15 Mei 2018

opini musri nauli : KISAH TELUR MATA SAPI



Kisah tentang dimulainya Ramadhan dan Idul Fitri banyak meninggalkan kisah. Berbagai kisah mewarnai diskusi, tema bahkan berbagai peristiwa untuk menambah keyakinan beribadah.

Tahun 2007 saya ke Padang. Kampung mertua. Di Sumatera Barat yang terkenal sebagai pusat Muhammadiyah telah menetapkan awal Idul Fitri pada hari Jumat.
Saya yang baru datang hari Rabu, kemudian menyimak penjelasan di televise yang kemudian menetapan Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu. Sehingga keesokan harinya, Hari Jumat saya tetap berpuasa.

Ketika masih juga berpuasa hari Jumat, malah ditegur mertua. Belum lagi di Mesjid-mesjid telah diimbau dengan speaker yang terdengar puasa. “Alah babujo. Dak sah lai puaso (Sudah berbuka. Tidak sah lagi berpuasa)”. Suara itu terus menerus agar jamaah tidak puasa hari jumat.

5 tahun yang lalu, kisah tentang dimulainya puasa menimbulkan diskusi di tengah keluarga. Saya memilih puasa sesuai dengan edaran Muhammadiyah. Istri saya memilih mengikuti anjuran dan penetapan Pemerintah. Dengan alasan “mudah menghitung’. Walaupun saya sadar dia mengikuti anjuran “ulil Amri’.

Sedangkan Putri tertuaku lebih memilih ibunya. Putraku kedua yang pesantren di padang Panjang malah mengikuti anjuran Pemerintah. Dengan alasan “Mudah menghitungnya’.

Tradisi dirumah pada awal puasa dikenal “mandi belimau”. Tradisi dengan mandi sore menjelang puasa dengan wangi-wangian. Berbagai kembang, jeruk purut dan wangi-wangian ditaburkan dan mandi menjelang masuk Ramadhan. Tradisi yang dibawa istri saya dari Minangkabau.

Tradisi Mandi belimau dikenal sebagai tradisi untuk membersihkan badan. Diharapkan dengna mandi belimau, badan menjadi wangi, hati menjadi bersih dan tenang memasuki Ramadhan. Tradisi ini masih dikenal di Sumatera Barat. Di sungai penduduk kemudian mandi belimau bersama-sama, sekampung dan merupakan salah satu tradisi yang masih dirawat.

Selain tradisi mandi belimau, tradisi lain yang biasa dikenal didalam keluarga, adalah masak rendang untuk puasa pertama. Tradisi ini juga sebagai bentuk penghormatan menyambut puasa. Biasanya Istri saya ke pasar sehari menjelang puasa, dimasakkan pada hari puasa pertama dan merupakan makanan berbuka puasa. Tradisi yang “entah kapan mulai disepakati. Namun menjadi tradisi yang masih tetap dirawat dan dilakukan.

Persoalan mulai timbul. Saya yang memulai puasa pertama sesuai dengna anjuran Muhammadiyah berbeda dengan dimulainya puasa oleh keluarga. Istri saya, Putra dan putri saya yang kemudian memilih Puasa keesokan harinya.

Bayangkan. Saya yang memulai puasa namun tidak ada sambal rendang sebagaimana tradisi di keluarga. Tentu saja pagi hari saya sempat protes, mengapa hari ini belum juga kepasar membeli daging kerbau untuk membuat rendang.

Dengan santai istri saya menjawab. “Besok. Karena hari ini belum puasa” sembari tidak peduli dengna pilihan saya yang berpuasa satu hari sebelum penetapan Pemerintah.

Dan tentu saja tidak ada sama sekali persiapan untuk berbuka puasa di hari pertama. Dengan santai istri saya cuma memasakkan telur mata sapi untuk menu buka puasa.

Putra dan putri saya kemudian tertawa melihat saya cuma makan telur mata sapi di hari pertama bulan puasa. Suasana kemudian heboh. Kamipun tertawa bersama.

Keesokan harinya, malah mereka makan rendang sebagaimana tradisi bulan Ramadhan. Makan rendang selama 2 hari berturut-turut sebagai tradisi.

Setiap melihat edaran Muhammadiyah tentang dimulainya Puasa, saya selalu teringat kisah telur mata sapi.

Apakah ini yang dinamakan keberagaman didalam satu keluarga. Ah. Terlalu jauh. Yang pasti, kami selalu menghormati pilihan yang berbeda-beda didalam menyikapi menyambut satu Ramadhan.