15 Desember 2016

opini musri nauli : Matematika


Peristiwa “aksi  super damai Bela Islam” meninggalkan catatan penting. Catatan untuk menjawab apakah ilmu hitung dapat menjawabnya.

Entah darimana mulai, klaim aksi 7 juta orang menarik perhatian. Sementara di satu sisi klaim 7 juta orang dianggap berlebihan. Polemik ini kemudian menampilkan cara penghitungan massa dilihat dari udara.

Saya tidak berposisi untuk mengambil kesimpulan. Apakah 7 juta orang atau tidak. Biarlah ilmu lain membantunya. Baik dengan menghitung massa yang memenuhi jalur-jalur protocol mengeliling monas hingga ke berbagai sudut. Tokh. Angka kepastiannya tidak saya butuh. Hanya tiket penonton stadion yang lebih akurat.

Namun saya melihat dari sudut lain. Tiba-tiba semua orang tidak meyakini ilmu hitung menjadi salah satu alat untuk membantu menjernihkan polemic. Dari sudut inilah yang kemudian mengalami kita kebuntuan memandang dunia.

Sebagai mata pelajaran yang diajarkan dari Sekolah Dasar, ilmu hitung atau matematika menjadi pelajaran momok yang menakutkan. Entah Guru matematika yang “dianggap killer” dengan kacamata tebal sedikit menempel di hidung, jarang senyum ataupun sering kasih nilai rendah. “Jitek” istilahnya. “Tidak asyik” kata anak muda sekarang.

Padahal matematika adalah induk dari segala ilmu (mother of science). Ilmu pengetahuan apapun termasuk perkembangan modern tidak terlepas dari ilmu hitung.

Dari angkawasan yang menghitung jarak bumi ke bulan atau jarak bumi ke Planet Mars. Geologi yang mencari sumber-sumber minyak dengan melihat batu-batuan hingga bisa menentukan umur fosil. Posisi putar bumi mengeliling matahari. Menghitung kapan gerhana bulan atau gerhana matahari akan datang.

Ilmu social juga membutuhkan matematika. Ilmu hukum membutuhkan matematika disaat menghitung besarnya penggelapan ataupun penipuan oleh pelaku. Atau menghitung nilai korupsi sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan dengan pantas. Matematika juga dibutuhkan oleh narapidana menjalani hari-harinya menjelang bebas.

Matematika juga dibutuhkan oleh antropologi didalam melihat relasi struktur social. Sekaligus untuk melihat bagaimana struktur social mampu bertahan dari putaran zaman.

Matematika juga dibutuhkan dalam ilmu sosiologi. Dengan matematika, sosiolog dapat melihat apakah sebuah kerumuman tanpa dipimpin atau “massa terdidik” didalam melakukan perubahan.

Atau politisi didalam pilkada. Selain dapat menghitung mata pilih, basis dukungan, daerah yang direbut hingga penghitungan latar belakang pemilih.

KPU juga membutuhkan matematika untuk menentukan siapa pemenang dari Pemilu.

Begitu juga dalam praktek sehari-hari. Supir harus mengetahui perjalanan yang dituju, jarak tempuh sekaligus menghitung BBM yang diperlukan untuk sampai di tempat tujuan. Supir juga mengetahui  selain jarak tempuh juga waktu tempuh sehingga dapat mengetahui kapan harus berhenti di rumah makan ataupun terus jalan memperpendek waktu sehingga bisa istirahat.

Buruh juga membutuhkan matematika didalam menghitung upah bulanan. Dengan penghitunganlah, maka buruh dapat menerima tawaran upah dari pengusaha ataupun kapana harus menolak dan harus demonstrasi ke kota.

Petani juga membutuhkan matematika untuk menentukan tahun tanam yang disesuaikan dengan pilihan tanaman dengan musim. Kesalahan penghitungan membuat “fuso” sehingga tidak dapat mendapatkan hasil yang diharapkan.

Emak-emak di pasar juga membutuhkan matematika. emak-emak akan “protes” belanjanya kurang disaat harga cabe terus naik. Ataupun harus menghitung biaya baju sekolah untuk anaknya.

Anak-anak sekolah akan berhitung kapan harus menghemat. Kapan harus membeli paket internet mingguan.

Pokoknya setiap kehidupan membutuhkan matematika.

Lalu mengapa kemudian kita menjadi alergi matematika dapat menjawab berbagai polemic di tengah kehidupan kita.

Salah satu sebabnya, ada kesalahan cara fikir didalam melihat matematika. Matematika menjadi “momok, horror” yang menakutkan yang diajarkan dari kecil.

Cara penyampaikan tanpa melihat kehidupan sehari-hari di sekitarnya membuat matematika kemudian menjadi ilmu yang “ditakuti, dihindarkan bahkan dijauhi”.

Sudah saatnya cara penyampaian ilmu hitung diajarkan dengan suasana bermain. Anak Sekolah Dasar tidak perlu diajarkan matematika sebagai ilmu hapalan. Suasana bermain bisa dilakukan sambil belajar ilmu hitung diluar kelas.

Anak-anak yang tinggal di pantai dapat diajarkan bermain untuk menghitung kerang ataupun batu putih sebagai pengganti bahan ajar matematika.

Anak-anak pedalaman bisa diajarkan bermain dengan cara membawa buah-buah hutan sebagai bahan ajar.

Dengan mengajarkan “suasana” bermain didalam pelajaran matematika, maka matematika kemudian menjadi ilmu yang menyenangkan. Suasana bermain sambil menghitung akan berbekas didalam pikiran anak-anak. Sehingga pelajaran matematika kemudian tidak menjadi momok yang menakutkan.

Tapi kitapun tidak boleh alergi dengan matematika. Dengan matematika kemudian kita bisa menghitung kapan harus puasa dan kapan harus lebaran. Dan matematikalah yang kemudian dapat menjawab berbagai persoalan polemic hingga kita sambil senyum dapat melihat peristiwa apapun.

Selamat berhitung. Eh. Bermain matematika.

Baca : 

MATEMATIKA - Proses atau Berfikir