06 Januari 2018

opini musri nauli : BARANG BUKTI, ALAT BUKTI DAN BUKTI YANG CUKUP



Sebenarnya hari Sabtu ini saya ingin menghabiskan dengan hati riang gembira. Seriang anak-anak muda memasuki malam minggu. Malam “hang out” ataupun malam istirahat setelah sepekan bekerja.


Namun menyimak perdebatan klasik tentang peristiwa OTT KPK, akhirnya keinginan untuk “istirahat” tertunda.

Dengan menyimak bait demi bait hingga makna harfiah dari kalimat, naluri saya kemudian menjawab. Ada “scenario” untuk menjelaskan “sesuatu peristiwa” dari sudut pandang yang lain. Bahkan terkesan untuk “mengaburkan” substansi dari peristiwa yang terjadi.

Pertama. Menjelaskan “barang bukti” dan “alat bukti” dengna menuduh “IPK” pas-pasan adalah gambaran kelas menengah Indonesia yang masih menganggap “Menara gading” adalah “segala-galanya. Bukankah berbagai teori-teori kampus kemudian “gagal” menangkap dan memotret gejala-gejala social di tengah masyarakat.

Masih ingat ketika “awal reformasi’ yang menuduh ekonomi Indonesia jatuh pada titik jurang terdalam. Dan Indonesia kemudian dinyatakan “negara gagal”.

Lalu mengapa Indonesia masih bertahan ? Ya. Karena ekonom hanya memotret bisnis-bisnis besar yang colap. Padahal sector ekonomi kecil mampu melewati krisis. Sektor ekonomi yang tidak diproteksi oleh negara justru menyelamatkan Indonesia.

Begitu juga dengan teori-teori “berbual-bual” meyakinkan negara dan industry, gambut bisa dikelola (lengkap dengan standar yang disungsung).

Bagaimana kenyataannya  ? Gambut yang “berangkat dari rekomendasi kampus” kemudian gagal dan menyebabkan kebakaran. Seperempat luas izin yang diberikan kepada Industri kemudian menyebabkan kebakaran di Indonesia. Angkanya tidak tanggung-tanggun. 1,4 juta hektar.

Lalu dimana kelas menengah ? Dengan gampang kemudian menuduh masyarakat sebagai penyebab kebakaran. Apakah kelas menengah tidak malu dengna tuduhan ini ? Mengapa mereka bungkam ketika disodorkan titik api yang justru berada di perusahaan.

Atau ketika politisi meyakinkan pemilih terhadap pemilu dengna menyodorkan nama-nama kandidat dan mampu meraih suara dengan menghitung peraihan suara partai ? Apa yang terjadi ?

Politik partai ternyata tidak “sejajar” dengan raihan suara yang diraup. Kemenangan Pemilu atau Pilpres tidak korelasi dengan Pilkada.

Kedua. Kembali ke pembahasan semula. Menggiring “skenario’ untuk menjauhkan peristiwa OTT KPK diibaratkan “mimpi di siang bolong”. Apakah dengan tidak ditemukan “barang bukti” maka kemudian mampu menjauhkan bahkan melepaskan diri dari rangkaian peristiwa OTT KPK ?

Apakah semudah itu ? Atau memang banyak sekali informasi yang berusaha “disembunyikan” agar public meyakini “pihak-pihak tertentu” yang dikorbankan. Atau pihak-pihak tertentu “Diselamatkan”.

Apabila melihat keterangan resmi KPK maupun rangkaian peristiwa dari OTT KPK, secara kasatmata, perkara ini “sudah terang benderang’.

Yang dikejar bukanlah peristiwa OTT KPK. OTT KPK adalah “muara” dari “kongkalikong”.

Tapi “rangkaian panjang” sebelum peristiwa paripurna pengesahan APBD.

Dalam hokum dikenal “permufakatan jahat (deelneming). “Kongkalikong” antara siapapun terlibat adalah rangkaian panjang sebelum peristiwa paripurna pengesahan APBD.

Lalu apakah dengna tidak “diterimanya uang” atau “tidak ada bukti uang” maka kemudian “menghapuskan” peristiwa “kongkalikong”.

