari, pendiri NU.
Ayahnya KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pada awal-awal revolusi.
Suasana
Haul (perayaan) kepada Gusdur mulai terasa. Berbagai pemberitaan, opini maupun
cerita tentang Gusdur begitu berseliweran. Memandang kagum terhadap sikap
konsistensinya terhadap kemanusiaan, kebangsaan dan keragamana.
Setiap
haul, berbagai manusia dari berbagai latar belakang menghadirinya. Semuanya
merasakan pengayoman dari Gusdur. Semuanya kemudian menyadari manusia
multidimensi yang teduh memayungi semua manusia.
Kepergian Gusdur menyentak
kita semua. Kerinduan terhadap Gusdur disebabkan adanya ancaman disintegrasi
bangsa, terancaman persatuan dan mulai terkoyak-koyaknya Keindonesiaan.
Kepergian Gusdur mengingatkan kita semua akan karya-karya maupun tindakannya
masih dibutuhkan oleh Indonesia.
Tentu saja banyak cerita
tentang Gusdur, lawakannya, sikap nyelenehnya namun tetap dalam bingkai
kemanusiaan, kebangsaan dan keragamanan. Berbagai cerita serius maupun humor
memperkaya kita memandang Indonesia.
Namun peninggalan Gusdur
ketika memimpin NU adalah pemikiran yang merdeka. Membuka ruang perdebatan,
berwacana maupun sikap pluralnya terhadap kemanusiaan.
Di tangan Gusdur, tradisi
ketat membaca kitab kuning merupakan tradisi yang tetap dijaga.
Pesantren-pesantren terus menjaga “kekuatan” di kitab kuning, fasih membaca
fiqh. Di tangan Gusdur, pesantren-pesantren tetap dengan kurikulum klasik
membaca teks demi teks setiap kitab-kitab klasik sehingga kekuatan pesantren
tetap terjaga.
Gusdur mampu “melawan”
tawaran kurikulum dari rezim Soeharto untuk “mengendalikan” pesantren sehingga
NU bisa dikontrol. Gusdur menjaga tradisi sehingga tetap bertahan sebagai ciri
khas NU.
Namun di tengah ketatnya
menjaga tradisi NU, sejak tahun 1984, Gusdur membuka ruang tradisi pemikiran
dimulai dari Probolinggo. Forum individu NU untuk mendiskusikan dan menyediakan
interpretasi teks muslim.
Ketika ICMI dibentuk dan
menarik perhatian intelektual muslim seperti Amien Rais, BJ Habibie, Gusdur
menolak untuk bergabung. Bahkan Gusdur membentuk Forum Kebangsaan yang dihadiri
berbagai tokoh komunitas religious dan berbagai organisasi social. Kekuatan
Forum Kebangsaan ini kemudian diperhitungkan sehingga pertemuan menjelang tahu
1992 kemudian dihentikan menjelang Pemilu 1992.
Gagasan mengembangkan
pemikiran kemudian menghinggapi nahdiyin-nahdiyin muda. 20 tahun kemudian
nahdiyin-nahdiyin muda NU kemudian mewarnai berbagai perkembangan politik
kontemporer. Nahdiyin-nahdiyin muda NU fasih membaca kitab kuning sebagai
tradisi ketat di pesantren. Namun mampu menguraikan berbagai perkembangan
globalalisasi dengan perkembangan pemikiran liberalisasi, pendekatan sosialisme
dengan rinci dan runut.
Sehingga tidak salah kemudian
Fiqh Hijau sebagai panduan melihat kerusakan sumber daya alam dengan pendekatan
islam.
Dalam persoalan kebangsaan,
keragaman, kemanusiaan, keteladanan Riyanto sebagai martir banser NU yang
menyelamatkan bom Gereja Eben Haezer, Mojokerto pada malam Natal, 24 Desember
2000 merupakan wajah NU dalam zaman kekinian.
Keteladanan Gusdur sudah
membumi kepada lapisan NU sehingga seorang Riyanto kemudian rela mengorbankan
jiwanya untuk kemanusiaan.
Kisah heroic Riyanto merupakan
keteladanan dari seorang nahdiyin yang jauh dari hingar-bingar politik Jakarta.
Riyanto merupakan potret wajah Islam yang teduh yang menempatkan kemanusiaan,
keragaman tanpa harus menghilangkan identitas islam. NU kemudian menemukan
wajahnya ditengah “Carut marutnya” tuduhan menyakitkan, persoalan kebangsaan
maupun ancaman keragamanan.
Kisah heroic Riyanto
memberikan kesempatan kita untuk sejenak mengheningkan cipta. Mengenang
pengorbanan jiwa Riyanto untuk kemanusiaan. Keteladanan yang belum bisa kita
lakukan.
Warisan sesungguhnya Gusdur
adalah menempatkan nahdiyin sebagai kader-kader yang ketat tradisi kitab kuning
namun membaca kebangsaan, kemanusiaan dan keragamanan dengan pendekatan
kultural. Warisan yang 20 tahun yang dirintisnya sejak menjadi Ketua Tanfiziah
NU. Warisan Gusdur yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Salam Takzim untuk Mu, Gus. Kami
kehilanganmu.
Data
dari berbagai sumber
Baca : Gusdur