Namun menyimak perdebatan klasik tentang peristiwa OTT KPK, akhirnya keinginan untuk “istirahat” tertunda.
Dengan
menyimak bait demi bait hingga makna harfiah dari kalimat, naluri saya kemudian
menjawab. Ada “scenario” untuk menjelaskan “sesuatu peristiwa” dari sudut
pandang yang lain. Bahkan terkesan untuk “mengaburkan” substansi dari peristiwa
yang terjadi.
Pertama.
Menjelaskan “barang bukti” dan “alat bukti” dengna menuduh “IPK” pas-pasan
adalah gambaran kelas menengah Indonesia yang masih menganggap “Menara gading”
adalah “segala-galanya. Bukankah berbagai teori-teori kampus kemudian “gagal”
menangkap dan memotret gejala-gejala social di tengah masyarakat.
Masih
ingat ketika “awal reformasi’ yang menuduh ekonomi Indonesia jatuh pada titik
jurang terdalam. Dan Indonesia kemudian dinyatakan “negara gagal”.
Lalu
mengapa Indonesia masih bertahan ? Ya. Karena ekonom hanya memotret
bisnis-bisnis besar yang colap. Padahal sector ekonomi kecil mampu melewati
krisis. Sektor ekonomi yang tidak diproteksi oleh negara justru menyelamatkan
Indonesia.
Begitu
juga dengan teori-teori “berbual-bual” meyakinkan negara dan industry, gambut
bisa dikelola (lengkap dengan standar yang disungsung).
Bagaimana
kenyataannya ? Gambut yang “berangkat
dari rekomendasi kampus” kemudian gagal dan menyebabkan kebakaran. Seperempat
luas izin yang diberikan kepada Industri kemudian menyebabkan kebakaran di
Indonesia. Angkanya tidak tanggung-tanggun. 1,4 juta hektar.
Lalu
dimana kelas menengah ? Dengan gampang kemudian menuduh masyarakat sebagai
penyebab kebakaran. Apakah kelas menengah tidak malu dengna tuduhan ini ?
Mengapa mereka bungkam ketika disodorkan titik api yang justru berada di
perusahaan.
Atau
ketika politisi meyakinkan pemilih terhadap pemilu dengna menyodorkan nama-nama
kandidat dan mampu meraih suara dengan menghitung peraihan suara partai ? Apa
yang terjadi ?
Politik
partai ternyata tidak “sejajar” dengan raihan suara yang diraup. Kemenangan
Pemilu atau Pilpres tidak korelasi dengan Pilkada.
Kedua.
Kembali ke pembahasan semula. Menggiring “skenario’ untuk menjauhkan peristiwa
OTT KPK diibaratkan “mimpi di siang bolong”. Apakah dengan tidak ditemukan
“barang bukti” maka kemudian mampu menjauhkan bahkan melepaskan diri dari
rangkaian peristiwa OTT KPK ?
Apakah
semudah itu ? Atau memang banyak sekali informasi yang berusaha “disembunyikan”
agar public meyakini “pihak-pihak tertentu” yang dikorbankan. Atau pihak-pihak
tertentu “Diselamatkan”.
Apabila
melihat keterangan resmi KPK maupun rangkaian peristiwa dari OTT KPK, secara
kasatmata, perkara ini “sudah terang benderang’.
Yang
dikejar bukanlah peristiwa OTT KPK. OTT KPK adalah “muara” dari “kongkalikong”.
Tapi
“rangkaian panjang” sebelum peristiwa paripurna pengesahan APBD.
Dalam
hokum dikenal “permufakatan jahat (deelneming). “Kongkalikong” antara siapapun
terlibat adalah rangkaian panjang sebelum peristiwa paripurna pengesahan APBD.
Lalu
apakah dengna tidak “diterimanya uang” atau “tidak ada bukti uang” maka
kemudian “menghapuskan” peristiwa “kongkalikong”.
Hallo,
Brow. Ini lembaga selevel KPK. Aku saja yang jauh dari “kuningan” tertawa
terbahak-bahak mendengarkan penjelasan demikian.
