02 September 2017

Pelatihan Hukum Kritis

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum formal dan peraturan yang berlaku di negara ini membuat sebagian masyarakat dihadapkan pada ketakutan terhadap hukum yang bisa menjerat mereka kapan saja, hal seperti ini dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum itu sendiri untuk mengambil keuntungan dari ketidaktahuan masyrakat akan hukum. Terlebih lagi masyarakat yang berada di kawasan hutan dan masyarakat yang terlibat konflik di kawasan hutan,baik konflik antara masyarakat dan pemegang izin atau masyarakat dengan negara. Hak – hak mereka sebagai warga negara tidak pernah diakui oleh negara. 

Penguasaan sumber daya alam oleh Industri skala besar seperti Perkebunan , Hutan Tanaman Industri Tambang dan Restorasi Ekosistem telah memicu lahirnya konflik, Tidak adanya transparansi dan pelibatan masyarakat ketika merencanakan pembangunan suatu industri adalah salah satu dari sekian banyak penyebab konflik Sumber daya alam yang ada di Indonesia, atas dasar investasi dan atas nama negara, hak – hak masyarakat atas sumber daya alam yang ada dirampas dan tercerabut oleh kepentimgan – kepentingan modal yang bersumber dari luar.


Penguasaan sumber daya alam oleh Industri skala besar seperti Perkebunan , Hutan Tanaman Industri Tambang dan Restorasi Ekosistem telah memicu lahirnya konflik, Tidak adanya transparansi dan pelibatan masyarakat ketika merencanakan pembangunan suatu industri adalah salah satu dari sekian banyak penyebab konflik Sumber daya alam yang ada di Indonesia, atas dasar investasi dan atas nama negara, hak – hak masyarakat atas sumber daya alam yang ada dirampas dan tercerabut oleh kepentimgan – kepentingan modal yang bersumber dari luar.


Pada tanggal 7-8 Oktober 2017 WALHI Jambi mengadakan Pelatihan Hukum Kritis, Resolusi Konflik , Gender dan HAM Serta Penguatan Hak Konstitusional Warga Negara, yang bertempat di Aula Desa Pemayungan kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Pelatihan ini di isi oleh 3 Narasumber antara lain Musri Nauli dari Yayasan Keadilan Rakyat, Zubaidah dari Beranda Perempuan, dan Dwi Nanto dari ED WALHI Jambi.


Konflik yang terjadi antara masyarakat yang berada di sekitar konsesi sudah berlangsung lama, dan hal ini belum menemukan titik terang penyelesaian. Pola perusahaan dalam merampas sumber daya alam yang ada dilakukan dengan bermacam – macam cara, dimulai dengan mendekati dan  memanfaatkan tokoh masyarakat dan perangkat Desa hingga pejabat – pejabat yang berwenang dan penentu kebijakan  bahkan melibatkan pihak keamanan untuk mengkriminalisasikan yang mempertahankan haknya.


Tanpa mendengarkan dan mendiskusikan dengan masyarakat yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan, mengelola dan menguasai sumber daya alam yang ada,pihak perusahaan merampas dan menggusur lahan pertanian dan perkebunan masyarakat dengan tameng izin yang dikantongi dan para aparat keamanan yang dibayar.


Abdullah selaku koordinator kegiatan mengatakan "Pelatihan ini diadakan untuk memberikan pemahaman tentang Hukum Kritis dan mengupas  persoalan hukum yang sering dihadapi oleh masyarakat dan juga tidak lupa untuk membangun strategi bersama tentang hak atas tanah dan resolusi konflik di wilayah Desa / kelompok masing – masing”.


Isu keadilan Gender juga saling berkaitan dengan isu Hak Asasi Manusaia,dan dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Istilah gender mengemuka lantaran ada sesuatu yang diperjuangkan. Gender sebagai konstruksi sosial budaya yang membedakan peran perempuan dan laki-laki telah berimplikasi pada ketidakadilan dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial, politik, sumber daya alam dan budaya. Dampak lebih lanjutnya adalah memunculkan subordinasi, marginalisasi, stereotype, beban ganda, dan bahkan menempatkan perempuan pada “zona rentan” tindak kekerasan dan sebagainya.


Tanpa mendengarkan dan mendiskusikan dengan masyarakat yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan, mengelola dan menguasai sumber daya alam yang ada,pihak perusahaan merampas dan menggusur lahan pertanian dan perkebunan masyarakat dengan tameng izin yang dikantongi dan para aparat keamanan yang dibayar.


Abdullah selaku koordinator kegiatan mengatakan "Pelatihan ini diadakan untuk memberikan pemahaman tentang Hukum Kritis dan mengupas  persoalan hukum yang sering dihadapi oleh masyarakat dan juga tidak lupa untuk membangun strategi bersama tentang hak atas tanah dan resolusi konflik di wilayah Desa / kelompok masing – masing”.


Isu keadilan Gender juga saling berkaitan dengan isu Hak Asasi Manusaia,dan dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Istilah gender mengemuka lantaran ada sesuatu yang diperjuangkan. Gender sebagai konstruksi sosial budaya yang membedakan peran perempuan dan laki-laki telah berimplikasi pada ketidakadilan dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial, politik, sumber daya alam dan budaya. Dampak lebih lanjutnya adalah memunculkan subordinasi, marginalisasi, stereotype, beban ganda, dan bahkan menempatkan perempuan pada “zona rentan” tindak kekerasan dan sebagainya.


Peraturan dan perundangan terkait penghormatan terhadap kaum perempuan sudah jelas diatur oleh Negara, dalam Undang – undang no 7 tahun 1984 dijelaskan bahwa : Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita).


Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan.


Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi. Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria.


"memperkuat pemahamanan masyarakat tentang isu Gender serta menambah     pemahamanan masyrakat  tentang UU penghapusan diskriminasi terhadap perempuan juga termasuk di dalam tujuan di adakan pelatihan ini" terang Abdullah.


Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.


"salah satu harapannya adalah peserta memiliki kemampuan membangun strategi yang akan dipakai dalam proses – proses yang ditempuh menuju penyelesaian konflik dan juga tersusunnya strategi bersama dan jaringan yang luas dalam perjuangan yang akan dilaksanakan." tutup Abdullah.