Peristiwa
“aksi super damai Bela Islam”
meninggalkan catatan penting. Catatan untuk menjawab apakah ilmu hitung dapat
menjawabnya.
Entah
darimana mulai, klaim aksi 7 juta orang menarik perhatian. Sementara di satu
sisi klaim 7 juta orang dianggap berlebihan. Polemik ini kemudian menampilkan
cara penghitungan massa dilihat dari udara.
Saya
tidak berposisi untuk mengambil kesimpulan. Apakah 7 juta orang atau tidak.
Biarlah ilmu lain membantunya. Baik dengan menghitung massa yang memenuhi jalur-jalur
protocol mengeliling monas hingga ke berbagai sudut. Tokh. Angka kepastiannya
tidak saya butuh. Hanya tiket penonton stadion yang lebih akurat.
Namun
saya melihat dari sudut lain. Tiba-tiba semua orang tidak meyakini ilmu hitung
menjadi salah satu alat untuk membantu menjernihkan polemic. Dari sudut inilah
yang kemudian mengalami kita kebuntuan memandang dunia.
Sebagai
mata pelajaran yang diajarkan dari Sekolah Dasar, ilmu hitung atau matematika
menjadi pelajaran momok yang menakutkan. Entah Guru matematika yang “dianggap
killer” dengan kacamata tebal sedikit menempel di hidung, jarang senyum ataupun
sering kasih nilai rendah. “Jitek” istilahnya. “Tidak asyik” kata anak muda
sekarang.
Padahal
matematika adalah induk dari segala ilmu (mother of science). Ilmu pengetahuan
apapun termasuk perkembangan modern tidak terlepas dari ilmu hitung.
Dari
angkawasan yang menghitung jarak bumi ke bulan atau jarak bumi ke Planet Mars.
Geologi yang mencari sumber-sumber minyak dengan melihat batu-batuan hingga
bisa menentukan umur fosil. Posisi putar bumi mengeliling matahari. Menghitung
kapan gerhana bulan atau gerhana matahari akan datang.
Ilmu
social juga membutuhkan matematika. Ilmu hukum membutuhkan matematika disaat
menghitung besarnya penggelapan ataupun penipuan oleh pelaku. Atau menghitung
nilai korupsi sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan dengan pantas.
Matematika juga dibutuhkan oleh narapidana menjalani hari-harinya menjelang
bebas.
Matematika
juga dibutuhkan oleh antropologi didalam melihat relasi struktur social.
Sekaligus untuk melihat bagaimana struktur social mampu bertahan dari putaran
zaman.
Matematika
juga dibutuhkan dalam ilmu sosiologi. Dengan matematika, sosiolog dapat melihat
apakah sebuah kerumuman tanpa dipimpin atau “massa terdidik” didalam melakukan
perubahan.
Atau
politisi didalam pilkada. Selain dapat menghitung mata pilih, basis dukungan,
daerah yang direbut hingga penghitungan latar belakang pemilih.
KPU
juga membutuhkan matematika untuk menentukan siapa pemenang dari Pemilu.
Begitu
juga dalam praktek sehari-hari. Supir harus mengetahui perjalanan yang dituju,
jarak tempuh sekaligus menghitung BBM yang diperlukan untuk sampai di tempat
tujuan. Supir juga mengetahui selain
jarak tempuh juga waktu tempuh sehingga dapat mengetahui kapan harus berhenti
di rumah makan ataupun terus jalan memperpendek waktu sehingga bisa istirahat.
Buruh
juga membutuhkan matematika didalam menghitung upah bulanan. Dengan
penghitunganlah, maka buruh dapat menerima tawaran upah dari pengusaha ataupun kapana
harus menolak dan harus demonstrasi ke kota.
Petani
juga membutuhkan matematika untuk menentukan tahun tanam yang disesuaikan
dengan pilihan tanaman dengan musim. Kesalahan penghitungan membuat “fuso”
sehingga tidak dapat mendapatkan hasil yang diharapkan.
Emak-emak
di pasar juga membutuhkan matematika. emak-emak akan “protes” belanjanya kurang
disaat harga cabe terus naik. Ataupun harus menghitung biaya baju sekolah untuk
anaknya.
Anak-anak
sekolah akan berhitung kapan harus menghemat. Kapan harus membeli paket
internet mingguan.
Pokoknya
setiap kehidupan membutuhkan matematika.
Lalu
mengapa kemudian kita menjadi alergi matematika dapat menjawab berbagai polemic
di tengah kehidupan kita.
Salah
satu sebabnya, ada kesalahan cara fikir didalam melihat matematika. Matematika
menjadi “momok, horror” yang menakutkan yang diajarkan dari kecil.
Cara
penyampaikan tanpa melihat kehidupan sehari-hari di sekitarnya membuat
matematika kemudian menjadi ilmu yang “ditakuti, dihindarkan bahkan dijauhi”.
Sudah
saatnya cara penyampaian ilmu hitung diajarkan dengan suasana bermain. Anak
Sekolah Dasar tidak perlu diajarkan matematika sebagai ilmu hapalan. Suasana
bermain bisa dilakukan sambil belajar ilmu hitung diluar kelas.
Anak-anak
yang tinggal di pantai dapat diajarkan bermain untuk menghitung kerang ataupun
batu putih sebagai pengganti bahan ajar matematika.
Anak-anak
pedalaman bisa diajarkan bermain dengan cara membawa buah-buah hutan sebagai
bahan ajar.
Dengan
mengajarkan “suasana” bermain didalam pelajaran matematika, maka matematika
kemudian menjadi ilmu yang menyenangkan. Suasana bermain sambil menghitung akan
berbekas didalam pikiran anak-anak. Sehingga pelajaran matematika kemudian
tidak menjadi momok yang menakutkan.
Tapi
kitapun tidak boleh alergi dengan matematika. Dengan matematika kemudian kita
bisa menghitung kapan harus puasa dan kapan harus lebaran. Dan matematikalah
yang kemudian dapat menjawab berbagai persoalan polemic hingga kita sambil senyum
dapat melihat peristiwa apapun.
Selamat
berhitung. Eh. Bermain matematika.
Baca :