Kisah
tentang dimulainya Ramadhan dan Idul Fitri banyak meninggalkan kisah. Berbagai
kisah mewarnai diskusi, tema bahkan berbagai peristiwa untuk menambah keyakinan
beribadah.
Tahun
2007 saya ke Padang. Kampung mertua. Di Sumatera Barat yang terkenal sebagai
pusat Muhammadiyah telah menetapkan awal Idul Fitri pada hari Jumat.
Saya
yang baru datang hari Rabu, kemudian menyimak penjelasan di televise yang
kemudian menetapan Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu. Sehingga keesokan harinya,
Hari Jumat saya tetap berpuasa.
Ketika
masih juga berpuasa hari Jumat, malah ditegur mertua. Belum lagi di
Mesjid-mesjid telah diimbau dengan speaker yang terdengar puasa. “Alah babujo. Dak sah lai puaso (Sudah
berbuka. Tidak sah lagi berpuasa)”. Suara itu terus menerus agar jamaah tidak
puasa hari jumat.
5
tahun yang lalu, kisah tentang dimulainya puasa menimbulkan diskusi di tengah
keluarga. Saya memilih puasa sesuai dengan edaran Muhammadiyah. Istri saya
memilih mengikuti anjuran dan penetapan Pemerintah. Dengan alasan “mudah
menghitung’. Walaupun saya sadar dia mengikuti anjuran “ulil Amri’.
Sedangkan
Putri tertuaku lebih memilih ibunya. Putraku kedua yang pesantren di padang
Panjang malah mengikuti anjuran Pemerintah. Dengan alasan “Mudah menghitungnya’.
Tradisi
dirumah pada awal puasa dikenal “mandi belimau”. Tradisi dengan mandi sore
menjelang puasa dengan wangi-wangian. Berbagai kembang, jeruk purut dan
wangi-wangian ditaburkan dan mandi menjelang masuk Ramadhan. Tradisi yang
dibawa istri saya dari Minangkabau.
Tradisi
Mandi belimau dikenal sebagai tradisi untuk membersihkan badan. Diharapkan
dengna mandi belimau, badan menjadi wangi, hati menjadi bersih dan tenang
memasuki Ramadhan. Tradisi ini masih dikenal di Sumatera Barat. Di sungai penduduk
kemudian mandi belimau bersama-sama, sekampung dan merupakan salah satu tradisi
yang masih dirawat.
Selain
tradisi mandi belimau, tradisi lain yang biasa dikenal didalam keluarga, adalah
masak rendang untuk puasa pertama. Tradisi ini juga sebagai bentuk penghormatan
menyambut puasa. Biasanya Istri saya ke pasar sehari menjelang puasa,
dimasakkan pada hari puasa pertama dan merupakan makanan berbuka puasa. Tradisi
yang “entah kapan mulai disepakati. Namun menjadi tradisi yang masih tetap
dirawat dan dilakukan.
Persoalan
mulai timbul. Saya yang memulai puasa pertama sesuai dengna anjuran
Muhammadiyah berbeda dengan dimulainya puasa oleh keluarga. Istri saya, Putra
dan putri saya yang kemudian memilih Puasa keesokan harinya.
Bayangkan.
Saya yang memulai puasa namun tidak ada sambal rendang sebagaimana tradisi di
keluarga. Tentu saja pagi hari saya sempat protes, mengapa hari ini belum juga
kepasar membeli daging kerbau untuk membuat rendang.
Dengan
santai istri saya menjawab. “Besok. Karena hari ini belum puasa” sembari tidak
peduli dengna pilihan saya yang berpuasa satu hari sebelum penetapan
Pemerintah.
Dan
tentu saja tidak ada sama sekali persiapan untuk berbuka puasa di hari pertama.
Dengan santai istri saya cuma memasakkan telur mata sapi untuk menu buka puasa.
Putra
dan putri saya kemudian tertawa melihat saya cuma makan telur mata sapi di hari
pertama bulan puasa. Suasana kemudian heboh. Kamipun tertawa bersama.
Keesokan
harinya, malah mereka makan rendang sebagaimana tradisi bulan Ramadhan. Makan
rendang selama 2 hari berturut-turut sebagai tradisi.
Setiap
melihat edaran Muhammadiyah tentang dimulainya Puasa, saya selalu teringat
kisah telur mata sapi.
Apakah
ini yang dinamakan keberagaman didalam satu keluarga. Ah. Terlalu jauh. Yang
pasti, kami selalu menghormati pilihan yang berbeda-beda didalam menyikapi
menyambut satu Ramadhan.