Ayah, Mengapa tidak boleh main keluar rumah ?
Kalimat
itu masih terngiang-ngiang hingga sekarang menjawab ladenan protes putraku.
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengaji, wajar saja putraku protes. Dengan
beban yang sering diingatkan istriku, menyelesaikan pekerjaan dan mengaji
barulah diperkenankan main bola atau main sepeda diluar Rumah. Suasana
permainan seusianya masih kelas 4 SD. Tidak ada yang lebih menggembirakan
selain bermain sepakbola, main sepeda, kejar layang-layang atapun menghadang
ikan kecebong.
Ya.
Kebakaran tahun 2015 telah memaksa penduduk Jambi tidka diperkenankan keluar
rumah. Rumah-rumah harus dipasangi kain basah di ventilasi udara. Baik diatas
jendela maupun diatas pintu. Langit memerah. Asap memenuhi udara. Jarak pandang
cuma terlihat paling banter cuma 50 meter. Selain itu, praktis. Gelap.
Angka-angka
lain. Ya. Cukup mengerikan. dengan ISPU hingga mencapai 1300 ppm (5 kali lebih
berbahaya untuk daya tahan manusia). Bahkan di Kalteng mencapai hingga 3900
ppm.
2
tahun sudah berlalu. Pemerintahan Jokowi yang peduli kemudian meninggalkan
sejarah. Membangun infrastruktur dengan menghadirkan Badan Restorasi Gambut
(BRG) dengan kewenangan kemudian dicabut berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016. Sama
sekali tidak ada upaya serius mencari dalang-dalang penyebab kebakaran tahun
2015.
Lembaga-lembaga
konservasi kemudian malah sibuk “merestorasi” gambut dan sibuk bercengkrama
dengan perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015. Lupa dengan derita rakyat di 5
Propinsi.
Dan
dengan angkuh kemudian perusahaan berbaris mengadu kepada MK. Meminta agar asas
“strict liability” kemudian dicabut dari UU Lingkungan Hidup.
2
tahun sudah waktu berlalu. 2 tahun sudah protes anakku kusampaikan ke berbagai
tempat. Entah lembaga resmi ataupun lembaga yang masih mau mendengarkan. Dan MK
kemudian menjadi medan tarung terakhir untuk melihat pandangan Negara. Apakah
suara anakku terdengar. Atau senyap bersamaannya dengan waktu.