27 Juni 2017

opini musri nauli : MAKNA RAMADHAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL


Usai sudah “gemblengan” di kawah candradimuka selama sebulan penuh. Dengan kesadaran penuh, puasa kemudian “dipaksa” menahan diri dari segala hawa nafsu (batin) dan menahan diri dari hal yang dilarang seperti makan, minum dan perbuatan lainnya (Lahir). Tidak ada satupun “paksaan” dari Tuhan selain hanya ditujukan kepada “Ya Ayuhallazi” (Wahai orang beriman). Ayat yang ditujukan kepada manusia beriman.

Dalam tingkatan iman, makna “Ya Ayuhallazi” melebihi daripada makna “Ya Ayuhannas (Wahai Manusia). Tingkatan Ya Ayuhallazi kemudian melebihi makna kepada perintah kepada manusia semata. Dengan demikian maka ayat “berpuasa” memang ditujukan kepada hanya orang-orang beriman. Melebihi panggilan kepada manusia islam semata. Atau manusia semata. Sehingga orang yang memenuhi panggilan orang berpuasa melebihi derajat keimanan kepada orang biasa.
Dipanggil sang pencipta sebagai “Ya Ayuhallazi”, membuat orang menjalankan kemudian tidak perlu “intervensi” Negara untuk melaksanakannya.  Orang berpuasa tidak perlu “perwujudan” ataupun pengakuan dari manusia. Sebagai orang berpuasa, maka “disiplin” diri didalam melaksanakannya membuat sikap rendah hati (Tawaddu) sebagai manusia pilihan. Dengan disiplin, maka orang yang berpuasa akan toleran, menghargai orang lain yang tidak berpuasa. Baik didalam menghadiri pertemuan di siang hari ataupun melihat orang merokok lalu lalang didepannya.

Namun disisi lain, berpuasa bertujuan memahami dan merasakan “orang yang tidak berpunya, merasakan “suasana tidak makan/minum dalam kurun waktu tertentu. Dalam beberapa kali contoh yang dipaparkan oleh guru-guru ngaji, orang berpuasa justru akan merasakan “orang tidak makan makan, orang yang tidak berpunya. Merasakan penderitaan orang lain. Dengan demikian maka puasa kemudian  justru merendahkan diri untuk merasakan derita orang lain.

Setahun yang lalu, dalam kesempatan menghadiri pertemuan internasional di Bangkok, penulis merasakan “suasana” ramadhan begitu berarti. Di saat jam istirahat siang (break), penulis justru ke kamar menghindari pembicaraan disaat teman-teman asyik menyantap kopi ataupun kue-kue dihidangkan. Dan kekaguman kemudian bertambah ketika teman-teman yang mengetahui alasan menghindari pertemuan di siang hari justru didapatkan teman-teman yang belum banyak mengetahui “berpuasa” bagi orang muslim.

Tidak satupun “alasan paksa” justru harus berpuasa. Tidak perlu diketahui apakah seseorang berpuasa ataupun tidak. Kesadaran melaksanakan puasa semata-mata panggilan sebagai “Ya Ayuhallazi”. Atau dengan kata lain, “mau puasa atau tidak, cuma sang Khalik yang mengetahuinya”.

Melihat begitu agungnya berpuasa maka puasa kemudian disejajarkan dengan “kerendahan diri” untuk melaksanakan ajaran agama dengan disiplin dengna diri sendiri. Namun disisi lain, justru sikap disiplin kemudian mengajarkan kelembutan, kerendahan hati (tawaddu). Sebuah pelajaran yang berbeda dengan ajaran islam lain seperti Sholat, Zakat, naik haji yang memerlukan “penasbihan” terhadap sahnya pelaksanaannya.

Dengan demikian, maka berpuasa menimbulkan kedisiplin diri sendiri, tanpa kompromi, jujur kepada diri sendiri, tegas dan tidak memerlukan perwujudan dari orang lain.

Namun dari perwujudan berpuasa justru menghargai orang lain. Baik terhadap orang yang tidak berpunya, merasakan derita dan merasakan “tidak makan” hingga menimbulkan kasih sayang.

Atau dengan kata lain. Puasa mendidik menjadi keras kepada diri sendiri, disiplin terhadap pelaksanaan ibadah Puasa. Namun justru lembut, rendah hati kepada orang lain.