Tanam Pinang rapat-rapat
Agar Puyuh tak dapat lari
Kupinang-pinang tak dapat-dapat
Kurayu-rayu kubawa bernyanyi
Lagu dengan
syair “Tanam Pinang
rapat-rapat” dapat ditemukan jajaran pinang (areca
nuts) memanjang (berbaris/berbanjar) memagari tanaman. “Tanam
Pinang rapat-rapat” biasa
disebut “Mentaro” di Di Marga Kumpeh Ulu, Marga Kumpeh Ilir dan Marga
Jebus. Ketiga Marga ini terdapat di jalur pantai timur Sumatera. Memanjang
mengelilingi gambut di kawasan Jambi hilir.
Tanam
Pinang rapat-rapat” mengingatkan
kisah
petualangan dunia mendatangi negeri Jambi. Jambi dalam lintasan perdagangan
pantai timur Sumatera kemudian dicatat dalam jurnal-jurnal internasional.
Sejarah
perdagangan Jambi didalam lintasan Selat Melaka[1]
ditandai dengan pecahan kaca, sejumlah permata yang diperkirakan beasal dari
Arab dan Persia abad 9 hingga abad 13[2].
Sedangkan bukti arkeologi diperkuat berita Cina dalam kitab Pei-Hu-Lu tahun 875
M menyebutkan nama Chan-Pei yang didatangi pedagang Po’sse (Orang Persia) untuk
mengumpulkan barang dagangan berupa buah pinang[3].
Konon kisah
kecantikan Puteri Selaras Pinang Masak yang memerintah Jambi 1460 – 1480 masehi
terdengar di Pulau Jawa. Puteri Selaras Pinang Masak berkedudukan di Ujung
Jabung[4].
Karena banyak perantau Jawa ke Kerajaan Jambi, maka Kerajaannya kemudian sering
disebut Jambe. Pinang didalam bahasa Jawa biasa disebut “Jambe. Sehingga
Kerajaannya sering disebut Kerajaan Puteri Jambe[5].
Dikisahkan Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat
berlabuh di selat berhala. Dia mendirikan pemerintahan baru dan bergelar Datuk
Paduko Berhalo. Dia menikah dengan Putri Pinang Masak. Mohammad Redzuan Othman
menyebutkanya “Puteri Selaras Pinang Masak. Datuk Paduko berhalo
memerintah 1460 masehi.
Didalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah
Negeri Jambi” dijelaskan Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua. Sedangkan
adiknya bernama Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemrik
(perempuan). Namun M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal budaya
daerah Jambi justru menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu dari
Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak).
Cerita ini kemudian didukung oleh S.
Budisantoso didalam buku “Kajian dan Analisia Undang-undang Piagam dan Kisah
Negeri Jambi yang menerangkan tentang Orang Kayo Pingai merupakan anak dari
Datuk Paduko Berhalo yang beristrikan Putri Selaro Pinang Masak. Putri Selaro
Pinang Masak berasal dari Pagaruyung yang berdiri tahun 1345 masehi.
Pinang tidak dapat dilepaskan dari peradaban
Melayu Jambi. Tradisi “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang. Pinang nan selayang”
dikenal sebagai “sekapur sirih (pembukaan/pendahuluan/preambule). “Sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang. Pinang nan selayang” adalah
“tanda” dimulai Seloko untuk membuka
pembicaraan. Tanda persahabatan.
Hampir setiap prosesi sebelum
pembicaraan, Sirih nan sekapur. Rokok nan
sebatang. Pinang nan selayang” tidak pernah ditinggalkan.
Setelah memakan sirih,
menghisap rokok dan mencicipi pinang maka pembicaraan dengan menyampaikan maksud
tujuan kedatangan disampaikan.
Pinang juga digunakan dalam prosesi “berusik sirih begurau pinang”.
Prosesi “berusik sirih begurau pinang” adalah
adalah peristiwa pertemuan lelaki dan Perempuan didalam tempat-tempat keramaian
atau kegiatan di kampungnya. Apabila pertemuan yang kemudian disetujui kedua
belah pihak, maka Keluarga lelaki akan mendatangi kerumah perempuan dengan
mengisahkan “Bak sirih pulang ke gagang.
Bak pinang pulang ke tampuk. Tidak menambah pematang sawah. Tidak menambah
periuk nasi. Sirih sudah memabuk. Pinang sudah mengemalan. Pandangan sudah
tertumpuk. Hati sudah terpaut[6].
Setelah prosesi dilalui, maka kemudian
dikenal “pinangan” (meminang) yang ditandai dengan membawa tepak sirih pinang
berupa cincin belah rotan, selembar kain, selembar dasar baju. Tandan “pinangan”
juga bukti keseriusan dari pihak lelaki kepada pihak perempuan. Tanda
“pinangan” merupakan tanda pengikat untuk melamar pihak perempuan dan menjaga
“pinangan” agar tidak diganggu orang lain. Pelanggaran dari pihak perempuan
yang telah menerima pinangan dari pihak lelaki akan dijatuhi sanksi adat berupa
dua kali denda dari “tanda” pinangan yang telah diterima.
Kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari
pinang membuat pinang ditanami didepan rumah dan pembatas tanah (mentaro).
Identitas tanaman pinang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Gambut di
Jambi.
[1] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680, Yayasan Obor, Indonesia, Jakarta, 2014, Hal 14.
[2] Slamet Muljana, Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Penerbit : LKiS Yogyakarta, 2005, Hal. 129
[3] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Cet. V. Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta, 1984, Hal. 43
[4] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara,
Kepustakaan Populer Gramdia,
Jakarta, 2010, Hal. 177
[5]
Syahrial, Tradisi Bekarang Muara Jambi, Kementeri Kebudayaan dan Pariwisata –
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Tanjung Pinang, 2012,
Hal. 32
[6] M Syukur, Buku Pedoman Adat Jambi. Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, Lembaga Adat
Provinsi Jambi, Jambi, 1993, Hal. 48