(Catatan Mudik)
Mudik
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan alam pikir masyarakat Indonesia.
Mudik adalah hajatan yang paling besar yang membuat semua lini kehidupan
menjadi begitu berarti, repot dan memerlukan perencanaan yang matang.
Mudik
adalah sebuah proses “perpindahan penduduk dalam suatu waktu” dari Kota ke
daerah kecil atau kampong. Mudik adalah proses transfer, cerita yang telah
dijalani selama setahun.
Mudik
adalah proses pelibatan keluarga tidak dapat dihindari. Baik menggunakan
pesawat terbang, kereta api, kapal maupun menggunakan angkutan umum atau kendaraan
pribadi.
Dalam
perjalanan mudik, tidak dapat dipungkiri area-area public menjadi tempat
persinggahan sementara. Baik mengisi kendaraan di SPBU maupun area-area public lainnya
seperti Mesjid, rumah makan, sekedar untuk singgah, ngaso, sholat ataupun “terjebak”
dengan kemacetan sehingga menjadi tempat istirahat.
Sebagai
tempat area public, tidak dapat dihindari berbagai interaksi, pelayanan umum
menjadi sorotan. Tempat-tempat Mesjid yang digunakan sebagai tempat sholat
seringkali abai diperhatikan para pengelola Mesjid (Takmir).
Di
sepanjang Jambi – Padang, Mesjid-mesjid kurang dibuka setelah sholat lima
waktu. Entah malam hari yang kemudian dikunci ataupun kurang menerima para
pejalan (musafir) yang hendak singgah. Walaupun ada beberapa masjid yang
bersedia menerima musafir yang hendak singgah, namun rentang jarak dan waktu
antara satu masjid dengan masjid lain membuat tempat-tempat yang dituju harus
memerlukan perencanaan matang. Masjid-masjid yang terletak di daerah ramai biasanya
bersedia menerima para musafir.
Berbanding
terbalik dengan masjid di sepanjang perjalanan dari Muara Bungo menuju Sumatera
Barat. Hampir sepanjang perjalanan (baik karena jarak yang dekat antara satu
masjid dengan masjid lain), masjid-masjid selalu terbuka. Terutama masjid-masjid
di keramaian.
Dengan
terbukanya masjid menerima musafir menyebabkan masjid-masjid kemudian mengalami kemajuan. Hampir setiap
tahun, ada perubahan yang nyata. Baik semakin modernnya masjid yang ditandai
dengan penambahahan fasilitas maupun semakin banyaknya fasilitas kamar mandi,
WC maupun tempat wudhu.
Tidak
salah kemudian, kedatangan musafir mengakibatkan masjid menjadi makmur (ramai).
Namun
disisi lain, kedatangan para musafir kemudian juga meninggalkan masalah yang
klasik. Entah mobil yang datang kemudian menyebabkan para musafir membuang
sampah sembarangan, mengotori masjid dengan membuang sampah disembarang tempat,
tissue berceceran, plastic yang tidak dibuang ke tempatnya hingga meninggalkan
kesan kotor, kumuh setelah ditinggalkan mobil para musafir.
Padahal
dengan dibukanya masjid maka kemudian para musafir dapat beristirahat, sholat
bahkan mandi untuk menyegarkan diri sebelum menjelang malam untuk istirahat.
Bahkan tempat-tempat yang disediakan merupakan sebuah “oase” ditengah pengapnya
terik matahari, macetnya jalur yang ditempuh dan panjangnya jalur.
Saya
kemudian berfikir. Mengapa para musafir yang menggunakan kendaraan pribadi
(yang berasal dari kelas menengah) mempunyai kebiasan buruk yang meninggalkan
kesan yang menyedihkan. Para pengurus masjid ataupun pengelola SPBU pasti harus
mengeluarkan tenaga ekstra ataupun harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
membersihkan lahan parkir yang telah disinggahi para musafir. Kesan ini saya rasakan dari tahun ke tahun.
Dan tentu saja saya tidak bisa membayangkan perasaaan para takmir ataupun
pengelola SPBU yang sering kali dongkol melihat para ulah musafir.
“Kok
sewot. Yang penting saya bayar dan ada yang membersihkan’.
Saya
sewot karena harus menjelaskan kepada para putra saya yang terkecil yang selalu
bertanya. “Ayah. Orang besar kok membuang sembarangan” ketika melihat para
musafir dengan enteng membuang sampah dari mobil ke lahan parker di Masjid dan
SPBU.
Apakah
kebiasaan kecil yang sederhana tidak mampu lagi diterapkan oleh para kelas
menengah. Atau memang generasi saya kemudian menjadi generasi yang jorok.
Generasi yang sulit mewariskan tradisi yang baik kepada generasi selanjutnya ?
Baca : PUASA – IBADAH ATAU RITUAL