Sebelum peristiwa heboh terjadi,
Jambi dikenal sebagai negeri yang adem, ramah, santun. Dikelilingi
negeri-negeri yang “tertangkap OTT”, seperti Walikota Palembang, Gubernur
Bengkulu, namun adem dan tetap menjalankan kehidupan.
Selama 4 tahun yang lalu, saya
kemudian terlibat didalam program pemantuan “korsup KPK” pengukuhan kawasan
hutan, korsup mineral dan korsup Sawit.
Di korsup kawasan hutan, Jambi
mempunyai prestasi sebagai daerah yang “tertib” sehingga berbagai penataan sector
hutan mendapatkan dukungan untuk dibenahi. Berbagai program kemudian berhasil
menempatkan Jambi sebagai daerah pengelolaan kehutanan nomor 2 terbaik di
nasional. Terlepas dari berbagai konflik yang belum diselesaikan di sector kehutanan
namun prestasi Jambi jauh mengalahkan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Bahkan jauh meninggalkan Propinsi
Sumatra selatan dan Riau.
Kedisplinan Jambi mengikuti
tahap-tahap pembenahan (roadmap) kemudian menempatkan Jambi sering menjadi
tempat “studi banding” pengelolaan kehutanan. Hubungan yang baik antara
masyarakat, CSO dan Pemerintah, Dengan memadukan berbagai stakeholder membuat
Jambi kemudian menjadi “laboratorium” berbagai pihak melihat Jambi yang unik
didalam pengelolaan kehutanan.
Korsup KPK ini kemudian berlanjut
di Korsup Tambang. Dengan izin tambang 380 IUP, 190 kemudian dinyatakan
bermasalah (belum clear and clean). Terhadap 190 IUP kemudian direkomendasikan
untuk dicabut. Dalam waktu 2 tahun, Jambi kemudian berhasil mencabut IUP
bermasalah. Jauh mengalahkan Kalimantan ataupun Sumsel.
Prestasi yang kurang
menggembirakan di sector sawit. Dalam penataan pengelolaan sawit, berbagai
problema muncul hingga hasil dari kajian korsup di sector sawit tidak dapat
mengabarkan prestasi mengikuti jejak korsup hutan dan korsup tambang.
Korsup KPK di sector SDA
(kehutanan, tambang dan sawit) kemudian berhasil menempatkan Jambi sebagai
daerah yang mengikuti roadmap terhadap pengelolaan SDA. Sehingga optimis
terhadap Jambi tetap disuarakan.
Interaksi Jambi – KPK mulai
mengagendakan upaya pencegahan didalam penataan pengelolaan keuangan daerah.
Dengan harapan baru, berbagai upaya yang dilakukan KPK baik dengan “upacara” ceremony
dan pengukuhan pakta integritas. Harapan menempatkan Jambi sebagai “zona bersih
korupsi” berhasil dilewati setelah berbagai daerah-daerah tetangga Jambi “tertangkap
OTT KPK”. Bahkan dalam periode yang sama, Jambi harus mengadakan upacara “ceremony”
hingga 2 kali dalam setahun.
Namun bak kata pepatah. “Lain di
mulut. Lain di hati”. Belum kering tinta pakta integritas ditanda tangani,
operasi KPK membuyarkan harapan. Prestasi
di korsup SDA ternyata “buyar” dengan ditangkapnya “orang-orang penting” di
Pemerintahan.
Bayangkan. Selevel Sekda, Asisten
III, Kadis PU, Kadis Perhubungan “berbaris” mengenakan rompi KPK. Belum lagi “sasaran”
kemudian pindah ke gedung Telanaipura yang berhasil “menangkap” Ketua Fraksi.
Sebuah lingkaran “elite” yang berhasil dibongkar tuntas oleh KPK.
Tentu saja membongkar jaringan “elite”
memantik ketidakpercayaan di tengah masyarakat. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh
elite pengendali dan penentu pemerintahan menempatkan Jambi kemudian menjadi
daerah “paling memalukan” dan mencetak rekor terbanyak dalam operasi OTT KPK.
Jumlah yang ditangkap dari
operasi OTT KPK kemudian “membenamkan Jambi” dari daerah yang dipromosikan
sebagai daerah bebas korupsi menjadi daerah paling “rakus” korupsi. Padahal bau
“tidak sedap” dalam pembahasan RAPBD mengingatkan kasus anggota diberbagai
daerah.
Tentu saja, pembongkaran scenario
oleh KPK tidak berhenti hanya 4 orang tersangka. Dengan melihat lingkaran elite yang ditangkap KPK
maka sudah dipastikan akan menjawab pertanyaan public. Apakah Jambi “sedang
berbenah” atau berbagai pernyataan pejabat cuma “lips servise” untuk
meninabobokkan masyarakat Jambi.
Namun terlepas dari semuanya, OTT
KPK membuyarkan harapan. Meraup uang menjelang akhir tahun. OTT KPK kemudian
menjadi cerita pilu disaat bersamaan kita memasuki tahun baru.