Kehilangan
HP beserta nomor Telphone dan KTP adalah bencana besar. Daya ledaknya melebihi
berita meletusnya gunung Merapi. Menggetarkan melebihi badai tsunami.
Melaporkan
ke provider “memerlukan selembar kertas” pengantar. Dulu masih bisa menggunakan
surat tanda kehilangan dari Kepolisian. Sekarang dengan “Angkuh” tidak menerima
lagi surat tanda kehilangan dari kepolisian. Harus KTP asli.
Wuih.
Kayak malaikat aja. Tidak ada kebijaksanaan.
Jalur
menjadi rumit. Mengurusi ke instansi yang mengeluarkan KTP harus ada surat
kehilangan.
Ok.
Langkah pertama ditempuh. Hanya 10 menit proses di kepolisian, tidak ada biaya,
surat keterangan kehilangan kemudian didapatkan.
Keren
pelayanan kepolisian. Amanat Mangcek Tito dilaksanakan. Sambil salaman,
senyuman ramah menghantarkan saya keluar dari kantor Polisi.
Selanjutnya
ke instansi yang mengurusi KTP. Waduh. Dikasih tanda telah melapor kemudian
disuruh 4 hari kemudian datang.
Saya
kemudian mulai berfikir. Mengapa memerlukan waktu 4 hari untuk mengambil surat
pengganti KTP. Bukankah data-data (rekam diri) sudah lama ada ? Bukankah
tinggal “print” saja dengna mengambil data-data base ? Mengapa harus memerlukan
waktu 4 hari ?
Teringat
dengan Mbak Risma (Walikota Surabaya) yang mencak-mencak melihat proses
pembuatan KTP memerlukan waktu berhari-hari. Atau teringat dengn “gaya sidak”
Pakde Jokowi ketika mulai menjabat Gubernur Jakarta untuk melihat proses
pembuatan KTP. (Waktu itu belum kuat wacana korupsi e-KTP).
Mbak
Risma dan Pakde Jokowi “berhasil” membuat KTP satu hari langsung jadi.
Lha.
Ini bukan buat KTP. Tapi cuma meminta surat pengganti KTP untuk mengurusi kartu
telephone di provider. 4 hari. Bukankah 4 hari waktu terlalu lama.
Lha,
cuma mengeluarkan surat Keterangan pengganti KTP saja memerlukan waktu 24 jam x
4 = 96 jam.
Apakah
tidak bisa ketika saya datang kemudian petugas “tinggal” print data-data yang
sudah ada.
Itu tuh.
Kayak di kepolisian yang memerlukan waktu cuma 10 menit.
Saya
kemudian teringat ketika waktu check in di maskapai nasional ketika hendak naik
pesawat. Dengan hanya menyebutkan nama, sang customer servise langsung ramah
setelah dia mengetahui saya sering menggunakan maskapai. Tidak lupa mengucapkan
salam sembari menunggu agar menunggu di lounge yang disiapkan.
Sehingga
ketika saya mengeluarkan kartu yang diterbitkan maskapai, “sembari senyum” dia
mengucapkan “tidak perlu dikeluarkan kartunya, mas”. Data-data tentang
keberangkatan sudah ada di data kami”.
Bukankah
mimpi program E-ktp merupakan program “single identity card” sehingga ketika
data-data masuk, maka seluruh transaksi yang memerlukan KTP sudah ada di setiap
data-data nasional. Tidak perlu lagi harus photocopy KTP yang memerlukan
“keribetan” tersendiri.
Lalu
apa kabar nasib E-KTP ?
Ah.
Sudahlah. Suara azan menyentakkan mimpiku disiang bolong. Jangan bermimpi
tentang E-KTP sebagai program “single identity card”. Lha, wong program e-KTP cuma program “mengganti kartu” dari kertas ke plastic.
Jadi
tambah maklum kalau cuma “mengeprint” surat pengganti KTP harus cari bundle dulu
yang “numpuk” di gudang.