Usai
sudah “gemblengan” di kawah candradimuka selama sebulan penuh. Dengan kesadaran
penuh, puasa kemudian “dipaksa” menahan diri dari segala hawa nafsu (batin) dan
menahan diri dari hal yang dilarang seperti makan, minum dan perbuatan lainnya
(Lahir). Tidak ada satupun “paksaan” dari Tuhan selain hanya ditujukan kepada
“Ya Ayuhallazi” (Wahai orang beriman). Ayat yang ditujukan kepada manusia
beriman.
Dalam
tingkatan iman, makna “Ya Ayuhallazi” melebihi daripada makna “Ya Ayuhannas
(Wahai Manusia). Tingkatan Ya Ayuhallazi kemudian melebihi makna kepada
perintah kepada manusia semata. Dengan demikian maka ayat “berpuasa” memang
ditujukan kepada hanya orang-orang beriman. Melebihi panggilan kepada manusia
islam semata. Atau manusia semata. Sehingga orang yang memenuhi panggilan orang
berpuasa melebihi derajat keimanan kepada orang biasa.
Dipanggil
sang pencipta sebagai “Ya Ayuhallazi”, membuat orang menjalankan kemudian tidak
perlu “intervensi” Negara untuk melaksanakannya. Orang berpuasa tidak perlu “perwujudan”
ataupun pengakuan dari manusia. Sebagai orang berpuasa, maka “disiplin” diri
didalam melaksanakannya membuat sikap rendah hati (Tawaddu) sebagai manusia
pilihan. Dengan disiplin, maka orang yang berpuasa akan toleran, menghargai
orang lain yang tidak berpuasa. Baik didalam menghadiri pertemuan di siang hari
ataupun melihat orang merokok lalu lalang didepannya.
Namun
disisi lain, berpuasa bertujuan memahami dan merasakan “orang yang tidak
berpunya, merasakan “suasana tidak makan/minum dalam kurun waktu tertentu.
Dalam beberapa kali contoh yang dipaparkan oleh guru-guru ngaji, orang berpuasa
justru akan merasakan “orang tidak makan makan, orang yang tidak berpunya.
Merasakan penderitaan orang lain. Dengan demikian maka puasa kemudian justru merendahkan diri untuk merasakan
derita orang lain.
Setahun
yang lalu, dalam kesempatan menghadiri pertemuan internasional di Bangkok,
penulis merasakan “suasana” ramadhan begitu berarti. Di saat jam istirahat
siang (break), penulis justru ke kamar menghindari pembicaraan disaat
teman-teman asyik menyantap kopi ataupun kue-kue dihidangkan. Dan kekaguman
kemudian bertambah ketika teman-teman yang mengetahui alasan menghindari
pertemuan di siang hari justru didapatkan teman-teman yang belum banyak
mengetahui “berpuasa” bagi orang muslim.
Tidak
satupun “alasan paksa” justru harus berpuasa. Tidak perlu diketahui apakah
seseorang berpuasa ataupun tidak. Kesadaran melaksanakan puasa semata-mata
panggilan sebagai “Ya Ayuhallazi”. Atau dengan kata lain, “mau puasa atau
tidak, cuma sang Khalik yang mengetahuinya”.
Melihat
begitu agungnya berpuasa maka puasa kemudian disejajarkan dengan “kerendahan
diri” untuk melaksanakan ajaran agama dengan disiplin dengna diri sendiri.
Namun disisi lain, justru sikap disiplin kemudian mengajarkan kelembutan,
kerendahan hati (tawaddu). Sebuah pelajaran yang berbeda dengan ajaran islam
lain seperti Sholat, Zakat, naik haji yang memerlukan “penasbihan” terhadap
sahnya pelaksanaannya.
Dengan
demikian, maka berpuasa menimbulkan kedisiplin diri sendiri, tanpa kompromi,
jujur kepada diri sendiri, tegas dan tidak memerlukan perwujudan dari orang
lain.
Namun
dari perwujudan berpuasa justru menghargai orang lain. Baik terhadap orang yang
tidak berpunya, merasakan derita dan merasakan “tidak makan” hingga menimbulkan
kasih sayang.
Atau
dengan kata lain. Puasa mendidik menjadi keras kepada diri sendiri, disiplin
terhadap pelaksanaan ibadah Puasa. Namun justru lembut, rendah hati kepada
orang lain.