26 November 2017

opini musri nauli : Daluarsa Hak atas Tanah



Dalam pendekatan sosiologi, kekerabatan masyarakat Melayu Jambi berangkat dari pendekatan Teritorial. Kekerabatan yang dibangun dalam suatu wilayah.

Seloko seperti “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan masyarakat (semendo). Sebelumnya sang pendatang harus mencari “induk semang” sebagai tempat tinggal dan kekerabatan sehingga kedatangannya tidak meresahkan.

Prosesi setelah “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan prosesi mendatangi pemimpin adat dan “meminta izin” kepada pemangku adat. Setelah melalui proses “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung”, maka sang induk semang kemudian memanggil orang sekampung untuk mengabarkan “anak kemenakan” yang datang dan hendak hidup di kampong.

Setelah mengalami prosesi waktu yang ditentukan (biasanya 6 bulan hingga 12 bulan), orang kampong mengetahui “anak kemenakan” sudah pantas “begawe”, maka “induk semang” kemudian mengundang “nasi putih. Air jernih”. Prosesi “nasi putih. Air jernih” adalah prosesi penerimaan orang kampong terhadap kedatangan dari “anak kemenakan”.

Dengan dilalui prosesi “nasi putih. Air jernih” maka sang pendatang kemudian “berhak” mendapatkan hak yang sama dengan seluruh masyarakat di kampong. Termasuk berhak untuk dipilih menjadi pemangku Desa dan terhadap tanah.

Di Bungo, pemangku Desa merupakan putra asli daerah dikenal istilah “Rio. Sedangkan “Depati” adalah Pemangku Desa “urang semendo”.

Begitu juga hak terhadap tanah (ontginningsrecht). Misalnya “membuko rimbo”, “mancah rimbo’, “Maro Ladang atau Maro Banjar”,  “Behumo Rimbo” dan “Behumo Ronah”. Yang dimulai dari proses yang panjang seperti “betaun besamo”, “turun pangkal tahun” atau “Behumo di pangkal tahun. Tradisi ini kemudian dikenal “tradisi huma”.

Setelah tanah ditentukan maka tanah kemudian ditandai. “Lambas, “mengepang “,
Cacak Tanam, Jambu Kleko,  “Tunggul pemarasan, pasak, sak sangkut” di daerah uluan Jambi. Atau “pancang mati” atau “mentaro” daerah iliran Jambi.

Terhadap tanah yang telah ditentukan maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap  tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun dikerjakan.

Dalam seloko kemudian dikenal “belukar tuo”, sesap rendah jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan, empang krenggo, atau “larangan krenggo”. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka akan hilang.

Atau apabila sang pendatang kemudian meninggalkan kampong, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang, Seloko ini biasa dikenal “harta berat ditinggal. Harta berat dibawa’. Dengan demikian maka hak terhadap tanah tidak melekat kepada sang empu yang menggarap tanah.

Tema tentang “daluwarsa” menimbulkan perbedaan pandangan baik didalam teoritis maupun dalam praktek perundang-undangan.

Putusan MA no. 172 K/Sip/1970 menyebutkan MA tidak mengakui adanya hapusnya tanah (daluarsa). Ter Haar kemudian membantahnya “In verschillende rechtskringen zijn inheemse rechtstemen bekend, die het begrip weergeven van te lang geleden, door tijdsduur verstroebeld  en daarom voorbijk ranan kotor (Karo – Batak), prakara lama (Toha – Batak) Kedaularsa (Javaans)”. Dalam berbagai lingkungna hokum dikenal istilah-istilah hokum adat yang mengandung makna lewat waktu sudah menjadi kabur karena lamanya sudah lampau “ Ranan kotor (Batak – Karo), prakara lama (Batak – Toba), kedauarsa (Jawa).

Bantahan Ter Haar kemudian diperkuat oleh  Van Vollenhoven “hukum adat adalah hukum asli sekelompok penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau territorial (desa)[1]

Padahal dengan melihat seloko “belukar tuo”, sesap rendah jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan”, “empang krenggo”, “larangan krenggo” membuktikan hak masyarakat terhadap tanah kemudian dikenal daluarsa. Putusan MA justru mengakui tentang daluarsa. Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 979/K/Sip/1971.

Lihatlah putusan MA No. 210 K/Sip/1955  Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun harus dianggap menghilangkan haknya (rechtverwerking)”.

Atau Putusan MA No.  329/K/Sip/1957 “Di Tapanuli Selatan, apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja oleh yang berhak, maka hak atas tanah dianggap telah dilepaskan ..

Dengan demikian maka tidak ada kemutlakan hak kepemilikan terhadap tanah.


[1] Van Vollenhoven, Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum, FH UII, Jakarta, 1998, Hal. 169