Ikrar
Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung
dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan
masyarakat. Muchtar Agus Cholif[1]
dan Eson[2]. menjelaskan
wilayah ini
Membicarakan
Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari kewilayahan Propinsi Jambi yang
merupakan daerah yang menjadi residentie Djambi. Dalam Tambo, batas wilayah
Jambi dikenal dengan istilah durian di Takuk Rajo (Batas dengan Sumsel),
sialang belantak besi (Batas dengan sumbar), Salo belarik (batas dengan Riau)
Dalam
dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de
Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie
Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000,
Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke ,
Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of
The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000,
Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala
1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, ,
Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra,
Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi sebagai Residentie
Jambi dengan pembagian Marga.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah
diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
Dengan menggunakan “Tembo”, wilayah
Jambi kemudian dituliskan “Mulai Dari
Sialang Belantak Besi, menuju durian takuk rajo, mendaki ke Pematang Lirik dan
Besibak, terus ke sekeliling air Bangis, Mendepat ke Sungai Tujuh Selarik,
terus ke Sepisak Piasau Hilang, Mendaki Ke Bukit Alunan Babi, meniti Pematang
Panjang, Laju Ke Bukit Cindaku, mendepat ke Parit Sembilan, turun ke renah Sungai keteh Menuju Ke SUngai
Enggang, terjun ke laut nan sedidis, mendepat ke Pulau Berhalo, Menempuh
Sekatak Air Hitam, menuju Ke Bukit Si Guntang-guntang, Mendaki Ke Bukit Tuan,
Menempuh Ke Sungai Banyu lincir, Laju Ke Ulu Singkut BUkit Tigo, Mudk ke
serintik Hujan, -Paneh, Meniti Ke Bukit Barisan, Turun ke renah Sungai Bantal,
Menuju Ke sungai Air dikit, Mendepat ke Hulu Sungai ketun, Mendaki ke bukit
Malin Dewo, menuju K Sungai Ipuh, Mendaki ke BUkit Sitinjau laut, menuju ke
GUnung Merapi, mendepat ke Hulu Danau Bentu, menempuh ke BUkit Kaco, meniti
pematang lesung tereh, menuju ke Batu angit Batu Kangkung, terus ke teratak
Tanjung Pisang, mudik kelipai nan besibak, terus ke siangkak nan bedengkang,
ilir ke durian takuk rajo, melayang ke tanjung semalido, disitu tanah beringin
duo batang.
Istilah “durian takuk Rajo” yaitu
penanda pohon dengan cara memotong sedikit (Takuk). Takuk yang dilakukan para
Raja kemudian dikenal sebagai “takuk Rajo”. Tanda ikrar batas yang masih
dihormati.
Istilah “durian takuk rajo” bisa ditemui di Marga Jujuhan[3],
Marga VII Koto[4]
dan Marga Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. “Tanjung Samalidu juga
dikenal di Marga Jujuhan dan Marga VII Koto.
Sedangkan berbatasan dengan Riau di kenal didalam Marga Sumay[5]
sebagai batas langsung dengan Propinsi Riau. Selain Sebekal bekuak, bekal bekuak, dikenal juga Salo belarik”, Bukit
alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan yang kesemuanya termasuk
kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Tambo Air dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo[6],
merupakan nama-nama tempat yang berbatasan langsung dengan Bengkulu. Kesemuanya
terdapat di Taman nasional Kerinci Sebelat.
Dan “sialang belantak besi” biasanya
merupakan nama tempat yang berbatasan langsung dengan Sumsel[7].
Nama yang dikenal di Marga Batin 5 Mandiangin.
Nama-nama tempat itulah yang
mengelilingi Jambi yang biasa dikenal dengan istilah “Tembo”. Kesemua pengetahuan tentang Tembo masih terdapat di tengah
masyarakat.
Dalam
Tambo Minangkabau[8], Nan
salilik Gunuang Marapi, Saedaran
Gunuang Pasaman, Sajajran
Sago jo Singgalang, Saputaran Talang jo Kurinci, Dari sirangkak nan
badangkang, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pinto rajo
hilie, Hinggo durian ditakuak rajo, Sapisai-pisau hanyuik, Sialang
balantak basi, Hinggo aia babaliak mudiak, Sampai ka ombak nan
badabua, Sailiran batang sikilang, Hinggo lawuik nan sadidieh,
Ka timua ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat Tunggua, Gunuang
Mahalintang, Pasisie Rantau Sapuluah, Hinggo Taratak Aia Itam,
Sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah
“Sialang Belantak besi, Tanjung Simalidu”
merupakan nama tempat di Marga VII Koto.
Marga
VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang
mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan
sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat[9].
Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur
jalur Pagaruyung[10]”.
Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan
sebagai merupakan “ikua rantau”.
Marga
VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh,
Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki
Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi
salak”.
“Sungai Mengkawas” adalah nama Sungai
Batanghari.
Berbatasan
dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”. Marga Bilangan V “tujuh nan tanah sepenggal hingga kabau nan
basurek. Sungai Cempedak belarik”.
Berbatasan
dengan Sumatera Barat yang ditandai dengan “Sungai
tidak beulu. bermuara ke Sungai Mengkares. Tebing dalam tidak terturuni.
Tebingi tinggi dak tedaki. Nampak masam sebelah”.
Sedangkan
Tambo Minangkabau yang menyebutkan batas timur dengan “Tanjung Samalidu”.
Tanjung Samalidu kemudian ditandai dengan nama “berjenjang dari sialang belantak besi lepas ke durian Takuk Rajo.
Melayang ke Tanjung Samalidu menuju berajo nan sebatang. Seloko ini juga
dikenal di Marga Jujuhan[11].
Dengan
demikian maka tambo Jambi yang “ditakuk Rajo” bersama-sama dengan Raja
Pagaruyung sesuai dengan Tambo Minangkabau dan masih hidup ditengah masyarakat
Melayu Jambi.
[5] Khatib Karim, mantan Ketua
Lembaga Adat Kecamatan Sumay, 22 Maret
2013 dan Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, 17 Maret 2013
[8] H.
Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukit Tinggi, 1930
[9] Barbara W Andaya, Cash Cropping
and Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and
18 th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[10] Watson
Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher
Sholten, Kesultanan Sumatera
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia
(1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta,
2008, Hal. 43
[11] Eso, Desa Rantau Panjang, 25
Agustus 2016