Menikmati
hidup adalah anugrah dari sang Illahi. Setiap kesempatan tempat kita bercanda
ria. Meminggirkan kepusingan harga cabe yang terus naik. Atau berita tipi yang
acaranya itu-itu.
Ya.
Itulah hakekat dunia nyata. Bagaimana dengan dunia maya. Ya. Sama saja. Nikmati
setiap perbedaan. Syukuri sebagai karunia Tuhan. Tapi kalo ada yang lucu.
Sambil senyum-senyum masam boleh. Ketawa-ketawa juga tidak dilarang. Bahkan
boleh sambil koprol atau guling-guling di tanah. Tidak ada yang dilarang.
Marilah
kita tatap dunia maya. Asyik kok.
Kisah
dimulai ketika orang tidak percaya lagi dengan informasi resmi. Entah dengan
alasan anti “mainstream”, atau memang mau menyebarkan berita hoax, pokoknya
informasi “miring”, cepat lebih senang dibaca. Tidak perlu berfikir langsung
share ataupun kalo pengen, langsung “edit” pake photoshop sambil
jingkrak-jingkrak kegirangan lihat hasilnya.
Lihatlah
bagaimana issu Pilpres kemarin yang masih tersisa hingga sekarang. Entah memang
“kadung” jengkel karena kalah ataupun memang mau cari “mainan” baru, setiap
langkah Jokowi selalu diikuti, dipantau, diotak-atik ataupun dipersoalkan.
Mulai
dari kancing jas, dialek bahasa Inggerisnya Jokowi, ataupun photo dibalik
menjadi kiri.
Kelucuan
pertama dimulai ketika hasil quick count tim survey abal-abal memuat hasil
(entah bagaimana metodologinya) memenangkan Prabowo. Tokoh-tokoh yang saya
ketahui sebagai orang terpandang, kemudian sujud syukur disaksikan kamera. Tipi
oonpun memuat berulang-ulang.
Cara
ini kemudian dibangun agar KPU mengikuti hasil quick count tim survey
abal-abal.
Dunia
akademispun geger. Hasil Lembaga survey kemudian dipersoalkan.
Namun
hingga pengumuman KPU, sidang di MK, hasil quick count tim survey abal-abal
tidak akurat sehingga peristiwa ini haruslah dianggap “kelucuan” paling “asyik”
selama Republik ini berdiri.
Kelucuan
ini anggap saja sebagai “door prize” terhadap kemenangan Jokowi.
Kelucuan
kedua adalah seorang terpandang di Republik ini kemudian menuduh Pemerintah
Jokowi telah memasukkan warga Negara Tiongkok hingga 10 juta orang. Bayangkan,
lur. 10 juta orang. Issu ini kemudian
merebak.
Saya
cuma melihat sebagai “kelucuan” yang cukup asyik.
Kelucuan
itu kemudian membuat saya
bertanya-tanya. Bagaimana mungkin, seorang terpandang, mempunyai gelar akademis
lengkap, mempunyai akses ke pusat-pusat informasi namun kemudian lebih suka
percaya angka-angka yang didapatkan dari ‘hoax”.
10
juta angka yang tidak sedikit. Indonesia aja “mati-matian” mendatangkan turis
untuk mencapai 10 juta orang. Lengkap dengan agenda promosi di setiap kedutaan
dunia.
Angka
10 juta juga adalah jumlah penduduk Jakarta yang menguasai Ibukota.
Tapi,
ya, udah. Anggap saja kelucuan untuk menghibur setelah harga listrik terus naik
namun setiap minggu dipastikan akan mati listrik tanpa pemberitahuan apapun.
Tentu
saja masih banyak kelucuan yang dapat menghibur diri kita setelah seharian
pusing bekerja di kantoran.
Namun
saya sedang menunggu adegan “kelucuan” kentut dari petinggi negeri.
Issu
kentut bisa dianalisis dari berbagai sudut. Baik dari nada kentut, bau yang
dikeluarkan hingga durasi kentut.
Kentut
merupakan kelucuan yang seru juga untuk dibahas. Tentu saja sembari makan Sari
Roti sambil minum Equil.
Tokh
dengan kelucuan kita bisa tidur sambil senyum-senyum.