Tentu
saja KPK mempunyai “segudang” bukti yang tidak mampu dielakkan siapapun yang
terlibat dari “permufakatan jahat/kongkalikong’. Sasaran KPK tentu saja “desain”
ataupun pihak-pihak yang menskenariokan. Dan tentu saja KPK tidak berhenti “hanya”
kepada 4 orang dari peristiwa OTT KPK.
Lihatlah
bagaimana scenario “para pelaku” yang tidak berada di Jambi ketika OTT KPK.
Dengan “pikiran pendek” tidak berada di lokasi (alibi), mereka masih berfikiran
“tidak terlibat’. Namun kemudian terbukti menjadi pelaku OTT KPK yang kemudian
ditangkap di Jakarta.
Atau
bagaimana keterangan awal para pelaku OTT yang semula menyebutkan “tidak ada
instruksi” kemudian malah berbalik.
Tentu
saja KPK tidak membutuhkan keterangan, bantahan ataupun berbagai rilis yang
menyebutkan “ketidakterlibatan”.
Kesemuanya
terang benderang. Seterang matahari yang tiap hari bersinar.
Ketiga.
Membicarakan alat bukti dan barang bukti tanpa adanya “bukti permulaan”, bukti
permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” adalah “memenggal kalimat demi
kalimat untuk mengaburkan substansi.
Di
Ranah penyidikan, yang dibutuhkan bukanlah alat bukti sebagaimana disebutkan
didalam pasal 184 KUHAP. Tapi adalah ““bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup”
atau “bukti yang cukup” (Pasal 1 angka 7, pasal 17 dan pasal 21 KUHAP ). Bukti
permulaan yang cukup sudah tuntas dijelaskan di putusan MK.
Jadi
penyidik tidak “terpaku” kepada alat bukti sebagaimana pasal 184 KUHAP. Karena
pada hakekatnya pasal 184 KUHAP adalah “penilaian” hakim terhadap sebuah
perkara. Apakah diputuskan “terbukti atau tidak’.
Jadi
jangan ditarik-tarik di ranah penyidikan dengan alat bukti 184 KUHAP dengan “bukti permulaan”, bukti permulaan yang
cukup” atau “bukti yang cukup”
Apa
“bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” dapat
dijadikan bahan untuk materi praperadilan. Walaupun dalam praktek inilah adalah
“kewenangan” subyektif dari penyidik yang melekat sebagai apparat penegak hokum.
Keempat.
Dengan demikian maka terhadap penilaian alat bukti 184 KUHAP untuk menentukan
seseorang pelaku atau tidak bukanlah di ranah penyidikan.
Dari
berbagai alasan yang disampaikan maka “dunia hokum” terus berputar. Sesering
garis edar bumi mengelilingi matahari. Tidak berhenti dengan “buku diktat tebal”
dikampus yang “tertatih-tatih” mengejar
ketertinggalan.
Dunia
hukum terus menemukan rohnya di ruang pengadilan. Dan “menara gading” masih
asyik dengan teori khayalan. Membayangkan Jaka Tarub membawa selendang bidadari.
Sementara bidadari sekarang sudah tidak peduli dengan “selendang”. Karena bidadari
lebih asyik posting photo selfie di instalgram.
Namun
yang pasti.
Masih
panjang melodrama akan kita saksikan bagaimana “upaya” actor “kongkalikong” untuk
mengelak, menghapuskan, pura-pura tidak terlibat hingga bagaimana upaya “actor”
kongkalikong berkelit.
Tidak
lupa suguhan air mata, nyanyian merdu hingga melodrama yang bertujuan “membangun
simpati”.
Mari
kita tunggu lakon selanjutnya yang disampaikan berita resmi dari KPK.
Sembari
berharap KPK dapat memberikan pelajaran kepada kita. Sekaligus memberikan
informasi “siapa saja” yang berbohong dan siapa saja yang memudahkan
penyidikan.
Dimuat di www.serujambi.com, 9 Januari 2018
https://www.serujambi.com/2018/opini-barang-bukti-alat-bukti-dan-bukti-yang-cukup/
Dimuat di www.serujambi.com, 9 Januari 2018
https://www.serujambi.com/2018/opini-barang-bukti-alat-bukti-dan-bukti-yang-cukup/