Diibaratkan
pertandingan marathon, menjelang akhir Ramadhan dan memasuki suasana mudik,
maka dipastikan Puasa akan berakhir. Dan suasana Mudik dan menyambut Idul Fitri
semakin terasa.
Lalu
apakah makna Puasa bagi diri yang menjalani ? Apakah karena puasa untuk
merasakan derita kaum yang kurang berpunya akan mudah dirasakan. Lalu apakah
dengna puasa akan merasakan derita kaum yang kelaparan yang tidak makan
seharian ? Lalu apakah tujuan yang hendak diraih kemudian tercapai ?
Lalu
mengapa ketika puasa ditujukan hendak merasakan yang diderita kaum yang kurang
berpunya kemudian ketika berbuka puasa kemudian langsung melahap makanan.
Persis merasakan tidak makan setahun.
Lalu
dengan enteng tidak lupa posting makanan dan terkesan hendak pamer (riya’) ?
Apakah dengan memamerkan berbuka puasa dengan memposting makanan didunia maya
kemudian hendak mengabarkan “dirinya berpuasa”. Dan orang lain lain kemudian
harus mengetahuai dirinya berpuasa ?
Lagi-lagi
riya’ yang hendak dikabarkan.
Derita
apa yang hendak dirasakan ? Apakah dengan memposting makanan setelah berbuka
puasa kemudian tercapai tujuan puasa ? Apakah dengan memposting makanan justru
hendak mengabarkan dirinya yang berpuasa dan memerlukan pengakuan dari orang
lain ?
Mengapa
cara ini dilakukan terus menerus ? Apakah puasa cuma bagian dari ritual yang
rutin yang dilakukan setiap tahun ? Apakah puasa cuma bagia dari rutinitas
ibadah yang kering makna.
Sampai
kapan cara berpuasa yang hendak dilakukan tanpa memahami hakekat berpuasa.
Sampai kapan kemudian berpuasa mampu membangkitkan empati dan merasakan derita
kaum yang kurang berpunya ?.
Ah.
Akupun terbangun dari tidur. Segera kusadari. Puasa cuma milik kaum berpunya.
Merekalah yang hendak menentukan kemana arah berpuasa.
Segera
aku bangkit dari tempat tidur. Sembari mencuci muka kusadari. Masih jauh
hakekat beragama hendak kusandarkan kepada mereka.
Baca : OLEH-OLEH ARUS MUDIK