Hallo, Brow. Ini lembaga selevel KPK. Aku saja yang jauh dari “kuningan” tertawa terbahak-bahak mendengarkan penjelasan demikian.

Tentu saja KPK mempunyai “segudang” bukti yang tidak mampu dielakkan siapapun yang terlibat dari “permufakatan jahat/kongkalikong’. Sasaran KPK tentu saja “desain” ataupun pihak-pihak yang menskenariokan. Dan tentu saja KPK tidak berhenti “hanya” kepada 4 orang dari peristiwa OTT KPK.

Lihatlah bagaimana scenario “para pelaku” yang tidak berada di Jambi ketika OTT KPK. Dengan “pikiran pendek” tidak berada di lokasi (alibi), mereka masih berfikiran “tidak terlibat’. Namun kemudian terbukti menjadi pelaku OTT KPK yang kemudian ditangkap di Jakarta.

Atau bagaimana keterangan awal para pelaku OTT yang semula menyebutkan “tidak ada instruksi” kemudian malah berbalik.

Tentu saja KPK tidak membutuhkan keterangan, bantahan ataupun berbagai rilis yang menyebutkan “ketidakterlibatan”.
Kesemuanya terang benderang. Seterang matahari yang tiap hari bersinar.

Ketiga. Membicarakan alat bukti dan barang bukti tanpa adanya “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” adalah “memenggal kalimat demi kalimat untuk mengaburkan substansi.

Di Ranah penyidikan, yang dibutuhkan bukanlah alat bukti sebagaimana disebutkan didalam pasal 184 KUHAP. Tapi adalah ““bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” (Pasal 1 angka 7, pasal 17 dan pasal 21 KUHAP ). Bukti permulaan yang cukup sudah tuntas dijelaskan di putusan MK.

Jadi penyidik tidak “terpaku” kepada alat bukti sebagaimana pasal 184 KUHAP. Karena pada hakekatnya pasal 184 KUHAP adalah “penilaian” hakim terhadap sebuah perkara. Apakah diputuskan “terbukti atau tidak’.

Jadi jangan ditarik-tarik di ranah penyidikan dengan alat bukti 184 KUHAP dengan “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup”

Apa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” dapat dijadikan bahan untuk materi praperadilan. Walaupun dalam praktek inilah adalah “kewenangan” subyektif dari penyidik yang melekat sebagai apparat penegak hokum.

Keempat. Dengan demikian maka terhadap penilaian alat bukti 184 KUHAP untuk menentukan seseorang pelaku atau tidak bukanlah di ranah penyidikan.

Dari berbagai alasan yang disampaikan maka “dunia hokum” terus berputar. Sesering garis edar bumi mengelilingi matahari. Tidak berhenti dengan “buku diktat tebal” dikampus yang “tertatih-tatih”  mengejar ketertinggalan.

Dunia hukum terus menemukan rohnya di ruang pengadilan. Dan “menara gading” masih asyik dengan teori khayalan. Membayangkan Jaka Tarub membawa selendang bidadari. Sementara bidadari sekarang sudah tidak peduli dengan “selendang”. Karena bidadari lebih asyik posting photo selfie di instalgram.

Namun yang pasti.  

Masih panjang melodrama akan kita saksikan bagaimana “upaya” actor “kongkalikong” untuk mengelak, menghapuskan, pura-pura tidak terlibat hingga bagaimana upaya “actor” kongkalikong berkelit.

Tidak lupa suguhan air mata, nyanyian merdu hingga melodrama yang bertujuan “membangun simpati”.

Mari kita tunggu lakon selanjutnya yang disampaikan berita resmi dari KPK.

Sembari berharap KPK dapat memberikan pelajaran kepada kita. Sekaligus memberikan informasi “siapa saja” yang berbohong dan siapa saja yang memudahkan penyidikan. 

Dimuat di www.serujambi.com, 9 Januari 2018

https://www.serujambi.com/2018/opini-barang-bukti-alat-bukti-dan-bukti-yang-cukup/