30 Mei 2017

Ayah, Mengapa tidak boleh main keluar rumah ?



Ayah, Mengapa tidak boleh main keluar rumah ?


Kalimat itu masih terngiang-ngiang hingga sekarang menjawab ladenan protes putraku. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengaji, wajar saja putraku protes. Dengan beban yang sering diingatkan istriku, menyelesaikan pekerjaan dan mengaji barulah diperkenankan main bola atau main sepeda diluar Rumah. Suasana permainan seusianya masih kelas 4 SD. Tidak ada yang lebih menggembirakan selain bermain sepakbola, main sepeda, kejar layang-layang atapun menghadang ikan kecebong.
Ya. Kebakaran tahun 2015 telah memaksa penduduk Jambi tidka diperkenankan keluar rumah. Rumah-rumah harus dipasangi kain basah di ventilasi udara. Baik diatas jendela maupun diatas pintu. Langit memerah. Asap memenuhi udara. Jarak pandang cuma terlihat paling banter cuma 50 meter. Selain itu, praktis. Gelap.

Angka-angka lain. Ya. Cukup mengerikan. dengan ISPU hingga mencapai 1300 ppm (5 kali lebih berbahaya untuk daya tahan manusia). Bahkan di Kalteng mencapai hingga 3900 ppm.

2 tahun sudah berlalu. Pemerintahan Jokowi yang peduli kemudian meninggalkan sejarah. Membangun infrastruktur dengan menghadirkan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan kewenangan kemudian dicabut berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016. Sama sekali tidak ada upaya serius mencari dalang-dalang penyebab kebakaran tahun 2015.

Lembaga-lembaga konservasi kemudian malah sibuk “merestorasi” gambut dan sibuk bercengkrama dengan perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015. Lupa dengan derita rakyat di 5 Propinsi.

Dan dengan angkuh kemudian perusahaan berbaris mengadu kepada MK. Meminta agar asas “strict liability” kemudian dicabut dari UU Lingkungan Hidup.

2 tahun sudah waktu berlalu. 2 tahun sudah protes anakku kusampaikan ke berbagai tempat. Entah lembaga resmi ataupun lembaga yang masih mau mendengarkan. Dan MK kemudian menjadi medan tarung terakhir untuk melihat pandangan Negara. Apakah suara anakku terdengar. Atau senyap bersamaannya dengan waktu.