Diibaratkan lakon wayang,
goro-goro sang dalan mulai memasuki paruh malam hari. Sang dalang mulai kesal.
Anak wayang sudah bermain diluar dari pakem yang sudah disepakati sang dalang.
Setelah terbongkar “travel
umron” yang mampu menghimpun hingga 72 ribu orang dan meraup 800 milyar,
kepolisian kemudian “memaparkan” hasil penyidikannya tentang sindikat Saracen
Penyebar Isu Sara (hate speech). Sebuah sindikat “paling canggih” yang mampu
menghipnotis rakyat Indonesia yang lebih suka percaya “hoax” daripada informasi
saluran resmi.
Terbayang satu tahun yang
lalu. Dengan tema seragam “persis” dikomando, FB kemudian dibombardir issu yang
sudah diluar nalar. Pagi hari dengan tema yang sama kemudian beruntun hingga
siang hari. Bahkan entah beberapa kali kemudian menjadi viral.
Lihatlah bagaimana “ajakan”
tidak mempercayai informasi resmi. Media televisi yang melalui “check, recheck,
crosscheck” kemudian dipelintir. Entah dengan ajakan agar lebih percaya “hoax”
daripada informasi yang benar.
Yang paling hangat tentu saja
peristiwa Suriah. Dengan desain canggih, berita kemudian dipelintir agar
mendukung pemberontak (yang ternyata kemudian ISIS). Pelan tapi pasti kemudian
berita Suriah mulai menemukan titik terang. Issu “Bassir” yang dituduh Syiah
dan dianggap pembantai rakyat Suriah kemudian mulai mendapatkan tempat berita
internasional. Testimoni jurnalis Associates Press tentang keadaan sebenarnya
Suriah membuat media internasional kemudian menjadi malu. Dunia kemudian
tercengang ketika dunia begitu tolol percaya “mentah-mentah” media
internasional.
Begitu juga tentang Presiden
Turki yang dikudeta militer. Dukungan kepada Erdogan kemudian menjadi wacana di
dunia maya. Erdogan kemudian dijadikan symbol sebagai “pejuang Islam”. Tapi
wacana kemudian berhenti ketika Erdogan membuka jalur resmi pembicaraan dengan
Israel.
Di Indonesia, kelicikan
“hoak” ditandai dengan persoalan remeh-temeh Kabinet Jokowi. Entah serangan
kepada Susi, persoalan kancing jas Jokowi, dialek Jokowi pengucapan lafal
Bahasa Inggeris hingga yang paling mengerikan di Pilkada Jakarta hingga Pilpres
2014.
Tidak cukup tokoh politik dan
pemerintahan. Tokoh agama tidak ketinggalan diserang. Tuduhan Quraish Shihab,
Makmoen Zoebair, Ahmad Syafei Ma’arf, KH Mustafa Bisri hingga Ketua Umum PBNU.
Entah “daya ledak” hoax yang
didesain atau masyarakat yang terlalu percaya dengan Hoax, tokoh-tokoh yang
seumur hidup dibaktikan untuk Islam dapat diremehkan “seseorang yang mengaku
ustad” yang baru mengaji “alif Ba”. Belum lagi televisi yang entah “berapa
kali” kemudian terpeleset yang menayangkan “orang yang baru belajar” mengaji
kemudian “sembrono” cerita tentang 72 bidadari atau persoalan “tahlilan”.
NU kemudian menjadi “benteng
terakhir” dengan perang terbuka melawan hoax. Pelan tapi pasti, serangan cyber
army disikat NU.
Namun yang membuat saya
geleng kepala ketika tema “bumi datar” mampu menghipnotis kalangan intelektual
yang punya ijazah diluar negeri. Atau tokoh-tokoh yang semula saya kenal
mempunyai integritas, jam terbang tinggi di kalangan pergerakan tapi dengan
santai posting di FB tentang “bumi datar’. Ketololan yang paling saya rasakan
disaat 5000 yang lalu, manusia sudah meyakini bumi bulat. Tidak ketinggalan
intelektual yang terus menerus memposting setiap pagi di FB tentang berbagai
ketololan demi ketololan.
Atau ketololan serupa ketika
Kerajaan Majapahit disebut sebagai Kerajan Islam. Bahkan Gajah Mada kemudian
disebut G. Ahmada. Padahal kitab Sutasoma Empu Tantutalar didalam daun lontar
masih terekam jelas tentang Kerajaan Majapahit sebagai Kerajaan Hindu.
Saya kemudian menarik nafas
panjang. Apakah gelar akademik yang diraih di luar negeri tidak mampu
memberikan “pencerahan” sehingga lebih percaya hoax daripada kajian scientic
yang sudah sepakat bumi bulat ?
Daya magnet hoax begitu
menggelegar. Cetar membahana kata Syahrini. Lebih dahsyat dari instruksi
Presiden agar tidak percaya hoax. Lebih menggemparkan daripada suara gunung
galunggung yang meletus 130 tahun yang lalu. Lebih menggema daripada meletusnya
Gunung Tambora 200 tahun yang lalu.
Teringat dengan sebuah meme. “Meningkatnya kemudahan akses informasi berbanding
lurus dengan nyungsepnya kecerdasan sebagian masyarakat kita”. G. Ahmada.
Lalu apa pelajaran yang bisa
ditarik dengan dibongkarnya sindikat Saracen Penyebar Isu Sara (hate speech) ?
Saya kemudian menjadi tahu.
Siapa manusia yang percaya kepada kabar burung (hoax), kabar angin (Fasiq),
selentingan, issu, gossip.
Saya kemudian menyeleksi dan
menjadi alat ampuh kemudian langsung “delete” dari pertemanan orang yang share
hoax di FB.
Gelar akademik tidak mampu
“membuka cakrawala berfikir”. Lebih percaya ilmu “katanya” daripada pendekatan
logika yang sistematis.