Dalam
pendekatan sosiologi, kekerabatan masyarakat Melayu Jambi berangkat dari
pendekatan Teritorial. Kekerabatan yang dibangun dalam suatu wilayah.
Seloko
seperti “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan masyarakat
Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan masyarakat (semendo). Sebelumnya sang
pendatang harus mencari “induk semang” sebagai tempat tinggal dan kekerabatan
sehingga kedatangannya tidak meresahkan.
Prosesi
setelah “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan prosesi
mendatangi pemimpin adat dan “meminta izin” kepada pemangku adat. Setelah melalui
proses “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung”, maka sang induk semang
kemudian memanggil orang sekampung untuk mengabarkan “anak kemenakan” yang
datang dan hendak hidup di kampong.
Setelah
mengalami prosesi waktu yang ditentukan (biasanya 6 bulan hingga 12 bulan),
orang kampong mengetahui “anak kemenakan” sudah pantas “begawe”, maka “induk
semang” kemudian mengundang “nasi putih. Air jernih”. Prosesi “nasi putih. Air
jernih” adalah prosesi penerimaan orang kampong terhadap kedatangan dari “anak
kemenakan”.
Dengan
dilalui prosesi “nasi putih. Air jernih” maka sang pendatang kemudian “berhak”
mendapatkan hak yang sama dengan seluruh masyarakat di kampong. Termasuk berhak
untuk dipilih menjadi pemangku Desa dan terhadap tanah.
Di
Bungo, pemangku Desa merupakan putra asli daerah dikenal istilah “Rio.
Sedangkan “Depati” adalah Pemangku Desa “urang semendo”.
Begitu
juga hak terhadap tanah (ontginningsrecht). Misalnya “membuko rimbo”, “mancah rimbo’,
“Maro Ladang atau Maro Banjar”, “Behumo
Rimbo” dan “Behumo Ronah”. Yang dimulai dari proses yang panjang seperti “betaun
besamo”, “turun pangkal tahun” atau “Behumo di pangkal tahun. Tradisi ini
kemudian dikenal “tradisi huma”.
Setelah tanah ditentukan maka tanah
kemudian ditandai. “Lambas, “mengepang “,
Cacak Tanam, Jambu Kleko, “Tunggul pemarasan, pasak, sak sangkut” di
daerah uluan Jambi. Atau “pancang mati” atau “mentaro” daerah iliran Jambi.
Terhadap tanah yang telah ditentukan
maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila
tidak dikelola ataupun dikerjakan.
Dalam seloko kemudian dikenal “belukar tuo”, sesap rendah jerami tinggi”, “mati
tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan, empang krenggo, atau “larangan krenggo”. Tanah yang kemudian
tidak digarap, maka akan hilang.
Atau apabila sang pendatang kemudian
meninggalkan kampong, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang, Seloko
ini biasa dikenal “harta berat ditinggal. Harta berat dibawa’. Dengan demikian
maka hak terhadap tanah tidak melekat kepada sang empu yang menggarap tanah.
Tema tentang “daluwarsa” menimbulkan
perbedaan pandangan baik didalam teoritis maupun dalam praktek
perundang-undangan.
Putusan MA no. 172 K/Sip/1970
menyebutkan MA tidak mengakui adanya hapusnya tanah (daluarsa). Ter Haar
kemudian membantahnya “In verschillende
rechtskringen zijn inheemse rechtstemen bekend, die het begrip weergeven van te
lang geleden, door tijdsduur verstroebeld
en daarom voorbijk ranan kotor (Karo – Batak), prakara lama (Toha – Batak)
Kedaularsa (Javaans)”. Dalam berbagai
lingkungna hokum dikenal istilah-istilah hokum adat yang mengandung makna lewat
waktu sudah menjadi kabur karena lamanya sudah lampau “ Ranan kotor (Batak –
Karo), prakara lama (Batak – Toba), kedauarsa (Jawa).
Bantahan Ter Haar kemudian diperkuat
oleh Van Vollenhoven “hukum adat adalah hukum asli sekelompok
penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau
territorial (desa)[1]
Padahal dengan melihat seloko “belukar tuo”, sesap rendah jerami tinggi”, “mati
tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan”, “empang krenggo”, “larangan krenggo” membuktikan hak
masyarakat terhadap tanah kemudian dikenal daluarsa. Putusan MA justru mengakui
tentang daluarsa. Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012
dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 979/K/Sip/1971.
Lihatlah putusan MA No. 210
K/Sip/1955 “Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun harus
dianggap menghilangkan haknya (rechtverwerking)”.
Atau Putusan MA No. 329/K/Sip/1957 “Di Tapanuli Selatan, apabila
sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut
dibiarkan saja oleh yang berhak, maka hak atas tanah dianggap telah dilepaskan
..
Dengan demikian maka tidak ada
kemutlakan hak kepemilikan terhadap tanah.